Jazlyn memegang jantungnya yang terus berdetak tidak karuan. Jari tangan kanan lentik itu terus mengelus dadanya berulang kali. Wajah merah merona masih tergambar jelas. Segala tentang pria itu membuatnya sesak nafas. Entah apa jadinya nanti jika gadis itu bertemu dengan dia kembali. Stocking itu bukannya membawa keberuntungan, tapi malah membawa kesialan berturut-turut, pikirnya berulang kali.
Kaki Jazlyn masih lemas lantaran efek dari aliran darah yang mengalir begitu cepat. Ia berjalan dengan tertatih, sambil memegang dinding untuk dijadikan tumpuan dari tubuhnya. Ini perasaan yang aneh, menggelitik jadi satu. Seolah ingin meminta hal lebih. Selama hidupnya, gadis tersebut tidak pernah merasakan hal seperti itu.
Sesuatu yang berbahaya dalam tahun itu, menyangkut tentang pribadi harus dihancurkan. Dunia tergantung padanya. Jadi, ia harus melakukan yang terbaik.
Setelah dirasa cukup tenang, Jazlyn menghirup nafas sepanjang-panjangnya, lalu menghembuskan nafas perlahan. Hal itu dilakukan agar kinerja jantungnya kembali normal.
Tidak lama kemudian, Jazlyn sudah bisa menguasai dirinya. Ia berjalan tegak menuju ke arah depan, kemudian berhenti di tengah koridor. Gadis itu menoleh ke kanan lantaran mendengar beberapa orang sedang berdiri di depan pintu hendak masuk.
Secepat kilat, Jazlyn berlari ke arah kerumunan orang itu dan berbaris di belakang.
"Kalian tunggu di dalam ruangan ini. Wawancara akan segera dimulai." Semua orang yang ada di koridor mengangguk. Saat pintu dibuka, mereka langsung masuk, begitu juga Jazlyn.
"Apakah Anda juga mau melamar?" tanya karyawan yang memberi instruksi tadi. "Benar," jawab Jazlyn ramah. "Anda cantik. Semoga di terima di divisi bagian keuangan." Senyum gadis itu mengembang sempurna membuat sang karyawan itu salah tingkah.
Namun, senyumnya memudar ketika ada seseorang yang menatap mereka berdua di tengah koridor.
"Se-sebaiknya, Anda masuk dulu. Se-sebentar lagi akan dimulai." Karyawan itu terlihat gugup membuat Jazlyn menyatukan alisnya tanda heran. "Masuklah…," perintah Karyawan itu sambil berbisik. Gadis itu hanya mengedikkan bahu acuh lalu masuk begitu saja. 'Dasar pria aneh'
Ketika Jazlyn masuk, semua mata tertuju ke arahnya. Gadis itu tidak peduli sama sekali dan duduk begitu saja di kursi kosong.
'Ada apa dengan mereka semua?' Jazlyn tidak suka ditatap dengan keheranan. Berbeda dengan penduduk distrik. Mereka menatap dengan penuh rasa bahagia karena kinerjanya.
Tidak terlalu ingin memikirkan sesuatu yang tidak berguna, Jazlyn mengambil ponselnya di tas. Ia melihat benda pipih itu menyala. Ada pesan masuk di sana.
'Bagaimana? Apakah kau bisa lolos, Jazlyn? Aku berharap kau Lolos'
Jazlyn tersenyum melihat pesan singkat dari Lucy. Ia kemudian membalas pesan itu.
'Masih tahap wawancara, Lucy. Doakan aku segera diterima'
Gadis itu mematikan ponselnya lalu menatap ke arah dimana seseorang keluar dari ruangan dengan mata sembab. Kening Jazlyn berkerut melihat kejadian itu.
"Dia tidak diterima karena pakaiannya yang seksi. Seperti menggoda seseorang," bisik gadis di samping Jazlyn sampai menoleh. "Dengar, Bos di perusahaan ini sangat tampan, belum menikah, dan juga banyak gadis beserta wanita berlomba-lomba naik kasta melalui ranjangnya," jelas gadis itu lagi.
Jazlyn tahu artinya itu, mereka menjual bagian bawahnya untuk mendapatkan hal yang diinginkan. "Emma Ricardo." Gadis di sampingnya mengulurkan tangan sambil tersenyum cerah.
"Jazlyn Emerald." Jazlyn menyambut uluran tangan Emma dengan baik. Mereka pun saling berbicara satu sama lain. Sampai tidak sadar jika tinggal mereka berdua yang berada di ruangan itu. Kesadaran mereka pulih saat seseorang menegur keduanya.
"Kau masuk dulu," tunjuk orang itu mengarah pada Jazlyn. Gadis tersebut bangkit dari kursi, berjalan menuju pintu berwarna merah tua. Ia membuka handle pintu perlahan. Hal pertama yang dilihat adalah tiga orang sedang duduk rapi menatap ke arahnya tanpa berkedip.
Sampai akhirnya, salah satu dari mereka angkat bicara. "Bawa berkas Anda kemari." Jazlyn berjalan ke arah mereka bertiga, memberikan amplop coklat yang terus di pegangnya sejak tadi.
"Silahkan duduk, Nona." Kata orang itu dengan sopan sembari melihat berkas dari Jazlyn."
"Nona Jazlyn Emerald," panggil orang itu membuat Jazlyn tersenyum ramah. "Nama yang bagus, kau diterima," celetuk orang dari belakang dengan tiba-tiba.
Jazlyn menoleh ke belakang. Ia terkejut bukan main saat melihat pria yang ditemuinya dua kali sedang duduk di sofa tidak jauh dari tempat duduknya. Pertanyaan yang ada di benak gadis itu adalah sejak kapan pria itu duduk di sana? Kenapa aku tidak menyadarinya?
Jantung Jazlyn terus saja berpacu seperti kuda. Cemas, khawatir jadi satu. Bukan takut, tapi ia sungguh tidak ingin berurusan dari orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan misi. 'Menambah beban' pikirannya.
"Kau kuterima jadi sekretarisku. Tidak ada bantahan." Semuanya hening dan menunduk. Sementara Jazlyn hanya memicingkan matanya, menatap pria itu dengan ekspresi yang lucu. Bibir terbuka sedikit dan tangannya menepuk pipi berulang kali. Pria itu tidak waras, menjadikannya sekretaris.
"Memangnya, kau siapa?" Semua kepala yang menunduk tadi melirik ke arah Jazlyn. Mereka menganggap bahwa gadis itu sangatlah bodoh. Apakah dia tidak tahu bahwa pria di depannya adalah seorang tirani di atas tirani? Sungguh nasib yang miris.
"Kalian semua keluar!" teriak pria itu membuat telinga para karyawan yang ada di sana menutup kedua telinga lalu bergegas keluar begitu saja. Sekarang, tinggal Jazlyn dan pria itu yang ada di ruangan tersebut.
"Kemarilah…!" titahnya membuat Jazlyn terkesiap dan berkedip berulang kali. Tahukah dia, bahwa ekspresi itu seakan menggoda tubuh sensitif sang pria.
'Aku harus menjadikannya b***k' pikir pria itu sambil tersenyum penuh kelicikan. Dia sudah menargetkan Jazlyn, tapi, semenit kemudian pikirannya berubah. 'Tidak! Gadis itu hanya gadis polos. Manusia yang aku jadikan b***k adalah manusia yang serakah'
Pria itu menatap Jazlyn dengan penuh selidik. "Mulai besok, kau akan jadi sekretaris ku. Sebelum itu, kau harus tahu namaku terlebih dahulu."
Jazlyn menengok ke sana kemari lalu menghela nafas panjang kemudian berjalan ke arah pria itu. "Saya tidak tertarik."
"Kau!" teriak pria itu sambil berdiri. Baru kali ini ada seorang yang berani membantahnya. "Kau tidak tahu siapa aku?"
Jazlyn paling benci main tebak menebak. Jika saja ini di Tahun 3030, pria di depannya pasti sudah dilempar ke planet mars.
"Saya tidak peduli." Jazlyn melangkahkan kaki menuju ke pintu keluar. Jika wawancaranya gagal, ia akan mencari jalan lain.
"Aldrich Brylee Graham," celetuk pria itu membuat langkah Jazlyn berhenti di tempat. Gadis itu mengepalkan kedua tangannya, menutup mata, komat kamit tidak jelas, mengutuk kebodohan hakiki yang bersarang di otaknya.
Sebelum berperang masuk ke dalam Graham Company, kenapa dia tidak menggali informasi mengenai Aldrich? Jazlyn terlalu buru-buru dalam mengambil tindakan. Ia pikir, waktunya tidak sempat lantaran empat hari lagi, Sean akan mati di dalam gedung ini.
Aldrich tersenyum devil, berjalan mendekat ke arah Jazlyn yang sedang tegang. "Jadi, hukuman apa yang harus kau terima?"
Jazlyn menarik dan menghembuskan nafas berulang kali untuk menetralkan kondisi tubuhnya yang masih syok. Ia kemudian berbalik arah lalu tersenyum.
"Maafkan Saya. Saya tidak tahu kalau Anda pemimpin dari Graham Company," ucap Jazlyn senatural mungkin agar pria itu tidak curiga kepadanya.
Aldrich tidak menyangka, ada yang tidak tahu mengenai dirinya. Gadis dan wanita diluar sana berlomba-lomba untuk mendapatkan simpati darinya, tapi Jazlyn berbeda, dia terlihat murni sekali.
"Besok, datang pagi. Persiapkan rapat." Aldrich melewati Jazlyn begitu saja lalu keluar pintu dan menutupnya dengan kasar. Tubuh gadis itu langsung merosot ke bawah.
"Sial! Kenapa aku bodoh? Memalukan…." Wajah Jazlyn memerah. Ia jadi ingat dua pertemuan dengan Aldrich yang sangat tidak elit. "Apa yang harus aku lakukan untuk besok?"
Andai saja ia lebih pintar sedikit dalam bidang itu, tentu saja Jazlyn akan mengambil langkah awal. Namun, karena ia terlatih di lapangan, dan hanya mengeluarkan otot dan otaknya untuk strategi. Ia jadi tidak bisa berpikir jernih dalam mengambil tindakan.
BERSAMBUNG