Setitik Noda

1072 Words
05 Waktu terus bergulir. Jalinan detik berubah menjadi menit. Berputar cepat menjadi jam dan merotasi hari. Kehidupan berubah bagi Aruna. Dunia yang biasanya dipenuhi untaian kata cinta dari Sammy kini menjadi hampa. Senyuman dan tawa yang seringkali menghiasi wajahnya yang cantik pun mendadak sirna. Namun, hari ini bibir merah alami itu kembali melontarkan canda, menguarkan tawa yang terkadang disertai dengan air yang memenuhi sudut mata, dan hal itu disebabkan oleh Keven. Pria berparas tampan itu tak henti-hentinya menggoda Aruna. Dari mulai bangun tidur hingga malam hari, Keven menceritakan berbagai hal lucu saat sekolah dulu yang juga dialami oleh Aruna. "Kev, aku pamit ke kamar, ya," ujar Aruna, sesaat setelah dia menguap untuk ke sekian kalinya. "Aku juga mau ke kamarmu," jawab Keven. "Ngapain?" "Nemenin kamu tidur." Seketika Keven meringis saat lengan kanan dicubit Aruna. Pria itu menangkap tangan Aruna dan mengusapnya dengan lembut. Sesaat hening, keduanya saling menatap satu sama lain. "Jangan nangis lagi, ya," pinta Keven. "Kalau nggak mau besok jadi mata panda," sambungnya seraya tersenyum lebar. "Susah buat nggak nangis, Kev. Karena ini adalah tangisan kecewa pada diri sendiri, bukan karena nangisin dia," sahut Aruna dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Aku stupid banget, mencintainya sampai ngelupain fakta bahwa kami ... sepertinya memang tidak akan berjodoh," lanjutnya. "Nggak usah disesali, Na. Kan udah lewat." Aruna mendengkus, kemudian menarik tangannya dari genggaman Keven dan mengalihkan pandangan ke bibir pantai yang diterpa ombak kecil. "Ini sudah lewat satu bulan sejak dia menikah, dan selama itu dia hanya beberapa kali mendatangiku. Telepon pun semakin jarang, chat juga seringkali diabaikan. Mungkin langsung dihapus biar nggak ketahuan istrinya," ungkap Aruna. "Lalu, sekarang apa yang mau kamu lakukan, Na?" 'Aku ... lelah, Kev. Pengen hidup tenang dan santai kayak dulu, masa-masa ketika aku masih sendiri." "Lakukan saja sepanjang itu membuatmu bahagia." "Hmm, entahlah. Aku masih mikir-mikir dulu." "Kalau bertahan di sisinya, apa kamu yakin dia akan kembali padamu?" Aruna sontak menoleh. Ucapan Keven barusan seolah-olah menamparnya dengan keras. Hal itu yang selalu menjadi pertanyaan dan perdebatan dalam hatinya. Akan tetapi, saat orang lain yang menyebutkan itu kesannya jadi berbeda, lebih menusuk. Cukup lama keheningan tercipta, hingga akhirnya Aruna berdiri dan beranjak menjauh. Meninggalkan Keven yang masih duduk di kursi kayu dan kini tengah memandangi punggung Aruna yang sedang mengayunkan tungkai menuju kamar. Setelah perempuan itu hilang di balik pintu, Keven kembali ke posisi semula. Kedua siku ditumpangkan pada lutut dan tangan saling menggenggam. Keven menunduk dan menutup mata, merutuki diri yang masih mendamba Aruna. Sementara itu di kamar, Aruna yang baru selesai membersihkan diri segera merebahkan tubuh ke tempat tidur. Mengatur posisi agar lebih enak, kemudian memejamkan mata dan mencoba untuk tidur. Berbagai obrolannya tadi dengan Keven kembali terngiang dan membuat Aruna sulit untuk terlelap. Suara pintu sebelah kanan yang terbuka kemudian tertutup, menandakan bahwa Keven telah memasuki kamarnya. Aruna membuka mata kembali dan mengarahkan pandangan ke dinding pembatas kamar. Hotel ini menawarkan berbagai tipe ruangan yang bisa disewa dengan harga terjangkau. Keven yang memilih untuk menghabiskan masa liburan singkat ke tempat ini. Aruna hanya mengikuti. Detik demi detik berlalu, Aruna tak kunjung tertidur. Rasa kantuknya menguap entah ke mana. Akhirnya Aruna memutuskan untuk menonton televisi. Memencet-mencet remote tanpa menemukan tayangan yang menarik. Rasa bosan yang menghampiri membuat Aruna beranjak menuju pintu. Membuka benda besar ber-cat hitam itu dan diam di tempatnya. Meraup oksigen sebanyak-banyaknya kemudian melepaskannya perlahan. "Kok belum tidur?" Suara yang sangat dikenal menyapa dari teras sebelah. Aruna menoleh dan mendapati senyuman Keven yang terukir untuknya. "Kamu sendiri, kenapa belum tidur?" Alih-alih menjawab pertanyaan, Aruna justru balik bertanya. "Si bos menyebalkan itu minta aku ngerjain ini secepatnya." Keven menunjuk ke laptop yang berada di atas meja kecil di depannya. "Dia mau presentasi besok pagi-pagi," sambungnya. Aruna terkekeh, merasa lucu dengan panggilan untuk Sammy itu dari Keven. Aruna beranjak mendekat dan duduk di sebelah kiri Keven. Memperhatikan pria itu yang tampak serius mengerjakan tugas yang diminta oleh Sammy. "Bukannya ini kerjaan Deri?" Aruna menyebutkan nama asistennya Sammy yang lain. "Iya, tapi sekarang dia lagi sakit. Elin belum bisa diandalkan buat bikin beginian. Jadilah aku yang selalu ditumbalkan." Keven mengusap wajah dengan tangan, kemudian menyugar rambut yang beterbangan tertiup angin. "Pecat saja bosmu." "Pengennya gitu." "Demo langsung ke bos besar." "Aku sedang mengatur kudeta dengan Raka." Kedua orang tersebut saling melirik, sejurus kemudian tawa mereka pecah bersamaan. Aruna menatap wajah pria yang selalu menemani dan menjaganya selama ini. Merasa hatinya menghangat karena Keven-lah satu-satunya orang yang bisa membuatnya tersenyum, bahkan kadang tertawa. Bersama Keven, semua seakan-akan berjalan tanpa drama. Sikap melindungi Keven yang sangat kentara, membuat Aruna merasa nyaman dan tenang. Hal yang sebetulnya jarang dirasakannya saat bersama dengan Sammy. Aruna segera membuang pandangan ke arah laut kala Keven tiba-tiba melirik dan menangkap basah bila Aruna tengah memperhatikannya dengan lekat. "Aku ganteng, ya, kan?" ucap Keven seraya mengulum senyum. "Iyain aja deh," sahut Aruna. "Tapi sayangnya, kegantenganku ini nggak ada separuhnya dari pesona Sammy." "Maksudnya?" Aruna menoleh dan mendapati bila raut wajah Keven tampak sangat serius. "Buktinya, aku sama sekali nggak bisa ngegeser posisinya di hatimu, kan?" Aruna menutup mata, menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. "Aku ... nggak pantas buat orang sebaik kamu, Kev." Tiba-tiba Keven berpindah ke depan Aruna. Duduk dan bertumpu pada lutut. Tangannya terulur menyentuh dan menggenggam tangan Aruna. Mengusapnya dengan lembut sambil menatap dalam-dalam ke manik cokelat tersebut. "Kamu perempuan yang baik, Na. Tidak ada manusia suci di dunia ini. Semuanya pasti punya dosa walaupun cuma setitik. Aku ... bersedia membantumu untuk menjadi orang yang lebih bijak lagi. Lebih pandai menahan diri. Kalau nggak bisa nyuci nyetrika, masak, bersih-bersih rumah, nggak apa-apa, aku terima," ucapnya. Aruna tertawa kecil mendengar penuturan Keven. "Kamu itu, bercanda mulu. Kapan seriusnya?" "Ini aku lagi serius, Na. Beri aku kesempatan untuk membantumu menikmati kehidupan yang lebih tenang dan damai. Nggak harus ketakutan telah jadi orang ketiga di pernikahan orang lain." "Aku ... nggak tau, Kev. Ragu. Takut. Khawatir. Semuanya bercampur aduk." Aruna menunduk. Balas mengusap tangan besar Keven yang selama ini selalu membantunya dalam banyak hal. "Pasti bisa, yang harus kamu lakuin cuma kasih aku kesempatan untuk berada di sini." Keven menunjuk ke dekat d**a Aruna. "Tidak perlu berusaha mengenyahkan cintamu padanya, nggak perlu juga memaksakan aku untuk masuk. Biarkan aja proses berjalan dengan santai. Mengalir kayak air." Aruna menatap sepasang mata beriris hitam yang balas memandangi dengan sendu. Kedua tangannya terulur dan merangkum wajah Keven. Sudut bibir Aruna terangkat membentuk senyuman manis. "Oke, aku akan berusaha," ucap Aruna. "Bantu aku, ya," pintanya dengan suara lembut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD