Gubuk Tua

3028 Words
Ekspresi Daniel makin mengeras mendengar perkataan Fadhen yang mengharapkan dirinya mati. Pemuda itu mencengkram ranting kayu runcing pada tangan yang entah sejak kapan ia pegang. Rebecca di depan keduanya masih berdiri ketakutan dengan kedua lututnya yang melemas. Sedangkan, Christ masih tidak sadarkan diri di belakang Daniel. Fadhen sudah melesat maju, menyerang Daniel dengan pisau pada tangan. "Kau harus mati," katanya dengan menggigit rahang kuat. Daniel tidak menghindar, dengan santainya berdiri menyambut pisau tajam sosok yang merupakan ayahnya itu. Saat pisau sudah hampir menyentuh dadanya, Daniel dengan cepat menancapkan ranting kayu di tangannya pada tulang selangka ayahnya. Fadhen meringis kuat dengan mata membulat sempurna. Perlahan pakaiannya yang licin itu basah karena darahnya yang mulai terlihat. Daniel masih berdiri dengan tangan kanannya yang masih memegang ranting kayu yang ia tancapkan pada tubuh Fadhen. Tatapannya makin dingin dengan ekspresi datarnya membuat Rebecca yang menyaksikan insiden itu dengan mata kepalanya sendiri. Jadi, makin gemeteran takut. Seberani-beraninya Rebecca, ia akan takut juga kalau dihadapkan dengan kejadian mencekam seperti ini. "Sekarang kau sudah bisa melawan ayahmu sendiri ya?" Geram Fadhen tersenyum miring, menepis tangan Daniel kasar. Kemudian dia mencabut sendiri ranting pada samping tulang selangkanya. "Pergilah. Sebelum aku berubah pikiran," ujar Fadhen tersenyum misterius kemudian melangkah pergi meninggalkan Daniel yang melongo di tempatnya. Setelah Fadhen menghilang di balik semak-semak. Rebecca langsung berlari mendekat pad Christ dan duduk di samping pemuda itu. Sedangkan, Daniel berdiri saja dengan kelopak matanya yang bergerak tidak tenang. "Sekarang kita bawa Christ ke Villa dulu," ujar Rebecca merunduk samar, mengangkat tubuh Christ sembari mengalungkan lengannya pada bahu pemuda yang tengah tidak sadarkan diri itu. "Maaf," tutur Daniel lirih dengan kepala merunduk dalam. "Sekarang bukan saatnya bahas masalah tadi. Prioritas kita sekarang adalah Christ, buruan pergi cari bantuan. Aku ... akan mencoba menghentikan dulu pendarahannya di sini." Titah Rebecca dengan wajahnya yang masih pucat. Christ sudah ia sandarkan pada pohon besar di sampingnya. Ia pun merobek kaosnya sampai sebatas perut, kemudian mengikat kepala menekan punggunh Christ yang terluka. Berusaha menghentikan pendarahan. Daniel pun menurut, melangkah pergi dengan terburu-buru. Rambut panjangnya yang menutupi kening sesekali tertiup angin malam yang menusuk tulang. Membuat Daniel mempercepat langkahnya. Napasnya memburu mencoba berlari sekuat tenaga agar segera sampai ke Villa untuk meminta bantuan guru-gurunya. Sampai di dekat danau hitam, Daniel menghentikan langkahnya. Tiupan angin menerpa leher belakangnya membuat pemuda itu bergidik merasa merinding. Samar-samar terdengar suara yang memanggil namanya lirih. Kemudian sebuah tangan menyentuh tengkuknya, refleks Daniel menoleh cepat namun tidak ada siapapun di sana. Daniel meneguk ludah kasar kemudian melanjutkan langkahnya dengan jantung berdetak cepat. Kelopak matanya bergerak cemas, merasa takut. Namun, ia berusaha memberanikan diri karena tidak ada gunanya berteriak ketakutan di tengah hutan begini. Tidak ada juga yang bersedia menolongnya. "Daniel." Suara itu kembali terdengar, mulai dari belakangnya bergerak ke samping lalu terdengar jauh di atas langit sana. Daniel pun perlahan memberanikan diri menoleh ke samping. Alisnya bertautan saat melihay semak-semak berbentuk terowongan yang dalam dan juga gelap. Dengan ujung terowongan itu ada cahaya terang yang seakan menarik Daniel untuk terus melangkah masuk ke sana. Pemuda itu pun melangkah masuk dengan sekilas menoleh ke belakang. Takut kalau ada yang melihat atau mengikutinya. Ia pun berjalan masuk ke semak-semak tadi. Semakin dalam ia masuk semakin perasaannya terasa aneh. Bulu kuduknya pun sedari tadi meremang dengan napasnya yang terdengar memburu di tengah keheningan. Daniel mengerjap-ngerjapkan matanya saat melihat sebuah gubuk kayu di hadapannya. Yang atapnya sudah ditumbuhi tumbuhan parasit. Jendelanya sudah berkarat, dinding kayunya usang dan juga berjamur. Di sekelilingnya ada pohon besar yang tumbuh di setiap sudut gubuk. Sedangkan, di belakang gubuk digantung beberapa kain sobek dengan seikat rambut yang dibungkus dengan kain putih. Anehnya digantung di setiap ranting pohon dengan nomor dan juga bercak darah pada setiap kain. Di teras gubuk ada kursi plastik berwarna putih lusuh yang sesekali bergerak seperti kursi goyang. Beberapa kali pun, Daniel memperhatikannya. Seperti ada penghuninya di kursi yang seakan menatap Daniel tajam kini. Daniel pun mendekat pada kain yang tergantung. Ia sontak melebarkan mata kaget melihat ada nomor 1 sampai 3 di sana. Yang membuatnya semakin yakin kalau pembunuh dari Beno, Fiola dan Miss Jessie ada di sini. "Bentar, kalau gubuk ini adalah rumah pembunuhnya ... apa mungkin bukan ayah?" Gumannya bermonolog sendiri. Ia pun berusaha mencari tahu, berjalan ke arah gubuk. Tangannya terulur menggedor-gedor pintu dari kayu itu. Namun, masih terkunci rapat tidak bisa dibuka sama sekali. Daniel mendecak samar, berusaha mencari cara agar bisa membuka pintu. Pemuda itu tersentak kaget, melihat sekelebat bayangan dalam pikirannya. Sebuah kunci yang sudah berkarat disembunyikan di dekat teras, di tanam dengan di atasnya ditandai dengan batu. "A-apa itu?" Kagetnya karena baru pertama kali mengalami hal seperti ini. Daniel meneguk ludah kasar, mencoba mempercayai apa yang dilihatnya. Ia pun segera berjalan ke arah teras samping, dan ternyata memang ada batu besar di sana. Ia mendorong pelan batu itu kemudian menggali dengan ranting di dekat sana. Perlahan terlihat kunci yang sama persis seperti apa yang baru saja terputar dalam pikirannya. Sebenarnya Daniel masih merasa aneh akan hal yang menimpanya sekarang. Namun, karena tidak ada waktu lagi. Ia harus mencari tahu apa isi gubuk di dalam sana. Siapa tahu ia bisa mendapatkan petunjuk tentang siapa pembunuh sebenarnya. Daniel sudah memasukan kunci, ia memutar knock pintu dan terbuka begitu saja. Suara deritan pintu menyambut Daniel yang melangkah masuk ke dalam sana. Keadaan di dalam gubuk seperti suasana di luar yang gelap gulita tidak ada cahaya sedikit pun. Membuat pemuda itu tersandung akan sesuatu. Bibirnya meringis samar merasakan nyeri pada tulang keringnya. Ia pun berusaha beranjak berdiri, namun tubuhnya mendadak membatu mendengar suara langkah mendekat. Perlahan tapi pasti, semakin langkah itu mendekat semakin tercium juga aroma darah membuat Daniel menutup mulut dengan tangannya sendiri. Ia menempelkan tubuh jangkungnya pada dinding yang gelap itu. Berharap orang yang masih berdiri di teras itu tidak menyadari kehadirannya. Daniel mencoba mengintip di balik jendela, namun ia buru-buru bersembunyi karena sosok itu menoleh ke arah jendela. Jantungnya makin berpacu cepat, keringatnya pun bercucuran tanpa henti. Suara napasnya memburu membuat ia merutuk dalam hati tidak bisa menenangkan diri sendiri. Sosok jangkung itu melangkah masuk dengan menyeret seseorang yang sudah berlumuran darah. Seorang laki-laki yang tidak bisa dilihat wajahnya karena terlalu gelap di dalam gubuk. Daniel makin membungkam mulut dengan tangan. Berharap tidak didengar oleh sosok jangkung anehnya hanya memakai celana boxernya. Sosok itu dengan santainya mendekat pada lemari usang yang sangsi sudah dipenuhi dengan sarang laba-laba itu. Dia membuka lemari dengan mengotak-ngatik isi lemari yang entah apa. Sosok bertubuh tegap itu kembali menutup lemari kasar. Tangannya terlihat memegang sesuatu yang masih tidak bisa ditangkap jelas oleh mata Daniel. Benar-benar terlalu gelap pencahayaan di dalam gubuk tua. Sosok itu kembali menyeret pemuda yang nampak terluka dan tidak sadarkan diri. Daniel pun mengikuti dengan pandangannya yang berusaha ia tidak kedipkan. Karena setiap detik sangat penting untuk ia saksikan apa yang sebenarnya akan dilakukan orang di depan teras sana. Daniel melebarkan mata kaget melihat sosok itu berjongkok di samping orang yang diseretnya. Duduk dengan mengarahkan sesuatu seperti pisau dan tanpa menunggu lama ia menggoreskan begitu saja kening pemuda itu. Suara kesakitan yang memekikan telinga Daniel itu hanya dianggap angin lalu oleh sosok di depan sana. Bahkan, samar-samar bibirnya tertarik lembut membentuk senyuman. Darah makin berserakan dimana-mana. Terutama di teras depan gubuk yang membuat Daniel menahan mulutnya untuk tidak merasa mual. Pemuda itu kembali mengintai dari jendela, ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh sosok misterius itu. Daniel meneguk ludah kasar saat orang itu mengambil sesuatu seperti benang. Bukan benang untuk menjahit pakaian, melainkan seperti benang untuk memancing dan sebagainya. Karena ukurannya terlalu besar. Entah hal gila apa yang orang ini lakukan. Tatapan Daniel masih mengarah pada orang yang tetap dalam posisi berjongkok itu. Tangan sosok misterius itu mengalungkan benang ke leher pemuda yang sudah sekarat di teras. Yang lalu merespon dengan berusaha melepaskan diri dari sosok yang sedang mencoba membunuhnya itu. "Kau ... tidak perlu takut. Aku hanya membantumu untuk mati." "Akkkhh ... hhkkk." Suara pemuda yang makin dicekik itu terdengar di tengah keheningan hutan membuat Daniel makin membatu di tempat persembunyian. "Akhirnya selesai juga," jeda sosok itu, "ck, darahnya jadi kemana-mana karena kau terlalu bersemangat untuk mati." Sambungnya mendecak samar. "Sebentar lagi kau akan bertemu dengan teman-temanmu. Mereka pasti senang melihat kau seperti ini," ujarnya masih berbicara pada jasad yang sudah kaku itu. "Sekarang, mari kita pergi ... untuk membuat pertunjukan." Katanya kembali berdiri menarik kaki kanan jasad itu dan menyeretnya keluar dari gubuk. Lutut Daniel masih melemah, namun ia berusaha untuk mengekori sosok yang sudah melangkah lebih dulu. Jarak mereka kini 2-3 meter, karena Daniel tidak ingin tertangkap basah oleh pembunuh itu. Yang membuat Daniel makin merasa aneh adalah orang itu sama sekali tidak merasa kedinginan berada di dalam hutan tanpa sehelai pakaian. Hanya memakai boxer yang juga nampak lusuh itu. Dan yang membuat Daniel penasaran adalah apakah orang di depannya itu adalah salah satu dari teman sekolah yang datang bersamanya. Atau orang yang memang penghuni pulau asing ini. Dilihat dari manapun, orang misterius itu begith familiar. Postur dan suaranya tadi seakan mengingatkan Daniel pada seseorang yang sampai sekarang ia tidak tahu orangnya siapa. Karena kesal tidak kunjung mendapat pencerahan. Daniel memutuskan untuk mencari sesuatu yang bisa ia pakai untuk menghajar si pembunuh. Agar ia bisa menolong teman-temannya dan juga dirinya sendiri. Karena kalau pembunuh ini mati, mereka bisa keluar dari pulau asing ini tanpa harus bersusah-susah dan ketakutan karena adanya orang ini. Langkah Daniel terhenti saat melihat sosok jangkung itu sudah berbelok ke arah Villa dengan santainya. Suasana Villa yang hening dan gelap membuat suara gesekan kaki sosok itu dengan daun-daun kering di atas seresah membuat Daniel makin berhati-hati melangkah. Karena kalau ketauan, mungkin ia yang akan menjadi korban selanjutnya. Daniel refleks melempar dirinya ke samping saat sosok tadi menoleh ke arahnya. Jantungnya mencelos, berdetak cepat karena hampir ketahuan. Sosok misterius dengan rambut yang hampir menutupi matanya itu melangkah naik ke dua tangga di teras Villa. Masih menyeret jasad pemuda di tangannya kemudian berjalan ke arah pintu Villa mengikat dan menggantung jasad malang itu. Setelah selesai melakukan aksinya. Si pembunuh itu mengambil tanah lembab di samping Villa dan menaburkannya pada lantai teras yang ada bekas darah di sana. Kemudian ia menggosok-gosokannya dengan kedua kakinya. Ekspresinya datar saja. Dia melangkah menuruni tangga dengan berbelok ke arah semak-semak. Daniel masih mengikuti punggung sosok si pembunuh yang masih belum dikenali oleh Daniel walau terlihat familiar. Daniel sebenarnya ingin mengikuti orang tadi. Namun, jasad yang digantung pada pintu Villa lebih penting sekarang. Ia pun segera berlari mendekat ke Villa dengan tergesa-gesa. Langsung memegangi kedua kaki pemuda malang yang sudah tidak bernyawa itu. "To-tolong! Tolong ... siapapun tolong! Ada mayat di sini!" Seberapa keras pun, Daniel berteriak dan sebanyak apapun ia merapalkan kata tolong. Tapi, tidak ada seorang pun yang mendengar dan datang membantu. Ia jadi mendecak kasar makin merasa panik. Berusaha melepas ikatan yang dipakai untuk menggantung pemuda dalam pegangannya. Setelah bersusah payah sampai terlihat keringat dinginnya. Akhirnya jasad itu terlapas dan kini berada dalam pangkuannya. Daniel segera melihat sosok yang sudah pucat kebiruan itu. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya kaget dengan memekik kuat melihat sosok di depannya itu yang ternyata adalah jasad Beno. *** Laura menghela napas samar dengan menatap Christ di hadapannya yang duduk dengan santai. Seakan tidak ada yang terjadi apapun padanya. Padahal kata Rebecca, semalam pemuda itu hampir mati karena kehilangan banyak darah. Kepala Christ kini hanya diperban seadanya. Karena tidak ada obat-obatan seperti di rumah sakit. "Terus bagaimana, apa tidak sebaiknya kita laporkan masalah ini pada Mr. Betran dan Mr. Edhan?" Tanya Laura menoleh sesaat pada Rebecca yang duduk bersandar pada samping pintu kamar. "Jangan dulu, karena kalau kita ceritakan sekarang. Anak-anak bakalan ngerasa makin panik dan ketakutan." Sahut Rebecca tidak setuju, "selain itu, daripada mencemaskan mereka yang takut ... aku lebih cemas pada mereka yang gila dan nekat. Bergerak sendiri untuk mencari si pembunuh itu." Lanjut Rebecca dengan rahang mengeras membuat Laura menghela napas gusar. "Ya, itu kan urusan mereka. Kalau mereka sebegitu nekatnya berarti mereka tidak ingin bertahan hidup dan keluar dari sini." Laura masih kekeuh untuk memberitahukan pada guru dan juga teman-temannya soal identitas pembunuh yang Rebecca dan Christ temui semalam. "Lagian kalian ngapain malam-malam ke hutan? Kalian berdua yang bikin aturan kalian sendiri yang ngelanggar." Omel Laura merasa heran dengan dua anggotanya. Christ masih belum membuka mulut, alisnya bertautan dengan pikirannya yang melangnangbuana. "Aku penasaran sebenarnya pembunuh itu siapa? Salah satu dari kita atau memang ayahnya Daniel seperti yang pernah Christ singgung." Rebecca menipiskan bibir sesaat, masih terbayang jelas bagaimana kejadian mencekam semalam yang membuat ia sama sekali tidak bisa terlelap. "Beberapa kali aku memang merasa ada yang memperhatikan selama di sini." Lanjut Rebecca meneguk ludah samar. "Saat di danau hitam, pas meninggalnya Miss Jessie dan masih banyak lagi. Seperti ada bayang-bayang orang yang mengintai dari jauh." Laura bergerak kecil menghadap Rebecca seutuhnya, "aku juga sih, mungkin emang selama ini kita diintai sebelum dibunuh." Kata gadis itu dengan nada santai. Christ mendecak samar membuat keduanya kompak menoleh pada pemuda yang sedari tadi diam. "Jangan katakan pada siapapun soal ayahnya Daniel semalam. Karena anak-anak akan makin menganggu Daniel seperti biasa." Saran Christ sembari menoleh pada Daniel yang masih terlelap tidak sadarkan diri. "Aku sampai latah kaget lihat dia pingsan depan pintu Villa. Aku kira dia korban selanjutnya. Tahunya dia cuma pingsan," ujar Laura menggelengkan kepala heran. "Pasti dia kaget dan shock karena pertemuan dengan ayahnya sendiri harus semenakutkan seperti semalam. Aku melihat sendiri ... bagaimana Daniel melawan ayahnya sendiri. Hanya bersenjatakan ranting," cerita Rebecca dengan tatapan lurus pada lantai kamar. "Hampir saja Daniel mati di tangan ayahnya sendiri. Karena saat itu ayahnya memegang senjata tajam, aku gak tahu kalau Daniel bisa senekat itu saat berhadapan dengan ayahnya sendir." Laura membasahi bibir bawah, mendengar cerita panjang lebar Rebecca. "Bagaimana bisa ayahnya Daniel bisa sampai di pulau ini?" Rebecca mengedikan bahu tidak tahu, "kalau ayahnya Daniel datang ke sini karena memang tujuannya untuk bersembunyi. Bukan seperti kita yang terdampar, akan lebih baik kalau kita bertanya bagaimana cara agar bisa keluar dari sini. Bagaimana?" Ujar Laura mengutarakan pendapatnya. "Sebelum kau dapat jawaban, mungkin kau akan menjadi mayat." Sahut Christ tanpa beban. Laura sontak mendelik dengan menggelengkan kepala berulang kali, merapalkan kata 'amit-amit'. "Dilihat dari mana pun, tidak ada jalan keluar dari sini. Kita hanya bisa berhadap dan berdoa agar orangtua kita bisa segera menemukan keberadaan kita di sini." Kata Rebecca memejamkan mata sesaat, bermunajat dalam hati. "Kita juga gak bisa berenang menyebrangi lautan yang tidak berujung ini. Sebelum sampai ... kita sudah mati membeku karena kedinginan." Laura menimpali dengan mendesah samar, "jaringan juga tidak ada. Persediaan makanan juga sudah menipis, bagaimana kita bisa bertahan hidup?" Lanjut Laura merasa cemas. "Bisa-bisa kita nanti jadi melakukan kanibalisme terhadap satu sama lain. Biar bisa bertahan hidup," "Tidak ada ucapan yang lebih enak didengar ya, selain itu?" Tegur Christ pada Laura membuat gadis itu merapatkan bibir. "Pasti akan segera ada bantuan, jadi jangan memikirkan hal yang tidak-tidak." Kata Christ dengan ekspresi dinginnya. Ketiganya tersentak kecil dan menoleh pada Daniel yang perlahan bergerak di atas tempat tidur. Pemuda itu mengerjap-ngerjapkan matanya dengan kening mengkerut. Bibirnya meringis samar seperti merasa sakit yang membuat Christ langsung mendekat ke sisi samping kasur. "Kau tidak apa-apa?" Tanya Christ khawatir membuat Daniel yang sedang mengumpulkan nyawa jadi membulatkan mata kaget. Pemuda itu pun langsung memegang lengan Christ mencengkramnya erat. "Aku ... aku melihat sendiri pembunuhnya." Gagap Daniel dengan meneguk ludah getir. Rebecca dan Laura saling pandang dengan ekspresi bingung. "Iya, aku sama Rebecca juga melihat ayahmu tadi malam. Kau beneran tidak apa-apa? Kau pingsan di depan pintu Villa." Ujar Christ lagi masih dengan kalem. "Bukan dia, tapi ada orang lain. Orang itu pergi masuk ke terowongan semak-semak dan masuk ke rumah gubuk. Sampai di sana dia membunuh orang yang diseretnya, kemudian ... dia kembali menyeretnua sampai ke depan Villa. Lalu dia menggantungnya di depan pintu, aku ... melihatnya sendiri." Racau Daniel dengan napas ngos-ngosan, terlihat sekali kalau pemuda itu masih shock. "Terus orang itu kemana?" Tanya Rebecca berusaha mempercayai ucapan Daniel. "Aku ... tidak tahu, karena aku harus membantu Beno yang digantung lebih dulu." Jelasnya dengan ekpresi seriusnya. Rebecca dan Christ saling pandang dengan ekspresi aneh, begitu pun dengan Laura yang langsung melengos kasar. "Beno sudah mati dari 4 atau 5 hari yang lalu. Bagaimana bisa orang yang sudah meninggal bisa dibunuh untuk kedua kali. Gak masuk akal," ujar Laura menggelengkan kepala tidak percaya. "Serius. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Bahkan, tanganku ... " Kata Daniel memperlihatkan kedua tangannya di depan teman-temannya. " ... tanganku ini yang memegang tubuh Beno. Beneran, aku benar-benar memegang tubuh Beno semalam di depan pintu Villa." Lanjut Daniel masih berusaha meyakinkan Rebecca, Christ dan juga Laura. "Kau tadi malam pingsan di depan pintu Villa. Aku sendiri yang menemukan kau di sana. Tidak ada siapapun dan juga tidak ada jasas seperti yang kau ributkan." Kata Laura dengan sengaja menekan setiap katanya. Daniel menggelengkan kepala berulangkali, "tidak mungkin, aku melihatnya sendiri tadi malam. Beneran aku menyaksikan sendiri bagaimana orang itu membunuh Beno. Tolong percaya sama aku!" Ujar Daniel frustasi. Christ menghela gusar mendengar semua penjelasan Daniel yang menurutnya tidak masuk akal sama sekali. Karena kenyataannya Beno sudah dikubur lama setelah jasad pemuda itu ditemukan di depan pintu Villa. Dan tidak mungkin orang yang sudah mati kembali dibunuh untuk kedua kalinya. "Kau masih shock kayaknya, kembali istirahat. Biar tidak memikirkan hal yang aneh," Daniel mendecak dengan beranjak duduk, "kalau kalian tidak percaya, sekarang kalian harus ikut aku. Kalau ada gubuk tua di dalam hutan sana." Jelas Daniel masih berusaha meyakinkan ketiga orang di depannya itu. "Di sana kalian akan menemukan beberapa kain sobek dengan seikat rambut yang dibungkus dengan kain putih. Dan digantung disetiap ranting pohon, ada juga bercak darah di sana. Kalian harus percaya sama aku!" Ujar Daniel setengah membentak. "Ini alasan kau terlambat datang saat aku menyuruhmu pergi meminta bantuan. Dan saat balik tahu-tahu kau pingsan, Laura bilang." Kali ini Rebecca yang mendecak samar mendengar Daniel yang masih kekeuh dengan pernyataannya. "Itu karena aku memang menemukan terowongan di dekat danau hitam. Karena penasaran aku ke sana, dan ternyata ada tempat seperti itu di dalam hutan. Tolong ... kali ini saja, percaya sama aku." Rebecca terdiam, melirik ke arah Christ yang mendecak samar. Sedangkan, Laura memicingkan mata menatap Daniel lurus. "Kalau begitu, buktikan kalau omonganmu benar. Kalau gubuk itu tidak ada berarti itu cuma hayalanmu semata." "Ba-baik,"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD