Hanya Halusinasi

3018 Words
Nathan mengisap dalam rokoknya yang tinggal sebatang, kemudian mengembuskan asapnya bulat-bulat. Pemuda itu merasa cemas karena tidak akan bisa merokok lagi untuk ke depannya. Tidak ada cara untuk mendapatkan rokok seperto biasa. Rein di sampingnya yang tengah duduk bersilah sibuk menikmati roti isi cokelatnya yang tersisa. Ekspresi cowok itu sendu, sebab kedepannya ia akan tersiksa tanpa makanan dan mungkin saja ia akan mati kelaparan. Berbeda dengan Nathan dan Rein yang sedang gusar karena persediaan kebutuhan mereka yang habis. Nicholas seakan tidak terusik sama sekali. Pemuda itu hanya memikirkan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan makanan atau pun rokok. Sosok jangkung yang berdiri di dekat jendela itu hanya penasaran akan satu hal. Tentang kematian orang-orang yang terdampar bersamanya di pulau asing ini. "Bagaimana menurut kaliam tentang jasad yang dikubur di pulau ini? Bukankah kita harus menunggu persetujuan wali ya?" Rein membuka suara dengan sesekali menyubit kecil roti dalam genggaman. "Ck, mau dapat persetujuan apanya? Kita saja terjebak di tempat sialan ini." Sahut Nathan mendecak kasar, kembali merasa geram karena tidak bisa hidup leluasa seperti dulu. Apalagi tidak ada komputer kesayangannya di sini. Jadi, hari-hari di pulau asing ini terasa lebih lama dari biasanya. Nicholas terkekeh pelan sembari menggeleng-gelengkan kepala heran membuat kedua temannya jadi saling pandang merasa aneh. "Bagaimana kalau sekolah memang sengaja membawa kita ke sini untuk dibunuh satu-persatu. Jadi, tidak akan ada jalan keluar lagi untuk kita semua." Ujar Nicholas menakut-nakuti, "kita akan keluar dari sini ... hanya saat kita sudah menjadi mayat." Sambung pemuda itu kemudian tergelak sendiri sembari menepuk-nepuk tangannya heboh. Berbeda dengan Rein dan Nathan yang raut wajahnya memias. Benar-benar tidak bisa mengendalikan ekpresi takutnya. "Jangan bercanda seperti itu, Nic. Bikin merinding saja." Ujar Nathan beranjak berdiri membuang putung rokoknya keluar jendela. Nicholas hanya mengedikan bahu saja dengan kembali bersandar pada dinding kamar. "Kalau seandainya kalian bertemu si pembunuh itu? Apa yang akan kalian lakukan?" Tanya Nicholas lagi seakan menunggu moment itu. "Amit-amit, jangan sampai bertemu beneran. Aku ingin keluar hidup-hidup dari sini, apapun caranya." Sahut Rein semangat sembari mengepalkan tangan kanannya. "Karena kalau tidak ... pacar-pacarku di luar sana akan kesepian tanpa aku." Sambung pemuda itu sedih membuat Nathan ingin menendangnya kasar. Padahal Nathan sudah mendengar perkataannya dengan serius. Nyatanya temannya itu hanya mengatakan sesuatu yang menggelikan. "Kalau aku sih, tinggal pasrah saja. Bisa saja kan dia merasa kasihan terus membiarkan kita kabur?" Nicholas belum berhenti, masih melanjutkan hayalannya yang menakutkan itu. "Tidak ada pembunuh berantai yang akan mengasihani korbannya. Kalau dia berhati lembut dan tidak tegaan begitu, dia pasti tidak akan menjadi pembunuh." Ujar Nathan membantah omongan Nicholas. "Ya, benar juga. Tapi, kan tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang menyenangkan seperti itu. Atau tidak ... bergabung saja dengannya melakukan semua hal yang dia lakukan." Kata Nicholas menoleh pada kedua temannya, menaikan alis kirinya tinggi menunggu respon Rein dan Nathan yang meneguk ludah kasar. "Pikiranmu menakutkan, jangan bahas hal yang menyeramkan begitu. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu," ujar Nathan mengalihkan topik pembicaraan. "Apa?" Nathan menghela napas sesaat, melangkah menghampiri Nicholas di dekat jendela. Pemuda itu menjulurkan tangan mendorong jendela yang penuh dengan debu dan juga sarang laba-laba itu. Kemudian ia menunjuk salah satu jalan yang dimana jalan menuju danau hitam. "Kau mau ke danau hitam?" Tebak Nicholas bingung membuat Nathan mendecak samar. "Bukan, semalam aku melihat Christ dan Rebecca datang sama-sama dari sana. Aku rasa mereka pergi ke hutan bersama, jangan-jangan rumor tentang Rebecca yang menyukai Christ itu benar?" Gumam Nathan pelan tanpa melihat ekspresi keruh Nicholas di sampingnya. "Rebecca bukan cewek seperti itu, jaga omonganmu sebelum aku rontokan gigi depanmu." Ancam Nicholas mendadak serius, Nathan mengalihkan pandangan merasa kesal dengan sikap Nicholas yang selalu tidak bisa mengendalikan emosi saat menyangkut Rebecca. "Ck, kau selalu saja berusaha tutup mata dengan kenyataan kalau memang Rebecca dari lama menyukai Christ. Kau saja yang masih berharap dan mempertahankan Rebecca di sisimu." Tukas Nathan menatap Nicholas lurus membuat pemuda jangkung di depannya itu langsung menarik kerah bajunya kasar. "Tutup mulutmu! Jangan karena kau dekat denganku, bukan berarti kau tidak bisa kuhajar seperti Daniel. Jadi, sebelum kesabaranku habis ... tutup rapat-rapat mulutmu, sialan!"  Rein melompat maju melerai dua temannya yang sudah saling menarik kerah baju satu sama lain. Pemuda itu sampai menjatuhkan sisa rotinya di tangan. Karena merasa suasana mendadak mencekam karena Nathan dan Nicholas yang sudah melemparkan tatapan tajam. "Jangan begini, Rebecca tidak mungkin seperti itu seperti yang Nicholas katakan." Ujar Rein sudah berdiri di antara dua temannya, "dan kalaupun memang benar Rebecca menyukai Christ. Nicholas sendiri yang akan mengurusnya, dan pasti Rebecca sudah lama memutuskan Nicholas. Kau tahu sendiri kan, Rebecca adalah sosok yang tegas?" Lanjut berusaha bersikap netral. Nicholas dan Nathan kompak membuang muka ke samping dengan berusaha meredamkan emosi mereka. Rein pun menghela napas lega dengan menepuk bahu kedua temannya menangkan. Nicholas menepis pelan tangan Rein, pemuda itu melangkah keluar dari kamar dengan menyusuri koridor. Ia berbelok ke arah tangga untuk naik ke lantai dua. Ia benar-benar tidak tenang mendengar Rebecca datang bersama dengan Christ semalam. Apalagi keduanya balik dari dalam hutan. Padahal Christ sendiri yang sudah melarang dan membuat aturan untuk tidak memasuki hutan. Nyatanya pemuda itu sendiri yang melanggar. Dan sialnya malah pergi dengan Rebecca, kekasih Nicholas. Pemuda jangkung itu pun tanpa beban menaiki undakan tangga membuat beberapa anak perempuan yang tengah duduk di salah satu ruangan jadi menoleh kaget melihat kemunculannya. "Nic, ini lantai dua ... laki-laki tidak diperbolehkan naik ke sini." Tegur salah satu anak perempuan, namun Nicholas hanya menulikan telinga. Berjalan menerobos beberapa anak perempuan yang langsung menarik diri memberi Nicholas jalan. Karena pemuda itu sudah seperti ingin melahap siapapun di depannya. "Kamarnya Rebecca mana?" Tanyanya dingin membuat gadis yang berada di sudut langsung menunjuk salah satu kamar yang berada di tengah. Tanpa menunggu lama Nicholas langsung mendorong pintu di depannya kasar dan menerobos masuk membuat cewek-cewek yang melihat kelakuannya saling pandang dengan tatapan penuh makian. Seenaknya masuk di kamar anak perempuan tanpa permisi begitu. Nicholas sudah berada di dalam kamar Rebecca, ia mengedarkan pandangannya mencari pacarnya. Karena tidak ada di kamar, Nicholas membuka kamar mandi yang ternyata juga tidak ada di sana. "Ck, sialan!" Umpat Nicholas menajamkan pandangannya, tangannya sudah mengepal erat dengan rahangnya yang makin mengeras kuat. *** Mr. Edhan dan Mr. Betran tengah duduk berhadapan di dalam ruangan mereka yang minim cahaya itu. Keduanya sedang mendiskusikan bagaimana cara agar bisa segera keluar dari pulau tempat mereka berada sekarang. "Satu persatu murid mati mengenaskan, begitu juga dengan Miss Jessie. Apa yang harus kita lakukan sekarang, Mr. Betran?" Tanya Mr. Edhan dengan menghela napas gusar. "Entahlah, saya juga masih bingung. Karena tidak ada kendaraan atau kapal untuk kita pakai menyeberang keluar dari sini. Signal juga tidak bisa terjangkau di sini. Yang itu artinya ... bisa saja kita akan selamanya terperangkap di pulau ini." Ujar Mr. Betran mencoba berpikir reaslistis. "Lalu bagaimana sekarang, kita cuma bisa pasrah saja? Sampai mati konyol di sini?" Mr. Edhan makin menampakan ekspresi takutnya. Apalagi setelah mengetahui rekan kerjanya juga sudah menjadi salah satu korban dari si pembunuh berantai yang murid-muridnya katakan. "Kita juga harus mempersiapkan diri saat nanti kita berhasil keluar dalam keadaan hidup dari sini. Kita juga harus menghadapi para orangtua yang akan protes soal anak-anak mereka yang tidak kembali bersama kita nanti." Kata Mr. Betran terdiam beberapa saat, "bagaimana kalau mereka mengira kita melakukan sesuatu hal yang buruk pada anak-anak mereka?" Mr. Edhan menipiskan bibir, baru tersadar akan hal itu. "Itu makanya saya tidak setuju saat harus menguburkan anak-anak yang mati kemarin di sini. Kenapa kita tidak biarkan saja mereka di satu ruangan? Kalau sudah dapat bantuan kan, kita bisa memperlihatkan pada orangtua mereka ... kalau memang benar adanya anak mereka dibunuh dengan keji." Racau Mr. Edhan dengan ekspresi cemasnya. "Ck, masalahnya makin rumit. Sebaiknya kita harus menemukan pembunuh itu terlebih dahulu sebelum makin banyak murid-murid yang menjadi korban." "Benar, Mr. Betran. Kita harus secepatnya bertindak." Keduanya tersentak kecil saat mendengar suara pintu diketuk dari luar membuat Mr. Betran sontak beranjak berdiri. Laki-laki itu pun, membuka pintu kamar lebar membuat sosok berkacamata bening di depannya menganggukan kepala sopan. "Ada apa?" Pemuda yang memakai hoodie putih itu sekilas mengedarkan pandangannya. Kemudian memaksa masuk membuat Mr. Betran menggigit rahang menahan kesal. "Bukankah lebih baik kau katakan keinginanmu terlebih dahulu. Dan permisi sebelum menerobos masuk?" Tegur Mr. Betran dengan tatapan tajamnya. Pemuda itu tidak menanggapi, malah mendudukan diri kemudian mengeluarkan ponsel pada saku hoodienya. "Jangan marah-marah dulu, Mr. Betran harus melihat ini ... baru nanti bisa melanjutkan apa yang ingin Mr. Lakukan." Katanya dengan membuka salah satu aplikasi asing yang membuat kedua gurunya mengernyitkan dahi bingung. "Kau mau memperlihatkan apa?" Ketus Mr. Edhan dengan menghampiri salah satu muridnya yang sama sekali tidak merasa gentar dengan teguran keduanya. "Saya dari kemarin mencoba mencari signal di semua sudut pulau ini." Jelasnya sembari menggulir layar hapenya dengan ibu jari. "Ada satu tempat yang bisa menangkap signal di––" "Dimana?" Potong Mr. Edhan cepat, menampakan wajah berbinarnya seperti baru saja mendapat harapan untuk hidup. "Bapak bisa kan diam dulu, saya kan sedang menjelaskan." Ujar pemuda berkacamata bening itu membuat Mr. Edhan refleks merapatkan bibirnya. Mr. Betran menaikan alis dengan menatap salah satu murid di depannya dengan tatapan aneh. "Bagaimana bisa kau menemukan signal yang semua orang tidak bisa dapatkan. Kau ... mau mencoba membohongi saya?" Tuduh laki-laki itu dengan rahang mengeras. "Itu karena hape bapak dan anak-anak lain tidak secanggih hape saya." Katanya yakin kembali memperlihatkan layar hape di depan wajah kedua gurunya. "Saya sudah memodifikasinya, membuat program baru yang bisa menangkap signal sejauh apapun." Ujarnya dengan alis terangkat tinggi. "Kau kan sama sekali tidak bisa menguasai mata pelajaran di sekolah. Bagaimana bisa kau membuat sesuatu hal yang mustahil untuk dilakukan?" Pemuda itu mendecak kasar kemudian berdiri, merasa tersinggung dengan ucapan Mr. Betran yang masih meremehkan kemampuannya. "Saya mungkin tidak pintar dalam pelajaran sekolah. Tapi, soal mengotak-ngatik hape dan komputer ... saya juarnya." Ujarnya yakin, "ternyata saya mendatangi tempat yang salah." Decaknya kemudian melangkah pergi meninggalkan dua gurunya yang saling pandang dengan mengerjap-ngerjapkan matanya bingung. Pemuda berkacamata bening itu pun melesat keluar dengan tersenyum miring, menggelengkan kepala berulangkali merasa heran dengan respon kedua gurunya yang tidak memuaskan sama sekali. Ia pun melanjutkan langkahnya sembari berhenti di salah satu sudut ruangan yang dimana ada satu meja dan kursi di sana yang mengarah ke arah jendela. Sedang, di sampingnya ada satu lukisan perempuan berambut panjang tengah memangku boneka dengan bibir tersenyum manis. Sosok bernama Dirga itu berdiri lama di depan lukisan, mencoba mengamati ekspresi berbinar perempuan di dalam lukisan. Semakin lama Dirga memperhatikan lukisan itu semakin ia merasa aneh. Karena lukisan itu bergerak, tidak sepenuhnya. Hanya bibir perempuan itu yang tadinya tersenyum lebar mendadak berubah menjadi garis lurus. Ekspresinya keruh dengan disekililingnya terasa sekali aura mistisnya membuat Dirga merasa merinding. Namun, bukannya takut Dirga malah merasa sesuatu yang menakutkan seperti ini adalah hal yang menyenangkan baginya. Apalagi kalau ia bisa melihat sendiri dengan mata kepalanya sendiri. "Siapapun kau yang terjebak dalam lukisan ini, bisakah kau memberi tahuku cara untuk keluar dari pulau ini? Rasanya menyebalkan karena tidak bisa berbuat apa-apa di sini. Apalagi tidak ada satu pun yang mau saling membantu. Mereka hanya memikirkan diri sendiri, benar-benar menyedihkan." Gumam pemuda itu sendirian. Dirga mendongak pelan kemudian tersentak kaget melihat lukisan di depannya hilang begitu saja. Hanya perempuan yang berada dalam lukisan tadi, sedangkan bingkai dan kanvasnya masih ada. Pemuda berkcamata bening itu kebingungan kemudian mengedarkan pandangannya. Bisa saja lukisan tadi berpindah tempat sesuka hatinya. "Dirga!" Dirga sontak menoleh saat namanya dipanggil oleh salah satu teman yang merupakan teman sekamarnya. "Ada apa?" Tanyanya acuh, kemudian kembali memandangi lukisan tadi yang normal lagi. Perempuan tadi berpose seperti saat pertama kali Dirga melihat lukisan aneh itu. "Kau darimana saja, kau harus merapikan barang-barangmu. Sepertinya aku tidak bisa tidur sekamar denganmu lagi." Ujar temannya dengan merunduk samar merasa tidak enak. "Kenapa?" Tanya Dirga dengan ekspresi masamnya. "Tidak ada apa-apa, aku hanya tidak nyaman tidur denganmu." Dirga mendecak samar, memperbaiki kacamata dia atas hidung. "Kau kira kau saja yang merasa tidak nyaman? Aku juga tidak nyaman tidur dengan orang yang setiap malam selalu membawa anak perempuan ke kamar," kata Dirga sengaja menekan setiap katanya membuat temannya itu membulatkan mata kaget. "Jangan bicara begitu, bagaimana kalau ada orang yang mendengar?" Kesal cowok yang lebih pendek darinya itu. "Lain kali jangan beralasan seperti itu lagi, bilang tidak nyaman agar kau bisa leluasa bermesraan dengan pacarmu, kan? Pasangan yang terlalu liar." Gerutu Dirga sembari melangkah pergi dengan merutuki temannya sepanjang jalan. Dirga pun melangkah keluar ke pintu Villa. Berdiri di depan teras dengan memandangi semak-semak tinggi di hadapannya. Samar-samar ia bisa mendengar suara ombak di depan sana yang membuat ia makin melangkah maju. Pemuda itu sesaat berhenti, merasa ada yang mengekorinya sedari tadi. "Ck, ada yang mau kau katakan?" Tanyanya mendecak kesal membuat gadis berambut panjang itu menggeleng saja. Tersenyum manis sembari mengayunkan boneka pada tangannya, "wajahmu terlihat asing, kau kelas berapa?" Dirga melanjutkan bertanya, hembusan angin tiba-tiba menerpa wajahnya membuat ia refleks memejamkan mata sesaat. Kemudian Dirga pun membuka matanya dan ia terkejut karena dirinya kini sudah berada di tengah laut. Dirga mengedarkan pandangannya, mencoba mencari perempuan tadi. Tapi, ia hanya mendengar suaranya yang berbisik di telinganya. "Tolong ... aku," *** Laura mendecak samar merasa lelah mengikuti Daniel yang melangkah cepat di depan mereka yang terpaksa mengekori pemuda itu. Katanya ia melihat pembunuh yang asli, melakukan semua kejahatannya di sebuah gubuk di dalam hutan di dekat danau hitam. Tapi, entah sudah berapa kali mereka memutari jalan yang sama tapi gubuk dan terowongan yang Daniel katakan sama sekali tidak ada. Entah pemuda itu benar-benar berhayal atau bermimpi buruk sampai mengatakan sesuatu yang tidak-tidak. "Bisakah kita balik sekarang? Rasanya kakiku sudah tidak kuat untuk melajutkan perjalanan." Kata Laura akhirnya menyerah, menghela napas ngos-ngosan dengan keringat yang sudah terlihat pada pelipisnya. "Jangan dulu, kalian harus melihat dulu dengan mata kepala kalian sendiri, kalau apa yang aku katakan itu memang benar." Ujar Daniel menggebu-gebu membuat Rebecca dan Christ menghela napas panjang. "Yang Laura katakan benar, Daniel. Tidak ada gubuk seperti yang kau ceritakan, sepertinya karena kau sakit ... kau jadi melihat hal yang tidak-tidak." Kata Rebecca menyahuti omongan pemuda yang masih pucat itu. "Jadi, kalian semua tidak percaya padaku? Iya? Karena kau hanyalah anak pembunuh berantai dan ibuku seorang koruptor?" Sentaknya tidak sadar jadi meninggikan suara membuat Christ yang berdiri di dekatnya jadi melengos saja.  "Tidak ada hubungannya, lagian dari tadi kau hanya memutari tempat sekitar sini, kan? Tidak ada terowongan dan juga gubuk seperti yang kau bilang." Ujar Christ mendecak samar, mulai kehilangan kesabaran. "Jangan membuang-buang waktu, karena masih banyak hal penting yang harus aku lakukan." Christ sudah berbalik pergi meninggalkan Daniel, Rebecca dan juga Laura di dekat danau hitam. Pemuda itu masih merasa pusing padahal yang terluka adalah punggungnya. Dan bodohnya Rebecca dan Laura malah memakaikan perban pada kepala Christ yang katanya ada darah di sana. Padahal darah punggungnya yang terciprat akibat kuatnya tusukan sosok yang disebut sebagai ayah Daniel itu. Christ sampai di depan Villa dengan melangkah naik ke teras. Pemuda itu menghentikan langkahnya saat jalannya dihadang oleh Nicholas yang kini melemparkan tatapan tidak bersahabat padanya. "Ada yang mau kau katakan?" Nicholas tidak menanggapi hanya mengeraskan rahang seakan ingin menonjok Christ berulang kali. "Dari tatapanmu sekarang, kau seperti ingin membunuhku." Tebak Christ tepat. Nicholas menghela napas samar, berusaha tidak memaki Christ kasar. "Kau semalam dari mana?" Tanyanya dengan menggigit rahangnya, "hutan." Balas Christ singkat dengan ekspresi yang masih datar. "Terus, kenapa kau ... bersama Rebecca?" Lanjut Nicholas berusaha memberanikan diri bertanya, sebenarnya pemuda itu takut kalau mendengar kenyataan kalau Rebecca dan Christ diam-diam bertemu di dalam hutan sana. Agar tidak ketahuan oleh dirinya. "Kau sepertinya salah paham, bukan hanya aku dan Rebecca. Tapi, ada Daniel juga. Aku terluka ... jadinya mereka berdua yang menolong." Jelas Christ tenang membuat Nicholas diam-diam menghela napas lega. "Kau tahu dari mana aku balik dari hutan. Kau juga ke dalam sana?" "Tidak. Nathan yang tidak sengaja melihat kalian berdua keluar dari jalan setapak sana, tapi ... kenapa aku harus menjelaskan ini pada kau?" Christ mengedikan bahu pelan kemudian melangkah masuk menerobos Nicholas yang langsung mengumpat kasar. Nicholas masih berdiri di teras, berusaha mengendalikan emosinya yang hampir saja ia lampiaskan tadi. Ia refleks menegakan tubuh saat melihat sang pacar datang bersama Lauran dan Daniel. Alisnya terangkat tinggi merasa kesal saat Daniel berada bersama kedua gadis di depannya itu. "Kenapa kau datang bersama si b******k ini?" Rebecca yang kaget mendapat pertanyaan seperti itu jadi melengos saja. "Namanya Daniel bukan si brengsek." Sahut gadis bermata runcing itu kemudian menatap Laura mengisyaratkan untuk membawa Daniel masuk ke dalam. Setelah dua orang itu pergi, Rebecca mendongak menatap Nicholas yang kini juga membalas tatapannya dalam. "Kau pasti datang ke sini ingin menanyakan soal aku yang semalam keluar bersamaan dengan Christ kan?" Tebak gadis itu tepat membuat Nicholas tersentak kaget. "Jangan salah paham, Christ semalam terluka karena ada ayahnya Daniel yang berkeliaran di pulau ini." Jelas Rebecca jujur pada sang kekasih membuat Nicholas melebarkan mata kaget. "Karena itu ... stop menganggu Daniel seperti biasa. Karena bisa saja ayahnya Daniel muncul di pulau ini, untuk membalaskan dendam Daniel selama ini." Gumam Rebecca dengan ekspresi dinginnya, "bisa saja Beno mati karena saat terakhir kali kalian seperti biasa, menghajar Daniel tanpa ampun." Ujar Rebecca membuat Nicholas untuk kesekian kali membulatkan mata kaget. "Beno mati karena dibunuh oleh ayahnya Daniel, Fiola ... terakhir kali jasad Fiola ditemukan di dekat Daniel yang saat itu pingsan kan? Bisa saja ayahnya Daniel datang dan membunuhnya di dekat tebing." Kata Rebecca mengutarakan pendapatnya. "Terus Miss Jessie ... yang aku tahu Miss Jessie kekeuh menuduh Daniel dan selalu berlaku tidak adil kan? Saat malamnya pasti ayahnya Daniel menyelinap masuk ke kamarnya. Kemudian membunuh Miss Jessie seperti dia membunuh Beno dan Fiola." Nicholas meneguk ludah kasar mendengar penuturan Rebecca yang terdengar masuk akal. "Kau ... selama ini kan sudah banyak membuat Daniel menderita. Aku ... tidak tahu seberapa menyakitkan kau nanti disiksa dan dibunuh oleh ayahnya Daniel." Nicholas mendecak samar mendengar perkataan Rebecca yang menakut-nakutinya. "Harus ya, kau mengatakan hal buruk seperti itu?" Rebecca mengedikan saja bahunya pelan. "Aku hanya mengingatkanmu untuk berhati-hati." Nicholas terdiam beberapa saat kemudian menjulurkan tangan ingin memeluk Rebecca seperti biasa. Namun, sang pacar lebih dulu mendorong tubuhnya pelan. "Panas, aku belum mandi." Kata Rebecca beralasan kemudian melangkah maju meninggalkan Nicholas yang mendecak kecewa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD