06
Debur ombak menyapu dua pasang kaki yang tengah jalan menyusuri pinggir pantai pagi itu. Tangan kedua orang tersebut saling menggenggam. Sesekali tampak sang pria mengecup punggung tangan perempuannya, yang membalas dengan tepukan di pipi atau lengan.
Bibir mungil Aruna sejak tadi tak henti-hentinya mengukir senyuman. Demikian pula dengan Keven. Pria bertubuh tinggi itu merasa senang telah mendapat lampu hijau dari Aruna. Meskipun saat ini dia masih menjadi yang kedua di hati perempuan tersebut, hal itu sudah cukup membuat hati Keven berbunga-bunga.
Canda tawa mereka memancing tatapan penuh iri dari pengunjung pantai tersebut, yang pastinya adalah penghuni hotel, karena pantai itu merupakan tempat privasi milik hotel.
Selintas orang akan menyangka bila Aruna dan Keven adalah pasangan pengantin baru yang tengah menikmati bulan madu. Meskipun tanpa kecupan mesra layaknya pasangan yang baru menikah, genggaman tangan dan tatapan mata keduanya telah menggambarkan isi hati.
"Kev, kita jadi jalan-jalan nggak nih?" tanya Aruna, sesaat setelah mereka duduk-duduk di pinggir pantai.
"Agak sore aja berangkatnya. Aku pengen ke Uluwatu," jawab Keven.
"Gimana kalau kita keluarnya sebelum makan siang. Cari suasana baru, aku bosan makan di restoran hotel mulu."
"Ehm, oke. Tapi aku beresin kerjaan dulu."
"Belum kelar?"
"Udah, tapi bos menyebalkan itu memberi tugas baru." Keven mengusap wajah, merasa kesal karena Sammy terus-menerus memberikan pekerjaan, padahal tahu bila saat ini Keven tengah berlibur.
"Tolak aja."
"Yoih. Terus pulang dari sini aku jadi gembel karena dipecat."
Aruna mengulum senyum, kemudian menepuk-nepuk lengan Keven. Seakan-akan ingin menenangkan pria itu yang sepertinya tengah butuh dukungan.
Keven menoleh ke kiri dan memperhatikan raut wajah Aruna yang tengah memandangi lautan. Wajah oval yang dibingkai rambut panjang nan halus. Sepasang mata beriris cokelat yang dinaungi alis yang cukup tebal. Hidung dengan kemancungan yang pas. Serta bibir mungil nan penuh yang sangat menggoda untuk dikecup.
Pria berahang kokoh itu menggeleng pelan. Berusaha mengusir rasa untuk menyesap madu Aruna, yang kian lama kian sulit untuk ditahan. Dua hari lebih kebersamaan mereka menimbulkan gelombang di hati Keven. Gelenyar kecil yang telah ada sejak dulu kini berubah menjadi debaran yang makin meningkat seiring waktu.
Keven tahu bila dia harus bersabar menunggu hingga Aruna siap menerima dirinya dan membalas rasa sayang dengan cinta yang sama besarnya. Keven optimis bila suatu saat nanti dirinya akan berhasil menguasai hati Aruna dan menggeser posisi Sammy.
"Kev."
"Ehm?"
"Gimana perasaanmu ke aku?"
"Sayang."
"Cuma sayang doang?"
"Kalau aku bilang udah jatuh cinta dari dulu, pasti kamu nggak akan percaya."
Aruna terkesiap dan memperhatikan wajah Keven dengan saksama. Menelisik sepasang mata beriris hitam yang saat ini tengah menatapnya dengan sendu.
"Jangan bercanda, Kev."
"Tuh kan. Kubilang juga apa, pasti nggak percaya." Keven berdecih dan membuat Aruna merasa bersalah.
Aruna menggeleng pelan. Dia masih merasa bahwa dirinya tidak pantas untuk mendapatkan cinta Keven yang seperti pria sempurna. Aruna sedikit tidak percaya diri karena merasa kotor.
"Na."
"Hmm?"
"Kita balik ke kamar, yuk."
"Duluan aja, aku masih pengen berjemur di sini."
"Nggak, kita harus terus sama-sama."
"Jangan berlebihan, Kev. Aku nggak apa-apa ditinggal sendirian. Bisa jaga diri kok!"
"Aku yang kenapa-kenapa kalau ninggalin kamu sendirian. Apalagi, sejak tadi cowok-cowok itu udah mandangin kamu."
"Cowok yang mana?"
"Itu." Keven mengarahkan dagu ke kiri, tepat di mana beberapa orang pria non lokal tengah duduk-duduk sambil memandangi mereka.
Aruna menoleh sesaat, dan tiba-tiba bergidik ketika melihat wajah-wajah para cowok itu yang seakan-akan ingin menerkam dan menelannya bulat-bulat.
"Ayo, kita pulang." Aruna berdiri dan berpindah ke sisi kanan Keven. Merangkul pinggang pria tersebut dan merapatkan tubuh dengan kesan manja yang membuat hati Keven berdenyut.
***
Waktu menunjukkan pukul 4 sore saat mereka tiba di Uluwatu. Jalan bersisian sambil berpegangan tangan. Menikmati keindahan alam dari ketinggian. Banyak wisatawan lokal maupun mancanegara yang berkunjung di tempat itu dengan tujuan yang sama.
Aruna berulang kali memeluk Keven bila kera-kera yang berada di tempat itu hendak menarik tasnya. Hingga akhirnya Keven mengeluarkan sebuah double stick yang selalu ada di tasnya, sebagai satu-satunya alat untuk menghalau kera-kera yang sedikit meresahkan.
"Udah kubilang jangan pake warna mencolok," ucap Keven sambil menunjuk ke gaun ungu motif bunga-bunga yang dikenakan Aruna. "Belum lagi ini, mancing keisengan," lanjutnya sembari mengangkat berbagai hiasan yang tergantung di samping tas besar Aruna.
"Mana aku tau kalau mereka mau gangguin!" kilah Aruna. Dia tidak terima disalahkan.
Keven yang hendak membalas ucapan Aruna akhirnya memilih untuk diam. Dia tahu benar watak perempuan itu yang bila didebat akan membalas dengan omelan panjang disertai dengan wajah yang ditekuk.
Keven meraup oksigen sebanyak-banyaknya kemudian melepaskannya perlahan. Membuang pandangan ke arah lain sambil menenangkan diri.
Keheningan yang tercipta membuat Aruna akhirnya merasa tidak enak hati. Perempuan berambut panjang itu melirik ke kiri dan memperhatikan wajah pria di sebelah dengan saksama.
Bila ada perempuan yang tidak terpana dengan ketampanan Keven, mungkin perempuan itu perlu memeriksakan matanya. Aruna menyadari bila sejak tadi banyak yang curi-curi pandang melihat mereka, terutama pada Keven.
"Maaf," bisik Aruna sambil mendekatkan diri.
Keven mengalihkan perhatian dan menatap sepasang mata beriris cokelat yang kini memandangi dengan sorot mata penuh harap. Bibir Keven terangkat mengukir senyuman, sama sekali tidak bisa untuk marah pada Aruna.
"Kumaafkan, tapi ada syaratnya," sahut Keven.
"Ehm, syaratnya apa?"
"Nanti kukasih tau. Sekarang, kita mending langsung ke tempat pertunjukan tari kecak. Biar bisa milih tempat."
Aruna berpikir sesaat sebelum akhirnya mengangguk mengiakan ajakan Keven. Saat berjalan menuju teater tradisional itu, Aruna memegangi lengan kiri Keven dengan erat.
Setibanya di tempat tujuan, Aruna memilih untuk duduk di bagian paling atas pinggir kanan. Dari tempat itu langit senja tampak sangat indah dan menakjubkan.
"Lihat, Kev, indah banget," ucap Aruna sambil menunjuk ke matahari yang tengah bersiap-siap untuk beristirahat di ufuk barat.
"Iya, tetapi lebih indah dirimu," jawab Keven.
Aruna mengulum senyum, kemudian menusuk tangan Keven dengan kuku. "Bisa ngebucin juga kamu."
"Hasil konsul dengan Raka."
Tawa Aruna menguar. Dia segera menutup mulut dengan tangan kala beberapa pasang mata memperhatikan mereka. Keven tiba-tiba mengulurkan tangan dan menyelipkan rambut Aruna yang lepas dari ikatan ke belakang telinga.
Sentuhan kecil itu membuat Aruna tertegun. Sudut hatinya menghangat, merasa senang dengan perhatian Keven yang tampak sangat tulus dan tidak dibuat-buat.
Aruna memandangi ketika Keven menyelipkan jemari mereka dan membawa ke pangkuannya. Sepanjang pertunjukan tersebut, Keven sama sekali tidak melepaskan tangan Aruna. Tidak menyadari bila tindakannya itu membuat hati Aruna melambung tinggi.