Sembilan

1010 Words
"Sudah saya katakan saya tidak mau. Anda bisa mendapatkan siapapun untuk menjadi simpanan Anda, tapi tidak dengan saya." Ujar Shaila tegas. Ken mendengus kasar, menatap Shaila dengan ujung matanya yang tajam lalu berjalan mendekat bagaikan predator membuat Shaila semakin merapatkan diri ke pintu toilet. "Aku hanya mau dirimu, dan itu yang akan aku dapatkan." "Tetapi saya tidak mau, dan mendapatkan saya hanya akan menjadi angan-angan Anda saja." Ken tersenyum sinis dan semakin merapatkan tubuh mereka, membisikkan sesuatu sebelum membuka pintunya. "Aku tahu kamu perlu waktu, aku akan menunggu." Dengan perasaan kesalnya Shaila segera pergi dari toilet itu, meninggalkan pesta begitu saja karena ia sudah sangat marah mendapat penghinaan dari bosnya sendiri. Sungguh tidak pantas. Shaila pulang menuju rumahnya, rumah kost-nya. Mengganti pakaiannya dengan baju rumahan, ia akan nonton film secara marathon malam ini karena besok weekend. Ia bebas besok dan bisa bangun kesiangan, mungkin besok sore ia akan datang kerumah orangtuanya untuk menjenguk penghuni disana. Para pekerja itu Shaila yang akan menggajinya, lalu tanggungan penyitaan rumah masih sangat terpikir olehnya. Shaila tidak tahu rumah itu sekarang berada di tangan siapa, Bi Rarti pun tak begitu paham rumah tersebut dibeli oleh siapa jadi Shaila belum ada kesempatan untuk bertemu dengan pembeli rumah tersebut. Shaila berharap sekali jabatan yang dipromosikan untuk nya ini benar-benar turun padanya, karena Shaila butuh tambahan pemasukan. Tabungannya selama ini tidaklah cukup untuk membeli rumah. Semua barang-barang mahalnya dirumah itu sudah raib dijual oleh wanita tidak tahu diri itu, padahal jika ada itu bisa menjadi modal tambahan untuk Shaila. Yang tersisa hanyalah yang Shaila bawa pergi dan itu tidak banyak. Mungkin Shaila bisa menyambi dengan menulis novel dan menjadi editor sebagai tambahannya. Shaila cukup menyesal dulu ia menolak ajakan teman-teman kuliahnya membuka usaha bersama. Ponselnya bergetar terus menerus, Shaila melihat nama bi Rarti muncul disana. Ini masih pukul 9 malam dan ada apa sebenarnya. "Hallo bi?" "Hallo Non, maaf ganggu waktunya." "Iya enggak apa-apa. Ada apa bi?" "Yang beli rumah ini datang Non, baru saja. Bawa bodyguard banyak Non, bibi takut sekali. Mereka ngusir bibi juga yang lainnya." Shaila tidak lagi merebahkan diri saat mendengar hal itu. "Banyak bodyguard nya? Terus dia masih ada disana?" "Sudah pulang Non, engga seperti bodyguard tapi lebih mirip preman." Shaila membelalakkan matanya, kenapa ibu tirinya itu berurusan dengan para preman sih. "Besok dia kesana lagi?" "Iya Non, katanya besok dia mau kesini lagi untuk lihat rumah sudah kosong." "Yasudah bibi dan yang lain tetap disana aja. Aku kesana besok pagi-pagi, jangan takut." "Non tapi mereka serem banget, mana rame begitu. Apa Non yakin? Non berani?" Shaila sebenarnya tidak ada keberanian sama sekali berurusan dengan orang-orang seperti itu. Tapi ini demi rumah orangtuanya jadi ia harus memberanikan diri. "Aku besok kesana. Ini sudah malam, Shaila mau tidur dulu ya bi." "Yasudah Non, selamat beristirahat." Panggilan pun terputus, meninggalkan Shaila dalam kekalutan. Acara nonton film marathonnya dibatalkan, ia memilih untuk segera tidur supaya besok bisa bangun lebih pagi. Shaila memaksakan matanya untuk memejam meskipun begitu sulit. Ia sungguh berharap orang yang membeli rumahnya itu bisa diajak kompromi. Alarmnya berdering, membangunkan Shaila dari tidurnya yang tidak begitu nyenyak. Segera saja ia membersihkan diri dan memilih pakaian kantor yang kebesaran, ia sedikit ketakutan sekarang. Membawa motor matic kesayangannya menuju rumah besar tempat kelahirannya dan tempat dimana ia tumbuh besar. Tempat dimana Mama nya menghembuskan nafas terakhir begitupun Papa nya. Rumah ini begitu berkesan dalam hidup Shaila. Kebahagiaan masa kecil, kesedihan ditinggal Mamanya, Kekecewaan pada Papanya, Kebencian pada Ibu tirinya. Cukup melihat rumah ini saja perasaan Shaila seperti rollercoaster. "Non Shaila." Senyum Shaila tersungging saat sapaan itu menyambut kedatangannya. "Pagi Mang Ujang, sehat?" "Sehat bugar neng, semangat pagi untuk kerja pokoknya mah." Shaila terkekeh pelan dan mengangguk paham. "Kalo gitu Shaila masuk dulu ya Mang." "Iyaa neng, silahkan." Shaila menaiki anak tangga dan masuk kedalam rumah yang terlihat bersih. Semuanya masih sama seperti dulu, hanya ada beberapa barang berharga yang sudah tak ada di tempatnya. Menghela nafas Shaila menuju ke dapur mencari Bi Rarti. "Non Shaila sudah datang? Ayo sarapan dulu non." Shaila tersenyum kecil dan mengambil duduk dikursi tempatnya dulu, berada disebelah kanan kursi kepala keluarga. Dikursi ini Shaila pernah merasakan dua hal berbeda, bahagia bersama Mama dan Papanya dan kemarahan yang menggebu saat bersama Papa dan ibu tirinya. "Dimakan Non." "Terimakasih bi." "Sama-sama non, hayuk atuh dimakan." Shaila mengangguk dan segera menyendokkan nasi goreng untuk dimakan olehnya. "Enak, rasanya masih sama." "Makasih Non, bibi senang sekali akhirnya Non Shaila pulang." Dengan menahan tangis Shaila terus melanjutkan makannya, entah mengapa dirumah ini ia begitu emosional. Keributan diluar mengusik Shaila dan juga Bi Rarti, terlihat Mang Ujang agak berlari menghampiri mereka. "Mereka datang Non." Mendengar hal itu sontak Shaila bangkit dan menuju ke ruang tamu diikuti Bi Rarti dan Mang Ujang. Disana ada beberapa pelayan yang ketakutan, bahkan satpam didepan pun hanya bisa menunduk ketakutan dibentak kasar oleh orang-orang asing dimata Shaila. "Hentikan." Kedatangannya mengundang semua perhatian orang-orang, terutama pria gendut yang Shaila yakini adalah bos mereka. "Siapa kamu? Berani sekali menghentikan kami." "Saya anak dari pemilik rumah ini, kita memang belum pernah bertemu. Saya datang kemari karena ada yang ingin saya bicarakan dengan bos kalian." Si gendut menaikkan alisnya dan berjalan mendekat, meneliti Shaila dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pilihan Shaila memakai setelan kantor kebesaran dengan warna abu-abu itu memang tepat, setidaknya ia merasa terlindungi dari pandangan kurang ajar. "Apa yang ingin kamu bicarakan dengan saya?" "Saya ingin membeli rumah ini kembali." Mata pria paruh baya itu tampak mengejek Shaila. "Memangnya kau punya uang berapa untuk membeli kembali rumah ini? Hutang ibumu bahkan belum lunas." Shaila cukup terkejut dengan apa yang baru diketahuinya ini. Tidak hanya menjual rumah juga mengambil perintilan yang mahal dirumah ini, wanita itu juga masih meninggalkan hutang? "Wanita mata duitan itu, meninggalkan hutang banyak karena kalah bermain judi bahkan setelah mengambil semua uang hasil pembelian rumah ini." "Dia bukan ibuku. Dia istri kedua ayahku." Shaila dengan tegas berkata demikian. Ia sangat tidak mau mengakui wanita sialan itu ibunya. Ia terlalu jijik untuk itu. Pria tua itu malah tertawa terbahak-bahak, "jadi cantik, berapa harga yang kamu tawarkan untukku?" Vote and Comment guys!!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD