Demi Cinta

1071 Words
04 Sepasang kaki jenjang turun dari sebuah mobil mewah yang terparkir di depan pintu masuk utama gedung kantor perusahaan milik Pradana. Perempuan bermata sipit itu mengulaskan senyuman untuk membalas sapaan para karyawan yang kebetulan berpapasan, kemudian meneruskan langkah menuju lift. Kala benda besi itu terbuka, ada sesosok perempuan yang tampak familiar yang sudah berada di dalamnya. Perempuan yang mengenakan setelan blazer biru tua itu menyunggingkan senyuman yang dibalas Jenita dengan hal yang sama. Kedua perempuan tersebut tidak saling bicara satu sama lain hingga pintu lift terbuka di lantai tujuh. Jenita langsung keluar terlebih dahulu, tetapi baru beberapa langkah dia berhenti dan memutar tubuh. "Saya kayaknya pernah lihat Anda, tapi di mana, ya?" tanyanya pada Aruna yang tampak berpikir sesaat sebelum akhirnya mengangguk. "Betul, Bu. Kita pernah ketemu di pesta pertunangan Ibu," jawab Aruna dengan suara pelan. "Ehm, kayaknya bukan sekali deh kita ketemu, karena wajah Anda tampak sangat familiar." Aruna menelan ludah, berpikir cepat untuk menjawab pertanyaan Jenita, istri dari teman sekaligus kekasihnya. Tatapan menyelidik Jenita sedikit membuatnya rikuh sekaligus deg-degan, karena takut bila rahasianya dan Sammy terkuak. "Sayang," panggil seseorang dari arah belakang Jenita. "Sudah datang rupanya, ayo, masuk," ajak Sammy sambil melingkarkan tangan di pinggang sang istri dan mengecup puncak kepala Jenita dengan lembut. Aruna yang melihat hal itu segera memalingkan wajah. Hatinya remuk redam. Susah payah dia menahan agar tetap kuat berdiri di sana dan melihat adegan romantis tersebut. "Aruna, ayo masuk, Keven ada di ruanganku," ujar Sammy sambil mengedipkan sebelah mata yang membuat Aruna muak. "Ahh iya, aku baru ingat." Jenita menepuk dahi dengan gemas. Kemudian melebarkan senyuman pada Aruna yang bingung dengan perubahan sikap Jenita yang tiba-tiba. "Kamu kekasihnya Keven. Ya kan?" tanyanya. Aruna beradu pandang sesaat dengan Sammy yang mengangguk samar, seakan-akan meminta Aruna untuk mengiakan ucapan Jenita. "Ehm, betul, Ibu. Saya ... pacarnya Keven," imbuh Aruna seraya memaksakan senyuman. "Nggak usah formal gitu, panggil aku Jenita. Kita kayaknya seumuran." Jenita mengulurkan tangan yang dijabat Aruna dengan tegas. Jenita menengadah dan menatap Sammy dengan sorot mata memuja yang membuat hati Aruna seakan-akan teriris. Lukanya bertambah perih ketika Jenita mengaitkan tangan ke lengan Sammy dan mengajak pria itu menuju ruangan kerjanya. Aruna menghitung sampai sepuluh di dalam hati, kemudian mengayunkan tungkai mengikuti pasangan tersebut. Sesampainya di ruangan itu, Keven yang sudah tahu tentang kebohongan Sammy segera mendekati Aruna dan melingkarkan tangan di pinggang perempuan itu sambil memandanginya dengan lekat. "Tersenyum dan tatap aku dengan penuh cinta, Na," bisik Keven di telinga kiri Aruna. Perempuan berkulit putih itu menoleh dan memaksakan diri untuk tersenyum. Matanya yang berembun membuat hati Keven terenyuh. Pria itu tahu saat ini Aruna tengah berusaha menahan tangis, dan hal itu menyakiti perasaannya pula. "Ehm, Bos, permisi sebentar. Ada yang perlu kuomongin dengan Aruna," ujar Keven sambil membalikkan badan perempuan itu dan mengajaknya ke luar dari ruangan tersebut. Berbelok ke kanan dan memasuki ruangan kerjanya sendiri. Keven menutup dan mengunci pintu, kemudian merengkuh tubuh Aruna yang sudah lemas. Air mata perempuan itu tumpah dan membasahi jas biru tua yang dikenakan Keven. Pria berhidung mancung tersebut mengusap rambut dan punggung Aruna dengan pelan. Menghidu aroma tubuh perempuan dalam dekapan dan menyimpannya dalam rongga dadaa. Tanpa sanggup menahan Keven mendaratkan kecupan di dahi Aruna, kemudian menyeka lelehan air asin yang membasahi wajah Aruna dengan ibu jari. Waktu seakan-akan berhenti. Keduanya saling beradu pandang dengan hati yang berdesir. Aruna memutus pandangan dan mengurai pelukan. Menolak tubuh dan jalan menjauh. Berhenti di dekat sofa hitam di dekat jendela dan mendudukkan diri di sana. Keven masih terpaku di tempatnya. Menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Berharap debaran jantungnya bisa kembali seperti semula. Nyaris saja tadi dia tidak bisa menahan diri dan ingin menyesap madu Aruna. Sementara itu di ruang kerja Sammy, pria itu pura-pura sibuk dengan laptop di atas meja. Padahal pikirannya penuh dengan bayangan wajah Aruna yang tampak sangat terluka. Jenita yang tengah sibuk dengan ponselnya sama sekali tidak menyadari bila hanya tubuh suaminya yang ada di ruangan tersebut, tetapi jiwanya melayang ke ruangan sebelah. "Sayang, udah beres belum?" tanya Jenita memecah keheningan dan membuat Sammy tersadar dari lamunan. "Sudah, sebentar, ya." Pria itu menekan-nekan keyboard, kemudian mematikan laptop. Sammy berdiri dan mengancingkan jasnya, kemudian mengajak Jenita untuk segera keluar ruangan. "Kamu nggak mau ngajak Keven dan ehm ... siapa nama pacarnya tadi?" Jenita mengernyitkan dahi. Dia memang agak pelupa bila berurusan dengan nama orang. "Aruna, Aruna Ghania lengkapnya," sahut Sammy sembari jalan ke selasar. "Ahh iya, Aruna. Nggak diajak?" Sammy menggeleng. "Kayaknya mereka sudah punya acara sendiri," tukasnya sambil memandangi pintu ruang kerja Keven yang tertutup. "Kapan-kapan kita undang mereka ke apartemen, ya. Di sini aku belum punya teman dekat. Mungkin Aruna mau berteman denganku," pinta Jenita yang lama tinggal di Canada dan baru kembali beberapa bulan lalu ke Indonesia. Sammy mengangguk mengiakan. Dia enggan untuk berdebat dengan istrinya dan memilih untuk mengabulkan permintaan Jenita. Meskipun Sammy ragu bila Aruna akan menerima permintaan Jenita untuk berteman. *** Aruna sama sekali tidak mengucapkan apa pun selama beberapa puluh menit. Kelebatan jutaan kenangan bersama Sammy kembali berputar bak video di benaknya. Dimulai dari pertemuan ketika acara reuni. Setelah itu Sammy dengan gencar mendekatinya yang kebetulan tengah sendiri, setelah putus dengan pacarnya dulu. Sammy yang romantis dan sangat pandai melambungkan hati Aruna, membuat perempuan itu tenggelam dalam pesonanya dan sulit untuk melepaskan diri dari kungkungan cinta pria tersebut. Aruna masih sangat mengingat malam di mana dia kehilangan kehormatan demi cinta. Aruna menggeleng keras kala hal itu kembali melintas. Tangannya terulur dan meremas rambut. Benar-benar menyesal telah memberikan mahkota pada pria yang kini telah menjadi suami orang lain. Keven yang tidak tega melihat Aruna seperti itu, mendekat dan mendudukkan diri di sebelah kanan. Meraih tangan kanan Aruna dan menggenggam erat. Tangan kanannya bergerak merapikan rambut Aruna yang sedikit berantakan. Sejenak tatapan mereka bertemu dan saling mengunci. Kilatan luka di manik cokelat milik Aruna membuat hati Keven tercubit. Sudut bibir Keven terangkat membentuk sebuah senyuman, kemudian berucap dengan suara lembut," Mau ikut aku liburan nggak?" "Liburan?" ulang Aruna sembari membulatkan mata. "Iya, aku bosen kerja terus dan ingin menghabiskan waktu cutiku. Tapi kalau sendiri berlibur itu nggak seru. Jadi, mau nemenin?" "Ke mana?" "Suatu tempat." "Kapan?" "Minggu depan." "Berapa lama?" "Sebulan." "Ha?" "Bercanda, Na. Sekitar dua minggu. Kalau lebih dari itu, bisa-bisa dia mecat aku." "Ehm ... oke, sepertinya aku juga nggak ada pemotretan sampai bulan depan. Lagi nggak mood." Keven memandangi Aruna dengan mata berbinar-binar. Sementara Aruna mengembangkan senyuman, merasa senang karena sosok Keven selalu mampu membuatnya terhibur dan lebih tenang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD