02
Langit sudah terang saat Aruna terjaga. Perempuan itu mengerjapkan mata beberapa kali untuk membiasakan diri dengan cahaya yang masuk melalui gorden yang tidak tertutup sempurna. Kepala yang berdenyut membuatnya kembali menutup mata dan memijat pelipis. Berharap hal itu bisa meringankan beban di kepala yang seakan-akan ditimpa batu.
"Sudah bangun rupanya sang putri tidur." Suara seorang pria terdengar dari pintu yang terbuka. "Mau langsung sarapan atau ingin berendam dulu?" tanya pria itu seraya mengulaskan senyuman.
"Kamu kok ada di sini, Kev?" Aruna mengabaikan pertanyaan pria tersebut dan malah menanyakan hal lain. Dia berusaha untuk bangkit dengan bertumpu pada kedua siku. Duduk dengan tubuh melengkung dan menatap sepasang mata beriris hitam yang tengah memperhatikannya dengan lekat.
"Lalu, aku harus berada di mana?" Keven jalan mendekat dan duduk di ujung kiri tempat tidur.
"Di unitmu."
"Nggak mungkin aku tega ninggalin kamu sendirian dalam kondisi mabuk tadi malam."
"Kenapa? Aku tetap baik-baik saja bukan?"
"Yeah, tapi bisa aja kamu terbangun dan berniat untuk mengakhiri hidup dengan melompat dari balkon."
Aruna mendengkus. "Aku tidak sebodoh itu."
Tawa Keven pecah. Pria berparas tampan itu merasa senang telah mengerjai Aruna yang sekarang tengah melipat tangan di depan d**a sembari menyipitkan mata.
"Nah, sekarang jawab pertanyaanku. Kamu mau langsung sarapan atau mau berendam dulu?" ulangnya seusai tertawa.
"Hmm, sepertinya aku lebih butuh untuk makan daripada mandi," jawab Aruna.
"Good, sekarang bangun. Kutunggu di meja makan." Keven bangkit berdiri dan jalan ke luar sambil bersiul.
Aruna menggeleng pelan. Dalam hati dia merasa bersyukur karena memiliki Keven sebagai sahabat. Aruna tidak bisa membayangkan bila tidak ada pria itu di sisinya, mungkin dia akan semakin rapuh dan gampang hancur.
Dengan gerakan lambat perempuan itu beringsut ke pinggir tempat tidur dan berdiri. Jalan dengan terhuyung-huyung menuju kamar mandi. Menggosok gigi dan mencuci muka, kemudian memandangi pantulan wajahnya yang tampak mengerikan dari cermin di atas wastafel.
"Sekarang bagaimana, Aruna? Apakah kamu akan tetap menunggu atau pergi dan mencari cinta yang baru?" monolognya sembari berpegangan pada tepi wastafel.
Perempuan berusia dua puluh lima tahun itu menghela napas berat. Merasa sangat bingung untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Rasa cinta yang masih besar pada Sammy memintanya untuk bertahan, tetapi kewarasan yang tersisa memaksanya untuk pergi entah ke mana.
"Na, kamu pindah tidur?" tanya Keven dari balik pintu.
Tak lama kemudian pintu terbuka dan sosok Aruna muncul sambil mencebik. "Kamu nggak bisa apa ngebiarin aku berlama-lama di sana?"
"Kan udah kubilang, aku menunggu di meja makan. Mandi bisa ditunda, tapi naga di perutku sudah berdemo sejak tadi."
"Kenapa nggak makan duluan aja? Nggak perlu nunggu aku." Aruna melenggang melewati Keven dan berhenti di depan lemari. Membuka benda putih itu dan menarik asal pakaian yang berada paling atas, kemudian menutup pintu lemari kembali.
"Aku bosan makan sendiri," tukas Keven sambil menyandarkan tubuh ke dinding. Pria itu menaik turunkan alis ketika melihat Aruna menggerakkan dagunya, seakan-akan menyuruhnya untuk keluar.
"Kev."
"Hmm?"
"Keluar!"
"Napa?"
"Aku mau ganti baju."
"Ganti aja sekarang."
"Oww, nantang!" Aruna memindahkan tangan ke belakang dan mulai menurunkan resleting. Dia memiringkan tubuh dan menghadap ke cermin, berusaha abai dengan sosok Keven yang masih bertahan di tempatnya.
Beberapa saat kemudian akhirnya Keven melangkah ke luar. Dia kalah. Tidak mungkin sanggup untuk terus bertahan di sana saat Aruna berganti pakaian. Bisa-bisa sisi primitifnya akan muncul dan mendesak untuk dituntaskan. Bahaya!
Aruna terkekeh geli melihat Keven keluar sambil menunduk. Dia sangat paham bila sahabatnya itu hanya berniat mengerjai karena Keven adalah pribadi yang sangat santun, teramat penakut dengan semua hal yang berkaitan dengan perempuan.
***
"Sayang, jangan pergi," bisik Sammy sambil menarik pinggang Jenita dan merengkuh tubuh polos istrinya itu dengan erat.
"Aku mau mandi, Sayang. Lengket ini," sahut Jenita sembari mencoba melepaskan diri.
"Aduh, jangan gerak-gerak gitu."
"Kenapa?"
"Rudalku masih menanti diluncurkan. Lagi."
Jenita memukul paha Sammy yang terkekeh. Pria itu membalikkan tubuh istrinya itu yang tampak masih malu-malu membalas tatapannya.
"Masih sakit?" tanya Sammy sembari mengusap rambut panjang Jenita yang berantakan.
"Lumayan, kamu geragasan!" desis Jenita.
"Hmm, abisnya geregetan." Kecupan mendarat di bawah leher Jenita yang langsung mendorong tubuh suaminya menjauh.
"Udah ahh, aku mau mandi." Perempuan berkulit kuning langsat itu menarik tangan Sammy yang melingkari pinggangnya dan beringsut menjauh.
Jenita meringis ketika menunduk dan memungut gaun tidurnya yang berserakan di lantai. Mengenakannya sambil merintih kemudian jalan dengan hati-hati menuju kamar mandi.
Sammy membaringkan tubuh dan melipat tangan di belakang kepala. Ingatannya melayang pada malam panas yang baru dilaluinya bersama Jenita. Meskipun dia pria yang sering melakukan hubungan bebas sejak dulu, tetapi dia selalu berhati-hati dalam menggauli pasangannya.
Pria itu tahu bila Jenita masih perawan, tetapi dia tidak mengira bila istrinya itu benar-benar masih amatir. Manut dan pasrah dengan perlakuannya yang sedikit kasar. Sangat berbeda dengan Aruna.
Mengingat kekasihnya itu Sammy menghela napas. Rasa rindu yang menyeruak dalam hati membuatnya bergegas meraih ponsel dan menghubungi Aruna. Akan tetapi, perempuan itu tidak mengangkat panggilan dan membuat Sammy bertanya-tanya dalam hati.
Pria berkulit kecokelatan itu beralih menelepon Keven. Semestinya Keven tahu tentang kondisi Aruna saat ini, karena sejak satu minggu yang lalu Sammy telah menugaskan asistennya itu untuk menemani Aruna. Termasuk saat perempuan tersebut hadir di pestanya tadi malam.
"Kev, apakah Aruna ada bersamamu?" tanya Sammy ketika panggilannya tersambung.
"Dia di unitnya, Sam," jawab Keven.
"Oh, bukankah harusnya kamu ngejagain dia?"
"Aku sudah melakukan tugasku, dan sekarang aku ingin beristirahat karena kekasihmu itu sudah sangat merepotkan."
Sammy terkekeh mendengar ucapan Keven. "Memangnya dia kenapa?"
"Melakukan berbagai hal yang membuatku pusing. Dan sekarang aku ingin tidur setelah semalaman menjaganya."
"Oke, Bro. Nanti kita bicara lagi."
"Hmm."
Sammy meletakkan ponsel di atas bantal. Pria itu merasa cukup tenang dengan penjelasan Keven dan percaya sahabatnya itu dapat diandalkan. Beberapa detik kemudian Sammy bangkit dan menjejakkan kaki ke lantai. Berdiri dan jalan menuju kamar mandi. Membuka pintu dan seketika melebarkan senyuman kala melihat sosok sang istri yang tengah berendam di bathtub.
"Argh!" pekik Jenita ketika melihat Sammy memasuki bathtub dan menarik tubuhnya.
"Kamu bikin kaget!" desis perempuan itu sambil membetulkan posisinya di pangkuan Sammy.
"Kamu wangi," bisik Sammy sambil menyusuri bagian belakang leher Jenita dengan bibirnya.
"Stop!"
"Nope."
"Sam!"
"Ssstt, diamlah. Nanti ada yang dengar dan mikir kita sedang iya-iya."
"Singkirkan tanganmu."
"Kugeser aja."
Lenguhan kecil lolos dari bibir Jenita ketika tangan Sammy menyentuh bagian sensitifnya dan mulai bergerak dengan lihai hingga napas Jenita tersengal-sengal. Perempuan itu tidak sanggup lagi menahan sensasi hangat yang akhirnya terlepas dengan diiringi jeritan.
Seisi ruangan menjadi saksi penyatuan dua insan yang tengah menikmati masa-masa awal pernikahan. Mereguk kenikmatan duniawi berkali-kali sampai keduanya kelelahan dan terkulai.