Rafael mengantarkan Mayra ke kostnya dan setelah itu, ia dan Damian berlalu pergi meninggalkan kost menuju apartemen, Mayra memiliki tugas untuk memberitahukan kepada kedua orangtuanya tentang rencana pernikahannya dengan Rafael, semuanya akan di urus oleh orang yang akan di bayar Rafael, ia tak ingin membuat keluarga Mayra menyibukkan diri dengan persiapan pernikahan. Karena, Rafael tidak memikiki keluarga selain Damian, Rafael membawa Damian bersamanya, agar menjadi wali nikahnya dan ia kembali ke Jerman dengan status suami dan membawa istrinya bersamanya.
"Aku salut sama kamu, El, kamu kamencintai seorng wanita Indo en tieak mempermainkannya." kata Damian.
"Aku memang jatuh cinta pada gadis mungil itu, karena itu, aku ingin menikahinya dan membawanya ke Jerman bersamaku."
"Aku tidak pernah menyangka, jika kamu seserius itu meminangnya." kata Damian.
"Aku memang serius, Dam, selama ini aku tidak pernah mempermainkan wanita apalagi menidurinya dan membayarnya." kata Rafael, membuat keyakinan dalam dirinya tumbuh.
"Aku akan meminang Shofie ketika kamu sudah menikah." kata Damian.
"Pinang saja, Dam, jangan terus menunggu, kamu akan kehilangan dia jika kamu terus melihatnya dari jauh, sebelum ia kembali ke Brazil." kata Rafael.
****
Mayra sudah berbicara pada kedua orang tuanya, pernikahan Rafael dan Mayra akan di selenggarakan di sebuah hotel megah, sesuai pilihan Rafael.
Semuanya akan di selenggarakan secepat mungkin, agar Rafael bisa kembali secepatnya ke Jerman mengurus perusahaan.
Suara pintu kost terbuka lebar, membuat Tari berlari menghampiri sahabatnya yang kini tengah menatap cincin berlian yang di berikan Rafael untuknya sebagai lamaran.
"Ya Tuhan, akhirnya aku menemukanmu di sini." kata Tari, dengan napas tersengal, karena sejak tadi berlari.
"Ada apa, Tar? Kamu seperti sebulan tidak bertemu denganku." kekeh Mayra.
"Perusahaan sekarang dalam keadaan bising, May, aku baru tahu jika Pak El mengumumkan hubungan kalian dan mengumumkan kalian akan menikah, apa benar?" tanya Tari, penasaran.
"Iya, aku juga sudah melarangnya. Namun, Rafael tetap keukeuh mengumumkannya."
"Dan, Pak El adalah pemilik perusahaan maskapai tempat kita bekerja? Pewaris tunggal dari EL Airlines?"
"Iya."
"Kamu sudah mengetahuinya?"
"Iya."
"Jelaskan padaku, May, jangan membuatku penasaran." kata Tari, hampir kehilangan kesabaran.
"Ish, apaan, sih? Makanya minum dulu, aku akan menjelaskannya." kata Mayra, memberikan segelas air putih pada sahabatnya yang tengah dengan napas tersengal.
"Jelaskan padaku, May, kamu kok jadi menyimpan rahasia, sih?"
"Aku bertemu Rafael di kantor New York, awalnya aku ingin mengakhiri hubunganku dengan dia, karena aku tahu, aku bisa saja kehilangannya, bisa saja dia meninggalkanku seperti dua minggu yang lalu. Namun, aku mengurungkan niatku meminta berpisah, karena ia pulang ke Jerman dengan alasan ayahnya meninggal dunia, Marco Wilson. Karena itu, Rafael mengambil alih semua tanggung jawab ayahnya untuk mengurus perusahaan yang sudah di rintis lama oleh sang Ayah, dia berkunjung ke setiap cabang untuk mengadakan rapat pemegang saham." kata Mayra menjelaskan.
"Jadi, selama ini, Pak El adalah pewaris tunggal yang sering atasan bicarakan?"
"Iya, aku juga baru mengetahuinya."
"Dan, kapan Pak El melamarmu?"
Mayra menunjukkan cincin di jari manisnya, membuat Tari menganga tak percaya dengan kilau berlian yang kini di pakai sahabatnya.
"Dia melamarku di New York, karena itu, selain alasan ke Indonesia untuk berkunjung, dia juga akan menikahiku. Setelah pernikahan kami selesai, dia akan membawaku ke Jerman." kata Mayra, membuat Tari mengelus berlian yang ada di jari manis Mayra.
"Ini beneran berlian, 'kan?"
"Ini gak mungkin emas, Tari."
"Kenapa sangat indah? Ya Tuhan... Pak El sangat romantis, kamu beruntung mendapatkannya, tentu saja ada bagusnya kamu ke New York, karena bertemu dengan pria yang kamu rindukan selama ini." kata Tari, memeluk Mayra.
"Hem, aku juga gak menyangka bisa bertemu dengan Rafael di New York."
"Tapi, kamu mau meninggalkanku? Dan, tinggal di Jerman?"
"Rafael bisa saja memintamu bekerja sebagai pramugari di Jerman, kamu mau?"
"Gak ah, aku, kan, masih ada keluarga di sini." kata Tari.
"Kamu bisa berkunjung, jika memiliki jadwal penerbangan ke Jerman atau sekitarnya."
"Sekarang, perusahaan begitu ramai, membuatku kehilangan akal mendengar patah hati mereka." kekeh Tari.
"Aku juga gak enak sama semuanya."
"Ngapain gak enak, sih? Kan, kamu yang jalanin, bukan mereka. Mereka bakal patah hati beberapa hari dan akan mendapatoan gantinya beberapa hari kemudian." kata Tari, membuat Mayra menggeleng.
"Sebagian besar dari kita menginginkan sebuah pernikahan yang langgeng dan membahagiakan. Nah, aku ingin bertanya, kira-kira apa pertimbanganmu setuju menikah dengan Pak El? Apakah karena dia kaya? Apakah karena dia tampan? Apakah karena dia mempesona? Apakah karena cinta?"
"Karena, aku cinta, hanya itu."
"Bukan karena dia kaya?"
"Bukan, Tar, sejak dulu aku gak pernah loh menjalin hubungan dengan seseorang karena dia kaya, aku tulus mencintainya." jawab Mayra, membuat Tari tersenyum.
"Aku tak akan cukup hanya karena cinta saja. Aku ingin dia tampan dan kaya seperti Pak El." kata Tari.
"Harus ku akui beberapa keindahan fisik memang mengesankan dan kemapanan harta memang patut di pertimbangkan, Tar, tetapi ingat lah segala sesuatu bisa berubah. Waktu bergerak dan roda kehidupan berputar dan apa yang kamu lihat sekarang belum tentu akan kamu lihat nanti. Tubuhnya yang seksi dan tampan akan layu termakan usia, begitu pula hartanya yang bergelimang bisa saja hilang begitu saja tanpa kamu sadari. Tidak ada keindahan yang lebih menawan daripada keindahan hati, Tari Sayang." kata Mayra.
"Apa pernah kamu mendengar kata Pak Juna, dosen kita?" tanya Tari.
"Aku sangat mengingatnya, beliau mengatakan, letakkan hubungan di atas komitmen dan tujuan yang pasti. Hal ini penting untuk menjaga sebuah pernikahan. Karena, pernikahan yang di langsungkan diatas kata cinta semata adalah sebuah pernikahan yang rapuh. Komitmen menjaga kesatuan pernikahan supaya memiliki ikatan yang kuat bahwa dua orang manusia akan di satukan kedalam jalinan keluarga yang saling mendukung, memotivasi dan menguatkan satu sama lain, di dalam sehat maupun sakit dan satu lagi, kami menikah dengan suatu tujuan yang jelas, ketika pernikahan terasa hambar dan melelahkan, aku akan mengingatnya, apa tujuan awal kami menjadi satu dan memastikan tujuan itu cukup berharga dan pantas di perjuangkan bersama."
"Ternyata kamu mengingatnya, meski aku tak bisa menemukan jodohku seperti kamu menemukan jodohmu secepat itu. Namun, Tuhan pasti merencanakan sesuatu untukku di depan sana, seperti kamu." kata Tari, meneguk segelas air putih yang sudah di siapkan Mayra untuknya.
"Tuhan selalu memiliki rencana yang indah, Tar, aku pernah di khianati dan di tinggal kawin oleh pria yang aku harapkan. Namun, Tuhan menggantinya dengan menghadirkan Rafael dalam hidupku, yang jauh lebih baik dari Raihan." kata Mayra, mensyukuri setiap apa yang di takdirkan Tuhan untuknya meski terkadang itu menyakitkan.
"Karena itu, aku bangga sama kamu, karena kekuatanmu, kamu menemukan pria idamanmu, yang akan membawamu ke pelaminan dan menjalani rumah tangga yang begitu bahagia, berbahagia lah, May, aku akan selalu mendoakan kebahagiaanmu."
"Makasih, Sayang, karena kamu sudah menjadi sahabatku yang selalu menemaniku di saat sakit dan sehat, maafkan aku belum bisa membalas kebaikanmu." kata Mayra, memeluk Tari, membuat Tari memukulnya.
"Aww... apaan, sih, Tar?"
"Kenapa kamu meminta maaf coba? Kebaikan apa yang hendak kamu balas? Seharusnya, aku yang ngomong gitu, bukan kamu." kata Tari, membuat Mayra tertawa kecil.
"Haha... jangan seperti itu, ih, kamu yang selama ini banyak membantuku."
"Ah, aku pengen nangis tau, kamu ngomong gitu, kita kayak gak bakal ketemu saja, sedih banget aku tuh." kata Tari, menitikkan air mata, membuat Mayra memeluknya dan menepuk lembut punggung sahabatnya itu.
"Apaan, sih, aku masih di sini loh, kenapa nangis kamu? Jelek tau, kalau wajahmu terlihat manyun seperti ini." kata Mayra, mengambil selembar tissue dan menyeka air mata sahabatnya.
"Kata-katamu yang membuatku menangis, Mayra." kata Tari, menyeka air matanya sendiri.
"Iya, maaf, aku gak bakal ngomong gitu lagi, aku janji." kata Mayra.
****
Rafael keluar dari kamarnya dan melihat Damian tengah menatap ponselnya. Karena iseng, ia merebut ponsel Damian dan melihat foto Shofie yang menjadi tempat mata Damian sejak tadi.
"Ish, masih melihat fotonya? Kenapa gak ungkapin saja?" tanya Rafael
"Tidak semudah itu, El, kamu, kan, tahu, Shofie tak pernah mau melihatku." kata Damian, merebut ponselnya kembali dari tangan Rafael.
"Daripada seperti ini, 'kan? Kamu hanya mengambil fotonya diam-diam, ketika Shofie tidak sadar, lebih baik ungkapkan perasaanmu, Don't hide it, Shofie tak akan pernah tahu, betapa kamu mencintainya jika kamu tak pernah mengatakannya."
"Aku akan berusaha, Shofie selalu saja membuatku gugup jika di sampingnya." kata Damian.
"Jangan katakan padanya bahwa aku akan menikah."
"Iya, aku malah bersyukur kamu menikah dengan wanita lain, jika dengan Shofie, aku tak tahu harus mengatakan apa. Sakit pasti ku rasakan." kata Damian, membuat Rafael tertawa.
"Jangan berlebihan, aku juga tidak menyukai Shofie. Kamu yang selalu berusaha menjodohkanku dengan dia."
"Karena dia menyukaimu, El."
"Namun, aku tidak menyukainya."
"Baiklah, kita tidak usah membahas itu, kita mau makan malam di mana? Aku lapar." kata Damian.
"Baiklah, kita makan malam di kost Mayra saja, bagaimana?"
"Apa kamu tidak bosan bertemu dengannya setiap hari? Kamu mungkin tidak akan bosan. Namun, Mayra pasti merasa bosan bertemu denganmu tiap hari." kata Damian, membuat Rafael sejenak berpikir.
"Apa iya?"
"Iya, El, jangan selalu menemuinya sebelum pernikahan kalian di laksanakan, dia akan bosan sebelum waktunya jika kamu tak mendengarkanku." kata Damian.
"Tapi, masakan Mayra sangat lah enak, Dam."
"Apa di Jakarta tidak ada restoran enak?"
"Aish, aku sungguh ingin bertemu dengannya."
"Aku tahu, kamu tengah kasmaran, tapi jaga jarak dulu sebelum pasanganmu bosan melihatmu, lagian kamu pun membosankan." kekeh Damian.
"Apa, iya, Dam?" tanya Rafael.
"Iya, makanya kalau aku di sini, kamu harus banyak belajar dariku." kata Damian, membuat Rafael menendang kakinya.
"Jangan membuatku seperti orang bodoh, Dam."
"Haha ... aku tidak mau ke kost Mayra, kita makan di luar saja, besok aku akan mengizinkanmu meninggalkanku sendirian di apartemen dan kamu bisa menemuinya."
"Besok aku akan bertemu kedua orang tuanya. Jadi, kamu harus menemaniku."
"Tuh, kan, kamu juga akan bertemu besok, ini sudah malam, kenapa harus menemuinya malam ini? Apa kamu bisa tenang dulu? Jangan terlalu gelisah? Kamu membuatku tak nyaman saja." dumel Damian, membuat Rafael mengangguk.
"Ya sudah, aku tidak akan menemuinya malam ini, kita makan malam di luar saja, mau makanan apa? Di Jakarta sudah banyak menyediakan restoran luar negeri." kata Rafael.
"Ada makanan khas Jepang, tidak?"
"Ada, ya sudah kita kesana." kata Rafael.