" BRIAN!!"
Teriakan itu memenuhi ruangan tempat Brian di rawat.
Brian yang mengenali suara itu terus merebahkan tubuhnya pura pura tertidur.
Semantara Natalie dan Aaron yang melihat kedatangan istri kepada Brian, beranjak dari duduk mereka.
" Apakah dia masih hidup?" Tanya Natasha walaupun tadi dia sempat melihat Brian terus merebahkan tubuh melihat kedatangannya.
" Dia masih hidup, Tasya.." jawab Natalie sambil meringis karena respon Natasha jauh dari dugaan mereka selama dua hari ini, wanita itu tampak tak mencemaskan suaminya sama sekali.
" Lalu apa dia koma? Patah tulang?" Tanya Natasha lagi seolah mengharapkan suaminya itu dalam kondisi buruk karena sudah berani pergi dari rumah tanpa pamit darinya.
" Dia baik baik saja, Tasya... Hanya saja dia ada luka ringan di bahunya.." jawab Aaron sambil memperhatikan Natasha mendekati Brian.
Tanpa di duga wanita itu meremas pusaka kebanggaan Brian itu dengan kuat.
" Arghhh!" Teriak Brian dan terus terbangun dari pura pura tidurnya.
" Honey!" Teriak pria itu sambil memegangi bahagian tengahnya, dia meringis kesakitan, rasa sakit dan ngilu akibat dari remasan tangan mungil istrinya.
Bahkan saking sakitnya dia sampai meneteskan airmata, semantara Aaron memegang pusakanya sambil meringis, walaupun dia tak pernah mengalami di remas kuat seperti itu, namun dia seolah juga dapat merasakan sakit dan ngilu itu.
" Apa?" Bukannya kasihan wanita itu malah menampar muka suaminya dengan kuat.
Aaron yang merasa akan ada perang ketiga antara suami istri itu, terus menarik tangan Natalie untuk beredar dari sana, membiarkan mereka selesaikan masalah mereka.
" Sayang.. aku lagi sakit.." Brian merengek manja sambil menarik wanita itu naik ke atas ranjang.
Natasha tak menolak walaupun wajahnya masih kelihatan cukup kesal.
" Aku minta maaf ya.." ucap Brian sambil mencium kelopak mata istrinya itu penuh kasih.
Tak terasa yang tadi kesal tiba tiba wajah Natasha terus berubah mendung.
" Aku minta maaf kalau aku sudah membuat kamu cemas.."
Melihat amukan Natasha di cctv malam itu, membuat Brian serba salah, dia tahu walaupun istrinya itu marah dan kesal, namun jauh di lubuk hatinya mesti merasa cemas.
" Maaf ya sayang.."
Dengan susah payah Brian mengangkat tubuh wanita itu keatas pangkuannya.
Wanita itu terus membenamkan wajahnya di d**a Brian dan terisak isak menangis.
" Aku tidak akan melakukan sesuatu lagi yang membuat kamu cemas.."
Wanita itu masih menangis, tadinya dia ingin marah dan memaki Brian sampai dia benar benar puas namun melihat kondisi Brian dan mendengar penjelasan dari Dylan, semua berubah, dia tak boleh marah!
" Honey.."
" Kenapa?" Jawab Natasha dengan suara serak, lalu mendongak memandang Brian.
" I miss you.." Brian mengecup bibir wanita itu. " Kalau kamu.."
" Sama.."
Natasha memperbaiki posisi duduknya lalu mendekatkan wajahnya ke Brian.
Bibir kedua bertemu dan menempel tanpa ada pergerakan, mereka melakukan itu cukup lama dengan mata bertatapan.
Perlahan Brian membuka bibirnya dan memberikan lumatan kecil di bibir istrinya.
Perlahan tapi pasti ciuman itu semakin dalam, Natasha mengangkat tangan dan mengalungkan di lehernya Brian.
Semantara Brian memegang kedua pinggang wanita itu, lalu menariknya, namun dia merasa sesuatu yang dingin di perutnya ketika Natasha menempel sempurna padanya.
" Honey.. sebentar.." Brian memegang muka wanita itu, lalu melepaskan ciuman mereka.
" Kenapa kamu seperti..." Pria itu menurunkan tangannya dan menyentuh ke pangkal paha wanita itu. " Kenapa kamu tidak memakai dalaman.."
Natasha hanya terkekeh pelan membiarkan tangan Brian bermain di bawa sana.
" Jawab pernyataan aku.." geram pria itu sambil menekan jari tengahnya ke dalam sana.
" Aah!"
" Kamu benar benar nakal.." Brian menggigit daun telinga wanita itu, dan tangannya di bawa sana masih terus berkerja.
" Kamu juga kenapa tidak memakai baju, biar bisa di goda perawat disini, iya?"
" Cih! Disini mana ada t-shirt yang ada hanya daster, masa aku yang laki laki pakai daster.."
Natasha tak pedulikan lagi ocehan pria itu, dia mengangkat wajahnya ke atas dengan mata terpejam, permainan jari pria itu benar benar memabukkan.
" Aah.. ahh!"
Brian yang geram menggigit dagu wanita itu, dan gerakan jarinya semakin cepat sehingga tubuh Natasha ikut bergerak.
" Aah! Bae.. bae.. aku—" bak cacing kepanasan Natasha terus menggeliat kegelian.
Brian terus menahan kaki Natasha dengan sebelah tangannya yang ada luka, agar wanita itu tetap mengangkangkan kakinya.
" Aku sudah tidak tahan, Bae!" Jerit Natasha dengan pinggul terangkat tinggi ke belakang.
" Aaahh!"
" Ayo sayang keluarkan!"
Tak berselang lama, lolongan panjang keluar dari bibir Natasha.
Dengan nafas ngos ngosan, dia kembali terduduk di pangkuan Brian.
" Cih! Celanaku sampai basah.." keluh Brian sambil menarik jarinya dari dalam sana.
Cairan cinta wanita itu masih mengalir membasahi celana pria itu.
Dia memandang wajah Natasya yang masih terisak isak dan menutup mata menikmati pelepasan luar biasa itu.
" Kamu menikmatinya, Honey.." tanya Brian sambil mengecup mata Natasha yang masih tertutup.
" Iya.." dengan malu malu Natasha mengangguk. " Kita lanjut ya.."
Brian tersenyum lalu mengelus rambut wanita itu. " Dirumah saja ya.."
Natasha terus merengek manja. " Tapi maunya aku sekarang.."
Brian menghela nafas sambil memandang kearah pintu yang tertutup.
" Okay tapi sebentar saja ya.."
Natasha memekik senang sambil mencium pipi Brian berulang kali.
" Nakal kamu ya.." Brian turut memberikan ciuman di pipi wanita itu sambil memeluk pinggangnya lalu berguling sehingga kini Natasha sudah berada di bawanya.
Dia memposisikan tubuhnya sejajar dengan Natasha, lalu mengeluarkan miliknya tanpa melepaskan celananya.
Natasha melihat ke bawa sambil menggigit bibir bawanya dan memegang kedua bahu Brian.
Brian menuntun miliknya untuk menemukan pintu kenikmatan.
" Shh.. ah!" Lenguhan kecil terdengar dari bibir mungil wanita itu.
" s**t! Ini sangat nikmat.." geram Brian sambil menatap wajah Natasya yang memerah.
" Aahh!!"
Dada wanita itu membusung sambil memegang erat bahu Brian, sehingga tanpa sadar dia menekan luka di bahu pria itu.
" Sakit, honey.."
" Maaf Sayang.."
Brian tak menjawab sambil menggeram ketika seluruh miliknya sudah terbenam sepenuhnya di dalam inti wanita itu.
Dia menyesuaikan diri, lalu perlahan menggoyangnya pinggulnya, dan terdengar rintihan pelan dari bibir wanita itu.
Semantara itu di luar kamar tempat Brian di rawat, Aaron dan Natalie terduduk di sana.
" Aaron.. kenapa mereka lama sekali melakukannya.."
Ternyata kedua orang itu sudah sejak tadi mendengar desahan dari dalam kamar itu.
Semantara Aaron mendengar suara Natalie seperti desahan di telinganya.
" Apa mereka tidak malu mendesah di rumah sakit seperti ini.."
" Aaah! Yeah!.. yeah disitu, Bae.." jerit Natasha, dan suara suara khas terdengar jelas dari dalam sana.
" Aaron?" Entah sejak kapan gadis itu yang duduk sedikit jauh dari Aaron, kini sudah duduk di sebelahnya.
Aaron yang mati matian menahan diri, akhirnya menoleh kearah Natalie.
" Tolong sedikit lebih jauh dariku, Nata.."
" Kamu kenapa?"
" Kau menginginkannya!" Tanya Aaron sambil menarik lengan gadis itu sehingga menabrak dadanya.
Melihat tatapan sayu dan suara berat pria itu, Natalie tahu dia sedang berhasrat.
" Apa yang kalian lakukan?!"
Natalie terus menolak d**a Aaron lalu menjauhi pria itu, melihat tatapan tajam Nick.
Semantara Aaron dengan santai menoleh kearah Nick.
" Hei bro." Pria itu memainkan alisnya, persis seperti yang sering dia lakukan dulu untuk menggoda Nick jika sedang marah.
" Kalian benar benar ke—"
" Aaahh!"
Tiba tiba terdengar lolongan panjang dari dalam sana, membuat Nick meneguk salivanya dengan kasar, dan seluruh tubuhnya tiba tiba menegang.
" Itu.. itu—" Nick tiba tiba gugup seluruh bulu kuduknya terasa berdiri mendengar desahan itu.
" Brian dan Natasha lagi melakukan.." jawab Aaron dengan wajah memerah.
" Oh Brian.... Sebentar.." Nick memandang Aaron dan Natalie tak percaya. " Brian?"
" Iya..dia tidak koma, semua itu atas perintah dari Dylan saja.."
***
Dylan hanya memperhatikan dari jauh melihat seorang gadis dengan mata di tutup kain di masukkan oleh anak buahnya ke dalam kamar tawanan.
Dia teringat dengan Sarah, bagaimana anak buahnya mengheret tubuh gadis itu masuk ke kamar tawanan.
Sebenarnya sejak awal dia tak mempercayai jika gadis itu adalah putri tunggal Jackson, melihat penampilan gadis itu pada waktu itu, ia tak mencerminkan sebagai anak perempuan dari Jackson.
Namun karena kata kata dari Kim, meyakinkan dia, membuat dia mengurungkan niatnya untuk menyelidiki keraguannya pada Sarah.
" Tuan.." kata seorang anak buahnya sambil menghampirinya lalu menundukkan kepala.
" Tawanan sudah di amankan.."
Dylan tak menjawab, dan melangkah keluar dari markas itu.
" Sebaiknya aku kembali dulu kerumah.." Gumamnya sambil memasuki sebuah mobil.
Dylan kembali membawa mobilnya kerumah utama, dia tak bisa membohongi hatinya jika dia merindukan gadis kecilnya.
" Sialan, hanya membayangkan dia kenapa sampai tegang seperti ini.."
Setibanya di kawasan rumah, gerbang itu terbuka dari dalam.
Ketika pria berketinggian 183 senti itu keluar dari mobil, di sambut dengan puluhan bodyguard baik depan gerbang mahupun di depan pintu masuk kerumah.
Sebenarnya Dylan tak suka memiliki begitu banyak bodyguard penjaga rumah itu, namun Brian tak bisa di ajak kompromi, pria itu tetap dengan pendiriann untuk memperketatkan penjagaan dirumah itu demi sang istri tercinta.
Dia memasuki rumah mewah itu, lalu langsung melangkah kearah lift.
" Sarah?" Panggilnya sambil menolak daun pintu, namun kamar itu kosong.
" Mana gadis itu?"
Dylan dengan tenang duduk di hujung kasur sambil membuka jasnya, kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
Dia melihat ke seluruh rakaman CCTV di rumah itu namun tak menemukan Sarah.
" Sialan... Kemana gadis itu?" Pria itu kelihatan sudah mulai geram.
Dia kembali meraih ponselnya, dan membuka aplikasi yang khusus berhubung ke kalung yang di pakai gadis itu.
Ya, Dylan sengaja memakaikan kalung itu kembali pada gadis itu ketika mereka bermalam di markas waktu itu, karena dia tahu Sarah tak mungkin melepaskan kalung itu dari lehernya, dengan begitu Dylan akan sentiasa tahu dimana gadis itu berada.
Tak lama kemudian, notifikasi muncul, menampilkan peta lokasi gadis itu berada.
Dylan menyepitkan mata, dia sangat tahu tempat itu, bahkan dia pernah tinggal disana, namun tempat itu juga menanam trauma yang begitu besar dalam diri Dylan, sehingga dia tak mau menempati rumah itu.
Namun pertanyaannya bagaimana gadis itu bisa ada disana?
" Kim? Pasti ulah dia lagi.."
Dia mengepalkan tangan, kemarahan terpancar di wajahnya, pistol yang terselip di pinggangnya di tarik lalu keluar dari kamarnya.
~ Bersambung ~