Suara dering nyaring menggema di ruang tamu, di kediaman Bayanaka. Nadanya yang panjang serta keras, berhasil membuat Naka menggeliat pelan. Dalam keadaan mata masih tertutup, tangannya berusaha mencari letak benda yang menimbulkan suara tanpa jeda, yang mengganggu tidurnya. Tapi nyatanya, usaha yang dilakukan gagal karena ia justru terjatuh dari tempatnya berbaring.
“Ah, sial!”
Naka mengerang saat sikunya terbentur meja dan tubuhnya mendarat di lantai. Ditambah kepalanya berdenyut sakit dan pusing, seperti dihantam benda cukup keras. Kedua matanya langsung terbuka meski awalnya terasa sangat sulit.
“Di mana hape-ku? Sejak kapan aku setting alarm di hape?”
Benda yang membuat Naka mengalami hal menyebalkan di pagi hari akhirnya ditemukan. Ponsel tersebut berdering akibat alarm yang diatur berbunyi jam setengah tujuh pagi. Naka yang kesal akhirnya mematikan ponselnya. Ia menatap heran benda di tangannya karena merasa aneh.
“Mas Naka sudah bangun?”
Suara dari seorang wanita membuat Naka terkesiap. “Bi? Kenapa bikin kaget?”
“Maaf Mas. Bibi nggak ada maksud buat Mas Naka kaget.”
Naka menghela napas kasar. “Ya sudah, jangan ganggu saya.”
Wanita bernama Marta itu adalah orang yang bekerja di rumah Naka. Datang tiga sampai empat kali dalam seminggu untuk membersihkan rumah serta mencuci pakaian milik Naka. Wajar saja Naka kaget karena ia tidak pernah ingat kapan Marta datang.
“Kenapa kepalaku sakit sekali?” gumam Naka sambil memijit keningnya. “Apa aku mabuk lagi?”
Sambil duduk, Naka berusaha mengingat apa yang terjadi. Namun, semakin kuat mencoba untuk menggali ingatannya, justru kepalanya semakin sakit. Untuk saat ini, tidak ada yang bisa diingat. Disaat yang sama, pandangan matanya menangkap sesuatu yang tergeletak di atas meja. Tangan Naka terulur, mengambil benda yang mengalihkan perhatian Naka.
“Obat? Siapa yang taruh di sini?” tanyanya pada diri sendiri. “Ada air putih juga. Apa Bi Marta yang menaruh semua ini?”
Belum sempat mendapatkan jawaban, ponsel Naka kembali berdering. Laki-laki itu kembali terkesiap dan raut wajahnya nampak sebal. Nama Andrea muncul di layar sebagai si penelepon.
“Ada masalah apa lagi? Kenapa pagi-pagi dia sudah telpon,” gerutu Naka. “Halo. Kenapa pagi sekali kamu sudah ganggu saya?”
“Selamat pagi Pak Naka. Maaf mengganggu. Saya Cuma mau mengingatkan pagi ini ada meeting yang sempat tertunda. Jadi saya ingin memastikan kalau Pak Naka sudah bangun agar tidak terlambat seperti kemarin.”
Naka berdecis sebal. “Bawel! Saya sudah bangun dari tadi.”
“Syukurlah. Saya harap Pak Naka bisa sampai tepat waktu dalam keadaan baik”
“Kamu berani mengatur saya?” tanya Naka dengan nada tinggi.
“Tidak, Bapak salah. Saya hanya membantu Pak Naka agar terhindar dari kesalahan kemarin.”
Dinasihati oleh sekretarisnya justru membuat Naka semakin kesal. “Saya tidak butuh bantuan kamu!”
Setelah mengakhiri telepon dari Andrea, nampak wajah Naka tidak bersahabat. Laki-laki itu mengerang kesal. Hari ini benar-benar terasa tidak menguntungkan baginya. Bangun dalam kondisi tidak baik, ditambah dengan ocehan Andrea yang tidak seperti biasa.
“Sebaiknya aku minum obat ini. Bi Marta pasti tahu kalau semalam aku sedang mabuk, makanya siapin minum dan obat pereda sakit kepala.”
***
Andrea baru saja sampai di hotel dan langsung menyiapkan apa saja yang akan digunakan untuk bekerja. Ia menyalakan komputer sambil mengeluarkan air minum serta menu sarapan. Hari ini ia tidak sarapan di rumah karena perutnya menolak untuk diisi, sehingga hanya minum air hangat dicampur dengan madu.
Selain itu, Andrea sibuk menata beberapa surat yang ditujukan kepada Naka. Ada juga tumpukan berkas yang membutuhkan validasi dari bosnya. Sepertinya hari ini akan cukup menguras tenaga dan pikiran wanita itu.
Saat membuka agenda dan hendak menulis catatan, tangan Andrea berhenti bergerak. Wajahnya diam dengan ekspresi dingin. Tanggal di hari ini menunjukkan hari kelahiran seseorang di masa lalu Andrea. Bayangan yang tidak ia kehendaki muncul secara tiba-tiba, hingga membuat dadanya terasa nyeri. Sakit dan pedih itu kembali menyapa, meski sudah sekian lama berlalu.
Lamunan Andrea buyar ketika terdengar suara derap langkah. Wajahnya mendongak, lalu melihat kemunculan Naka. Andrea tersenyum lega karena akhirnya laki-laki itu datang tepat waktu, tidak seperti hari kemarin.
“Selamat pagi Pak Naka.”
“Pagi. Ikut saya ke ruangan.”
“Baik Pak.”
Sesampai di ruangan, Andrea harus sabar menunggu Naka yang sedang mengamati keadaan di ruangannya. Seperti sedang mengecek hasil pekerjaan cleaning service serta sekretarisnya. Tidak ingin ada benda yang tidak disukai, berada di dalam ruangannya. Atau ada debu yang dapat mengganggu suasana hati. Melihat hal tersebut, Andrea hanya bisa tersenyum tipis penuh sabar.
“Hari ini meeting jam berapa?”
Andrea melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Satu jam lagi meeting di mulai, Pak.”
“Oh. Kalau begitu tolong buatkan saya teh hangat.”
“Baik Pak.”
“Satu lagi, apa di kulkas ada sesuatu yang cocok saya makan sebagai sarapan?”
“Mengenai itu?” Andrea berusaha mengingat. “Ada buah-buahan dan minuman. Kemarin ada cake tapi tadi sudah saya buang karena sudah kedaluwarsa. Saya bisa minta bagian dapur bawakan sarapan untuk Bapak.”
Naka menggeleng. “Tidak usah. Teh hangat saja sudah cukup.”
Andrea bingung dan membatin dengan apa yang Naka pikirkan. Ia yakin kalau laki-laki itu perlu sarapan, apalagi semalam mabuk. “Apa dia nggak minum obat? Obatnya diminum setelah makan, kan?”
“Kenapa bengong? Kamu dengar apa kata saya?”
“Oh? Iya, dengar Pak,” jawabnya gugup. “Pak Naka, kebetulan saya bawa bekal untuk sarapan. Roti pakai selai. Pak Naka mau?”
Naka menatap curiga tawaran Andrea. “Tidak. Saya tidak mau berutang budi sama kamu.”
Jawaban ketus dari Naka membuat Andrea ingin mengelus d**a. “Baik. Kalau begitu saya siapkan dulu teh hangatnya.”
Begitu keluar dari ruangan, Andrea hanya bisa menghela napas panjang. Niat baiknya selalu dipandang negatif oleh atasannya itu. Padahal semalam bosnya menelepon dan meminta tolong agar dijemput. Dan pagi ini sikapnya seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka.
“Mungkin dia lupa ingatan.”
***
Rapat hari ini berjalan lancar dan sesuai dengan rencana. Meski Naka nampak tidak semangat karena Suta membahas kejadian kemarin, tetapi presentasi dilakukan dengan baik, sehingga pertemuan selesai tepat waktu.
“Terima kasih untuk masukannya Pak Naka. Kami dari divisi marketing sangat terbantu dengan gagasan yang Pak Naka berikan.”
Naka tersenyum sambil membalas uluran tangan kepala divisi marketing. “Sama-sama.”
Setelah semua keluar dari ruang meeting, kini waktunya Naka dan Andrea kembali ke ruangan. Keduanya tidak berbicara hingga sampai di depan ruangan kerja Naka.
“Pak Naka mau makan siang apa?” tanya Andrea sebelum Naka masuk.
“Saya mau sapo tahu udang,” jawab Naka.
Andrea mengangguk. “Baik Pak. Biar saya segera telpon bagian dapur.”
“Jangan sekarang. Nanti saja, saya belum lapar.”
“Pak Naka yakin? Tadi pagi belum sarapan, kan?”
“Tidak usah cerewet. Saya bukan anak kecil yang tidak tahu bagaimana kondisi sendiri.”
Dan lagi-lagi tanggapan Naka tidak bersahabat hingga membuat Andrea menyesal. “Baik Pak. Kalau begitu saya izin istirahat ke kantin.”
“Ya.”
Begitu berada di dalam, Naka menjatuhkan tubuhnya pada sofa yang ada di ruangan tersebut. Ia menghela napas panjang, sambil memainkan ponselnya. Sejak menerima telepon dari sekretarisnya, Naka tidak sempat memeriksa kondisi ponselnya karena malas dan buru-buru. Banyak pesan dan panggilan tidak terjawab yang perlu ia lihat.
“Kenapa Lizzy kirim pesan sebanyak ini?”
Kening Naka nampak mengkerut dan wajahnya terkejut saat melihat isi pesan dari Lizzy. Setelah itu, ia membuka daftar panggilan telepon keluar dan menemukan nama Andrea di sana. Naka bingung dan mulai berusaha mengingat apa yang terjadi semalam.
“Mana mungkin aku telpon Andrea dan minta dia jemput aku di klub?” gumam Naka. “Apa karena kejadian semalam makanya pagi-pagi Andrea sudah telpon? Tapi kenapa dia nggak bahas soal ini dan seakan tidak terjadi apa-apa?”
Segala jenis pertanyaan muncul, memenuhi isi kepala Naka. Kepalanya yang semula sudah tidak sakit, kini kembali berdenyut, mengingat apa yang terjadi antara dirinya dan Andrea.
“Aku harus tanya langsung ke Andrea daripada penasaran? Apa semalam aku berbuat konyol atau tidak, seperti malam itu bersama Lizzy?”