Sepuluh

1010 Words
"Berapa kamu membeli rumah ini?" "14 Miliar." Shaila merapatkan bibirnya pelan, dalam hati terus memaki wanita sialan itu agar mendapat sial seumur hidupnya. Rumahnya ini sangatlah stategis, berada dikawasan rumah mewah dengan dua lantai, halaman rumah depan dan belakang yang luas, terdapat kolam renang dan juga terdapat carpot yang bisa menampung lima mobil. Harga segitu tidak ada dalam benak Shaila sama sekali. Tapi hal ini tentulah tak akan menyurutkan niatnya, ini satu-satunya yang Shaila punya untuk mengenang orangtuanya. "Baiklah, mungkin kita bisa membicarakan tentang cicila-" "tidak ada kata penyicilan rumah." Ucapan Shaila terpotong begitu saja, matanya melebar tak percaya. Pria ini sungguh kejam. "Jika ingin ada cicilan, aku tidak masalah menambahkan bunga untukmu. 15%." Shaila rasanya ingin menangis darah sekarang, pria tua ini sungguh kejam sekali. "Cicilan hanya dilakukan 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan." Ini sungguh mustahil, Shaila mendapatkan uang sebanyak itu darimana. Ini namanya pemerasan. "Jika tidak mau menyicil, bayar langsung ku beri waktu seminggu bagaimana?" Shaila sedari tadi tidak bisa bersuara sama sekali, ia menatap para pelayan dirumahnya ini yang kebanyakan pekerja lama. Mereka akan kemana jika tidak bekerja dirumah ini lagi? Shaila mengenal mereka, rasanya jahat sekali membiarkan mereka terlantar begitu saja. Ia pun tidak suka melihat rumah ini menjadi milik oranglain. Tetapi Shaila tidak sanggup, apa yang harus dilakukannya sekarang? "Dua minggu." Ujarnya menawar. Shaila akan mencari caranya nanti yang penting ia harus mengulur waktu dulu. "Sepuluh hari atau tidak sama sekali. Nona muda jika kamu tidak sanggup, lebih baik tidak usah. Kau hanya buang-buang waktu dan tenagamu. Aku menyukai rumah ini, mungkin bisa dijadikan tempat tinggal salah satu istriku." Dengan berat hati Shaila menyetujuinya. "Baiklah, sepuluh hari." "Sepuluh hari lagi aku akan kemari. Ayo pergi." Dan sekawanan itu pergi meninggalkan rumahnya. Shaila langsung terduduk dilantai karena lemas, ia tak tahu harus bagaimana. "Non, minum dulu." Shaila menerima gelas yang disodorkan oleh bi Rarti padanya, dengan pandangan kosong ia menegak air mineral itu. Setelah itu ia diajak beranjak supaya duduk disofa untuk sedikit lebih tenang. "Non, jika itu terlalu berat jangan dipaksakan. Mungkin non bisa mengikhlaskan rumah ini." Mendengar perkataan itu Shaila menatap keselilingnya, menatap semua orang juga rumahnya. Perasaan tak rela itu mengglayuti hatinya. "Non Shaila juga gak perlu memikirkan kami. Kami akan mencari pekerjaan lain." Menghela nafas Shaila menggelengkan kepalanya pelan, memberikan senyum terpaksanya. "Aku akan berusaha. Kalian tidak perlu khawatir dan memikirkan masalah ini. Kalian juga masih bekerja disini jadi jangan pikirkan mencari pekerjaan lain. Aku mau ke kamar dulu." Setelah itu Shaila meninggalkan ruang tamu, menaiki anak tangga dan menuju kamarnya. Semuanya masih sama kecuali etalase tempat koleksi tas branded juga sepatu-sepatunya yang kosong. Shaila menuju ke ranjang nya dan duduk disampingnya, mengambil kunci dari tasnya dan membuka laci yang ada dibawah tempat tidurnya. Ia berharap wanita jahat itu tidak membuka ini. Apa yang ada didalam laci itu masih tertata dengan rapi. Total ada delapan laci dibawah ranjangnya, empat disisi kanan dan empat disisi kiri. Ia kini berada disisi kiri, laci pertama berusi buku diary-nya. Laci kedua berisi surat-surat cinta semasa sekolah dulu. Laci ketiga terdapat novel koleksinya begitupun dengan keempat. Mereka masih utuh dan Shaila berharap disisi kanan pun begitu. Shaila beralih ke yang kanan, membuka lacinya satu persatu. Laci pertama ada album-album foto sedari kecil sampai ia kuliah. Laci kedua ada kado-kado kecil pemberian teman-temannya dulu juga mantan-mantan kekasihnya. Di laci ketiga berisi berkas-berkas pentingnya, dan dilaci terakhir berisi kotak yang cukup besar pemberian mamanya yang terakhir kalinya. Kotak itu dibukanya, ada banyak sekali perhiasan disana. Shaila tidak pernah memakai mereka sama sekali karena kotak ini selalu tersimpan didalam laci. Shaila tidak mungkin menjual ini semua, ini adalah pemberian ibunya. Shaila sangat menyayangi Mamanya, Mamanya yang cantik dan berhati lembut. Menghela nafasnya Shaila kembali menyimpan itu semua, beruntung ibu tirinya itu tidak ngutak-atik laci-laci berharganya. Sekarang Shaila harus memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang sebanyak 14 Miliar dalam sepuluh hari. Ingin meminjam uang bank Shaila tak berani, masalahnya ia pun tidak punya jaminan apapun. Jikapun ia menjadi diangkat menjadi manager, gajinya tidak akan turun dalam sepuluh hari. Meminjam uang pada teman-teman dikantor rasanya tidak mungkin karena mereka mana ada uang sebanyak itu. Teman kuliah, Shaila sudah lost contact dengan mereka. Tetapi seketika Shaila ingat ia menulis nomor telepon mereka dinote nya untuk hal-hal darurat. Ada beberapa yang ia hubungi tetapi nomornya tidak aktif, dan ada beberapa yang lain bisa meminjamkan uang tetapi tidak banyak. Dikumpulkan jadi satupun itu semua tidaklah cukup. Shaila tak akrab dengan teman semasa sekolah dasar, menengah pertama dan menengah atas karena terlalu sibuk belajar di kelas ekselerasi. Teman yang paling akrab dengannya saat ini dikantor yaitu Hani saja, tidak tahu jelas masalah hidup Shaila. Shaila tidak bercerita secara detail, ia hanya mengatakan ia pergi meninggalkan rumah orangtuanya karena ibu tirinya yang tidak ia sukai. Ini belum ada satu hari dan Shaila sudah sangat buntu dengan pemikiran nya sendiri. Ketukan pintu mengalihkan perhatian Shaila. "Non waktunya makan siang." Shaila begitu sibuk dengan kegiatannya berpikir dan menghubungi semua orang yang dikenalnya, waktu tak terasa begitu cepat berlalu. Segera saja Shaila bangkit dan berjalan beriringan dengan bi Rarti. "Bi, kemarin saat papa dimakamkan engga ada keluarga yang datang ya?" Bi Rarti yang ditanya begitu sempat berhenti berjalan, sebelum kembali menjawab. "Iya Non, saat Non Shaila pergi. Ibu sempet bikin acara gitu dirumah ini, mengundang banyak orang termasuk keluarga besar bapak." "Tapi pada saat itu Ibu membuat malu dan keluarga besar bapak sudah tidak pernah datang lagi kemari." Shaila menghela nafasnya pelan. Keluarga ayahnya begitu keras dan ia tidak terlalu dekat dengan mereka, mereka pun begitu tidak peduli pada Papanya yang mengalami kebangkrutan bahkan sakit parah hingga meninggal. Sedangkan keluarga Mamanya berasal dari keluarga sederhana, dimana eyang kakung dan eyang putri sudah meninggal. Saudara-saudara Mama bertebaran dan sekarang sudah tak tahu bagaimana kabarnya. "Sudah Non jangan sedih lagi, kan disini masih ada Bibi, Pak Tedi, Mang Ujang, dan yang lainnya." "Iya bi." Bi Rarti tersenyum senang dan bersemangat menyuruh Shaila duduk. "Menu makan siang hari ini kesukaannya Non Shaila. Sop kembang tahu, ayam goreng dan sambal kecap." "Terimakasih bi sudah ada untuk Shaila selama ini." Vote and Comment guys!!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD