Semua orang sudah pergi mengantar Miss Jessie ke seberang danau. Dimakamkan di tempat yang sama dengan Beno dan Fiola. Karena kini ada korban ketiga membuat semua orang jadi makin merasa cemas dan terancam. Bahkan, saling menatap curiga satu sama lain.
Apalagi setelah mendengar penuturan panjang Christ yang sekarang akan menjadi pemimpin mereka di pulau asing ini.
Selama ini tidak ada yang berani membantah omongan Christ karena memang semua yang dikatakan oleh pemuda itu merupakan fakta. Jadi, tidak ada alasan untuk mereka tidak mempercayai apa yang keluar dari mulut pemuda berahang tajam itu.
Rebecca dan murid perempuan berdiri di dekat danau, mendoakan dari jauh Miss Jessi di depan sana yang sedang dimakamkan oleh kedua guru dan anak-anak cowok lainnya. Yang dipimpin oleh Christ tentunya.
"Apa kau punya gambaran tentang pembunuhnya?" Bisik Laura di samping Rebecca, berbisik dengan tatapan sendunya. "Tidak ada. Karena sekarang hanya amarah yang ada, aku benar-benar mengutuk pembunuh yang sudah berani melakukan hal ini." Ujar gadis bermata runcing itu. "Aku semakin ingin menangkapnya dengan tanganku sendiri." Kata Rebecca menggebu-gebu.
Tatapannya penuh dengan ambisi yang membara, sampai Rebecca mengepalkan tangan semangat untuk menemukan si pelaku.
"Jangan terlalu semangat, menangkap pembunuh seperti itu bukanlah persoalan mudah. Kau jangan membahayakan dirimu, ini sama sekali bukan ranah kita untuk bertindak ... karena kita hanyalah seorang murid." Ujar Laura panjang lebar, memandangi cahaya senter di dalam hutan yang masih menyala terang. Digunakan untuk menguburkan Miss Jessie.
Hari itu masih siang. Tapi, cuaca memburuk dan membuat hutan terasa gelap dengan seperti ada asap yang menjadikan hutan terlihat mendung. Langit pun sama, mulai mengeluarkan suara gemuruhnya di atas sana membuat beberapa murid berhampuran kembali ke Villa karena perasaan mereka mulai tidak enak. Seperti akan ada kejadian besar yang terjadi. Apalagi sedari tadi mereka dibayangi dengan kejadian aneh, seperti munculnya si pembunuh di tengah pemakaman.
Itu semua terjadi karena rasa takut mereka.
Christ membubarkan semua orang di dalam hutan. Berusaha meyakinkan diri kalau tidak akan ada satu pun temannya yang ketinggalan di dalam sana. Pemuda itu berharap tidak ingin kejadian nahas yang menimpa Beno, Fiola dan Miss Jessie kembali terjadi.
Karena kehilangan tiga orang saja membuat mereka merasa makin takut. Tidak tahu harus bagaimana lagi. Tidak ada tempat bagi mereka untuk melarikan diri. Hanya bisa berpasrah menunggu di dalam Villa, berharap bantuan akan datang untuk menjemput mereka semua.
Rebecca menarik diri dari barisan, berusaha agar tidak ada yang melihat ia memisahkan diri dari teman-temannya. Ia benar-benar merasa penasaran dengan pelaku pembunuhan yang sudah melenyapkan ketiga orang yang beberapa hari kemarin masih bersamanya.
Gadis bermata runcing itu ingin menemukan motif apa sampai pembunuh itu menyerang Beno, Fiola dan juga Miss Jessie. Kalau saja tebakan Christ benar, tentang pembunuh berantai yang merupakan sosok ayah kandung dari Daniel. Guna karena untuk membalaskan dendam akan perbuatan anak-anak yang pernah menganggu Daniel. Seharusnya orang yang pertama menjadi korban adalah Nicholas –– sang pacar.
Karena selama ini Nicholas lah yang paling berperan aktif dalam hal membully Daniel.
Dari kacamata Rebecca, motifnya bukanlah karena balas dendam. Berarti ada motif lain yang harus segera ia pecahkan. Sebelum pembunuh itu kembali memakan korban lain. Dan Rebecca tidak akan tinggal diam.
Sejujurnya ia emosi sekarang, karena sebagai salah satu anggota OSIS yang diberi mandat untuk menjaga teman-temannya. Tapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa diam mendengarkan kabar buruk yang setiap hari datang.
"Ck, apa ya?" Gumamnya sendiri menggigit bibirnya kasar berusaha memutar otaknya, memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
Saat Rebecca sibuk dengan pikirannya, berdiri di tepi danau hitam. Tiba-tiba gadis itu tersentak kaget saat mendengar samar-samar suara krasak-krusuk di depan sana. Hutan yang berada di seberang, dimana ada hamparan pohon pinus di sana.
Rebecca menaikan alisnya tinggi, bergerak cepat sembari mencari ranting pohon besar sebesar lengannya sebagai senjata. Gadis itu pun menyebrangi jembatan lapuk dengan hati-hati. Berjalan sendirian di tengah malam itu.
Langkahnya terhenti saat sampai di ujung jembatan. Ekor matanya menangkap sosok jangkung yang berasa di antara semak-semak. Perlahan terduduk lesu dengan kedua tangan yang menutupi telinganya.
Rebecca makin mendekat berdiri di belakang pemuda itu yang terdengar terisak tertahan dengan napas ngos-ngosan seperti ketakutan. Rebecca merunduk samar mulai mengenali sosok yang memejamkan matanya takut itu.
"Daniel?"
Daniel tidak menanggapi, masih menutup kedua mata erat dengan raut ketakutannya membuat Rebecca makin panik.
"Daniel, kau kenapa?" Tanya gadis itu lagi memberanikan diri menyentuh bahu Daniel yang jadi tersentak kaget karena sentuhannya.
Daniel mengerjap-ngerjapkan matanya samar berusaha mengenali Rebecca di depannya. "Kau ngapain di sini? Kau sak––" ucapan Rebecca terhenti saat Daniel malah maju mencengkram lengan Rebecca erat. "Jangan pergi, aku mohon." Ucapan aneh Daniel sukses membuat Rebecca membulatkan mata runcingnya. "Dari tadi ... ada yang memanggilku. Beno, Fiola dan Miss Jessie ... mereka dari tadi berusaha narik aku sampai ke tebing sana. Tapi, aku kabur." Cerita pemuda itu dengan napas ngos-ngosan, tangannya masih gemetaran membuat Rebecca menautkan alisnya bingung.
"Tenang dulu, tenang dulu ... mereka tidak akan bisa bawa kau pergi. Karena mereka sudah meninggal, orang yang mati tidak akan bisa melakukan itu." Kata Rebecca realistis, "mereka benar-benar ada di sini." Sahut Daniel yakin dengan matanya yang bergerak tidak tenang.
Rebecca mendecak samar melihat Daniel di depannya yang masih mengedarkan pandangannya ke sekitar dengan ekspresi takut. Seakan ada sesuatu yang sedang memperhatikan sedari tadi. Melihat Daniel bertingkah laku seperti itu membuat Rebecca jadi menolehkan kepala ke semua sudut.
"Tidak ada apapun di sini, emangnya kau mleihat apa?" Tanya Rebecca setengah berbisik membuat Daniel kembali menoleh padanya.
"Ada yang akan datang ... membunuh kita semua." Kata pemuda itu lagi yakin dengan ekspresi ketakutannya, "kau tahu pembunuhnya siapa?" Tanya Rebecca jadi memegang kedua bahu Daniel, mendesak pemuda itu agar membuka mulut.
Daniel terdiam lama, meneguk ludah berulang kali sampai mencekik lehernya sendiri dengan kuat. Kedua kakinya di atas tanah lembab itu sudah bergerak-gerak mencari tumpuan agar bisa terlepas dari cengkraman tangannya sendiri.
Rebecca yang berada di depannya sontak maju dan berusaha melepaskan tangan Daniel yang mencekik dirinya sendiri. Gadis itu makin panik dengan memanggil-manggil nama Daniel dengan kesal.
Daniel makin mengeratkan cekikannya sampai mukanya memerah. Urat lehernya pun terlihat dengan matanya yang melotot. Napasnya memendek dengan sesekali terbatuk kuat, namun masih dalam posisi seperti orang tercekik.
Rebecca makin panik saat Daniel perlahan tidak bergerak dan terjatuh pingsan tidak sadarkan diri di depannya.
"Daniel? Daniel? Kau tidak apa-apa?" Tanya Rebecca berulang kali sembari menggoyang-goyangkan lengan pemuda itu kuat.
Rebecca bergerak mendekat, menempelkan telinganya di d**a Daniel berusaha mendengar detak janting pemuda itu. Gadis itu bisa bernapas lega mengetahui Daniel masih hidup. Ia tidak mau kalau sampai dituduh membunuh Daniel. Karena orang yang terakhir bertemu dengan Daniel adalah ia sendiri.
Suara langkah kaki mendekat membuat Rebecca sontak menoleh dan meraih ranting pohon yang dibawanya tadi.
Suara langkah itu makin mendekat membuat Rebecca menahan napas dan saat sosok itu muncul Rebecca mengambil ancang-ancang ingin memukul dengan senjata seadanya yang ia punya.
"Christ?"
Rebecca akhirnya bisa bernapas lega dan langsung menjatuhkan ranting pada tangannya. Karena ia kira yang mendatanginya adalah si pembunuh, namun malah Christ yang kini menatapnya tajam.
"Apa kau tidak bisa dengar apa yang sudah aku katakan tadi. Jangan meninggalkan Villa tanpa ijin," ketus pemuda itu kemudian menolehkan kepala ke samping dan membulatkan mata kaget melihat Daniel terbaring tidak sadarkan diri di atas tanah lembab di depannya. "Apa yang kau lakukan pada Daniel?" Kaget Christ sembari merunduk cepat berusaha mengecek Daniel masih bernapas atau tidak.
"Bagaimana bisa kau melakukan hal ini pada Daniel?" Rebecca mendengus kasar mendengar Christ yang masih menuduhnya.
"Bukan aku, dia mencekik sendiri lehernya sampai pingsan begitu." Sahut Rebecca sarkas dengan ekspresi keruhnya.
"Bagaimana bisa dia mencekik lehernya sendiri, emangnya dia gila?"
"Emang anak ini gila, kan?" Balas Rebecca kembali membentak sampai Christ mendecak samar, mengeraskan rahang kemudian menolehkan kepala pada Daniel yang masih tidak sadarkan diri. "Kau harus menjelaskan apa yang terjadi nanti. Tunggu sampai Daniel sadar, kalau kau bersalah ... kau harus bertanggung jawab dan dihukum." Kata Christ tegas membuat Rebecca mengangguk saja, tidak takut.
"Terserah kau saja, lagiang ngapain aku sampai melakukan in––" kalimat Rebecca terpotong saat Christ melompat ke arahnya dengan membungkam mulut Rebecca dengan tangan besarnya.
Rebecca membulatkan mata kaget, ingin melepaskan diri namun Christ menyuruhnya diam. Pemuda itu menempelkan diri pada pohon, seperti bersembunyi dari sesuatu.
Benar saja, ada langkah kaki dan siulan yang terdengar mendekati tempat mereka berdiri. Rebecca jadi mengerjap-ngerjapkan matanya sembari meneguk ludah kasar. Ia sampai tidak sadar mencengkram lengan Christ kuat, entah karena takut atau takut karena siulan itu yang makin lama makin terdengar mendekat. Dan terlebih lagi menggema di dalam hutan di tengah malam itu.
Rebecca dan Christ terdiam dengan menahan napas. Apalagi suasana yang mendadak terasa mencekam karena suara siulan tidak terdengar lagi.
"Sudah pergi?" Tanya Rebecca membuat Christ mendesis menyuruhnya diam.
Suara kekehan terdengar membuat keduanya merinding. Rebecca yang punggungnya menempel pada pohon besar di belakangnya jadi melebarkan mata kaget saat seseorang melesat maju dan menghantam tubuh Christ dengan kuatnya sampai cowok itu terjatuh ke samping kaki Rebecca.
Rebecca membatu di tempatnya, saat tidak sengaja bertatapan mata dengan sosok berjubah itu yang kini memain-mainkan pisau di tangannya.
Christ sendiri sedang sibuk menyadarkan diri, merasa pusing karena hantaman kuat benda tumpul tadi. Pemuda itu memegang kepala belakangnya yang terasa ada cairan hangat di sana. Samar-samar ia bisa mencium aroma darah di tangannya membuat pemuda itu mengeraskan rahang kuat.
Christ hendak beranjak berdiri, namun tersentak kaget saat punggungnya ditusuk begitu saja sampai membuat ia memekik kuat dengan menggigit rahangnya. Rebecca yang melihat itu masih membatu dengan lutut melemah. Percikan darah sampai terciprat ke wajahnya yang terlihat shock itu.
Sosok asing itu masih maju ingin menyerang Christ yang berusaha menggeleng-gelengkan kepala agar tetap sadar. Namun, matanya berkunang dan tubuhnya terasa melemah karena kehilangan banyak darah.
Sosok asing itu masih berdiri tenang dengan bersiul santai. Perlahan merunduk dan berjongkok dan meraih rambut belakang Christ, menariknya ke kiri membuat leher pemuda itu terlihat kini.
Sosok itu mempererat pegangannya pada gagang pisaunya. Mengacungkannya tinggi-tinggi hendak menancapkannya pada leher Christ. Namun, Rebecca lebih dulu datang membantu dengan menghantamkan ranting pohon sebesar lengannya pada kepala orang itu.
Rebecca refleks menjatuhkan ranting pada tangannya, meneguk ludah berulang kali saat sosok yang baru dipukulnya menolehkan kepala ke arahnya. Tatapannya dingin tanpa ekspresi, perlahan beranjak berdiri dan melangkah mendekat pada Rebecca yang sontak melangkah mundur dengan ketakutan.
Rebecca sesekali menoleh ke belakang, melihat jalan agar bisa kabur dari sana. Namun, di belakangnya kini hanya ada danau yang bisa saja dalam dan tidak mungkin juga ia lompat begitu saja. Pasti akan mempermudah pembunuh itu menyerangnya.
"Kalau kau ke sini dengan sukarela ... aku akan membiarkanmu hidup." Katanya memanggil Rebecca, melambai dengan pisaunya. "Kalau kau pergi sekarang, jangan sampai tertangkap olehku. Karena kalau tertangkap ... lehermu akan aku patahkan." Ancamnya dengan ekspresi tenangnya membuat Rebecca menahan tangisnya.
"Tidak perlu takut, aku tidak akan membuatnya terasa sakit." Sambungnya kembali bersiul dan tersenyum.
Rebecca gemetaran hebat, perlahan merosot dengan meneguk ludah berulangkali. Gadis itu mengedarkan pandangannya dan melebarkan mata kaget saat melihat Daniel yang tidak sadarkan diri sedari tadi perlahan bergerak pelan.
Daniel berdiri menjulang tinggi seakan tidak terjadi apapun padanya. Pemuda itu menatap Rebecca yang sedang ketakutan sembari menoleh ke belakang Christ yang sudah pingsan karena banyak kehilangan darah.
Rebecca terdiam beberapa saat, memperhatikan tatapan Daniel yang berubah dingin dan datar. Pemuda itu perlahan merunduk dengan mengambil batu sebesar kepalan tangannya. Lalu melemparnya begitu saja membuat sosok yang berdiri di antara Rebecca dan dirinya hampir terhuyung jatuh. Namun, segera menyeimbangkan diri.
Sosok itu menolehkan kepala, sontak tersenyum menatap Daniel yang juga membalas tatapan dinginnya.
"Kau ternyata di sini ya?"
Daniel menautkan alisnya bingung, merasa pernah mendengar suara familiar di depannya itu.
"Kau sekarang sudah melupakan ayahmu sendiri ya?" Mendengar itu Daniel sontak membulatkan mata kaget, begitu pun Rebecca di belakangnya yang membeku di tempatnya berdiri. Ternyata perkataan Christ beberapa hari yang lalu benar adanya.
Ayahnya Daniel datang untuk membalas dendam dan membunuh semua orang yang sudah membuat Daniel menderita selama ini.
"Kau selama ini ternyata hidup seperti pecundang. Sama sekali tidak bisa menjadi penerusku." Kata sosok itu dengan menggeleng-gelengkan kepalanya berulang kali, "kau bibit yang gagal, harus dilenyapkan karena tidak bisa berguna." Lanjut laki-laki itu perlahan menggenggam erat gagang pisaunya.
Daniel masih membatu seperti baru saja dikutuk, tidak pernah membayangkan akan bertemu dengan ayahnya sendiri di pulau asing dan juga di tengah hutan begini.
"Kau ... harus mati, Daniel."