BAB 1
Setelah semua yang terjadi pada kehidupanku, aku berusaha untuk bangkit dari keterpurukan masa lalu, dulu aku memiliki pria yang ku cintai, pria yang menerimaku apa adanya, meski aku hanyalah wanita yang tak berguna dan tak bisa memberikannya kebahagiaan. Namun, cukup lama aku menjalin hubungan dengannya, tak lama kemudian ia pun memilih menikah dengan wanita kaya yang memiliki segalanya, aku pasrah dan aku tidak mengeluh pada kehidupan yang di takdirkan tuhan untukku, aku mencoba ikhlas meski malu merenggut jiwaku.
Lama ku simpan sakit itu dan saatnya untukku bangkit, ia saja bisa melanjutkan hidupnya, kenapa aku tak bisa? Bahagianya bukan bersamaku, selain ikhlas, apa lagi yang ku butuhkan?
Perkenalkan namaku Mayra Liliana Broto, usiaku kini baru memasuki 24 tahun, aku hanya bekerja sebagai salah satu staff di perusahaan airlines terbesar di kota Jakarta, kota yang terkenal akan kemacetannya dan polusi di mana-mana. Namun, Jakarta adalah kota impianku semenjak aku duduk di sekolah menengah atas.
Pria yang mengkhianati kepercayaanku bernama Raihan Gunawan, pria yang berusia 27 tahun, kini menikah dengan wanita kaya raya yang berasal dari keluarga bangsawan.
“Hei!” suara seseorang mengejutkanku, membuatku menarik napas kesal, siapa lagi jika bukan sahabatku, Tari Jihandi, Tari adalah sahabatku, dia bekerja di satu perusahaan airlines sepertiku. Namun, Tari adalah seorang pramugari dan aku hanya seorang staff yang memiliki keterbatasan.
“Apaan, sih? Jangan biasakan dirimu mengejutkanku.” aku berceletuk.
“Kamu yang apa-apaan? Kamu di sini sejak sejam yang lalu loh, diam dan hanya menatap tembok itu, ada apa? Tembok itu mengganggumu?” kekeh Tari, membuatku menepuk punggungnya.
“Apa kamu gak pernah berpikir? Ngapain, sih, kamu masih di sini? Bukannya kamu harusnya ada di pesawat sekarang?”
“Aku gak jadi berangkat, aku gantian sama Vica, dia lagi ada masalah keluarga dan besok gak bisa masuk kerja, jadi besok aku gantiin.” jawab Tari, membuatku mengangguk, “May, kita ke bar, mau?”
“Dugem?”
“Iya. Masa nambal ban.”
“Males ahh, aku lagi gak mood kemana-mana.”
“Takut ketemu mantan?”
“Apaan, sih? Gak ada hubungannya juga kali sama mantan, mantan itu di buang bukan di inget, jadi gak usah ngebahas hal yang bertentangan dengan apa yang aku pikirin deh.” aku meracau tak karuan, meski aku mengatakan hal itu, Tari tak akan peraya jika aku tak memikirkan Raihan meski sekali dalam sehari.
“Kenapa gak nikmatin hidup aja, sih? Aku tahu, kok, kamu itu masih sering mikirin b******n itu, ‘kan? Gak usah bersusah payah terlihat baik-baik saja di depanku, aku lebih tahu kamu, di bandingkan kamu sendiri.” kata Tari, membuatku menggeleng, tentu saja wanita centil ini lebih tahu diriku di bandingkan diriku sendiri, kami sudah berteman semenjak sekolah menengah pertama dan kemana pun, kami tak pernah terpisahkan, dia yang lebih dekat denganku di bandingkan keluargaku sendiri.
“Ya sudah, ayo, kita ke barclub.” kataku, terpaksa menerima tawaran Tari.
“Nah gitu donk.” jawab Tari dengan wajah sumringah.
Aku dan Tari melihat para pramugari yang kini sedang menunggu jadwal penerbangan tengah berdiri dan menatap seseorang dengan kagum, meski aku tak tahu siapa yang mereka lihat saat ini. Namun, itu terjadi setiap kali pria tampan berkunjung ke perusahaan, aku menggeleng, karena Tari menjadi lebih agresif ketika ia harus mengikuti para pramugari lainnya.
“Apaan, sih, Tar?” aku menyikut si centil ini.
“Biarkan aku melihat dan menikmati pemandangan yang Tuhan ciptakan begitu indah, Mayra.” kata Tari, membuatku menggelengkan kepala, karena hanya para wanita jomblo lama yang mungkin merasakan hal semacam Tari.
“Air liurmu nanti jatuh, Tari.” kataku, terkekeh.
“Biarkan air liurku ini menjadi saksi bahwa aku mengagumi ciptaan Tuhan.”
“Haha… apaan, sih, lebay banget.” kataku.
Pria dengan tubuh yang indah, memakai seragam pilot kini tengah melintasi para pramugari yang tengah menatapnya kagum, pria itu memang tampan. Namun, aku belum pernah melihatnya sebelumnya, siapa dia? Dia tak mungkin di sini, jika bukan bagian dari perusahaan.
“Dia pria yang kemarin, ‘kan?” bisik salah satu staf pria yang seruangan denganku.
Aku menjadi lebih penasaran ingin tahu, apa maksud kata staf pria yang bernama Rahmadi.
“Apa maksudmu, Di? Siapa pria itu?” tanyaku.
“Pria itu titisan malaikat, May.” jawab Tari, yang sejak tadi tak berkedip sama sekali, membuatku menggeleng karena sikap sahabatku ini selalu saja membuatku kehilangan akal.
“Di, apa kamu juga kagum pada seorang pria?” tanyaku pada Rahmadi dan menyikutnya.
“Maaf, May, aku tak melihat pria itu, aku hanya melihat Sonia yang tak mengedipkan matanya sama sekali.” kata Rahmadi, membuatku terkekeh.
Aku mendengkus, “Aku tanya, dia siapa?” tanyaku.
“Kamu gak denger kemarin ketika Pak Galih mengadakan rapat? Kita akan kedatangan pilot baru dari Jerman.”
“Jadi, pria itu orang Jerman?”
“Iya, dia masih muda loh, May, kemarin kalau gak salah Pak Galih mengatakan umurnya baru 27 tahun.” jawab Rahmadi.
“Kenapa perusahaan mempekerjakan pria asing?”
“Dia juga bagian dari perusahaan, May.”
“Oh, kemarin aku gak ikutan rapat.” kataku.
“Oh, iya, aku lupa, pantas saja kamu gak ada kemarin pas pembahasan pria itu, kalau gak salah sih namanya Rafael Aliand Wilson, pria asing itu lancar berbahasa Indonesia, dia sudah di latih oleh pihak perusahaan, jadi dia tidak akan membuat kita kesusahan.” kata Rahmadi, menjelaskan. Aku mengangguk karena paham dengan penjelasan Rahmadi.
Aku kembali ke ruangan begitu pun dengan Rahmadi, hari ini semua staf dan pramugari yang sedang free akan menghadiri acara makan malam yang di atur oleh perusahaan untuk menyambut kedatangan Rafael, pria asing itu. Sudah bisa di pastikan jika rencana Tari mengajakku ke club batal.
“Kamu gak pulang, Tar?” tanyaku pada si centil ini, ketika ia masuk ke ruangan.
“Gak ah, aku tunggu saja sampai acara kantor.”
“Apaan, sih, Tar, jika kamu free, seharusnya kamu istirahat di rumah, bukan malah di sini, mencoba menghabiskan waktumu.”
“Aku gak butuh istirahat, May, aku hanya ingin memanjakan mataku.” kekeh Tari, membuatku menggeleng tak percaya. Dasar! Jomblo akut.
“Apa kamu gak merasa aneh, menyukai pria asing?”
“Kenapa aku harus merasa aneh? Pria asing itu terkenal baik hati dan setia, apalagi keseksiannya, sudah gak bisa di pungkiri lagi, aku mah lebih suka pria asing, lebih menggoda dan menyenangkan.” kekeh Tari, wanita centil ini, memang selalu saja membuatku tertawa setelah itu kesal secara bersamaan.
Tari mengambil buku catatanku dan melihat jadwalnya, “Kamu bisa gak merubah jadwalku? Aku ingin jadwal penerbanganku sama dengan jadwal penerbangan Rafael.” pintah Tari.
“Apaan, sih, Tar? Meski dia satu pesawat dengan kamu, kamu pun gak akan sering bertemu, jangan mengada-ngada, Tari, dan jangan meminta hal yang gak masuk akal, kamu terlalu lebay dan agresif kalau kayak gini.” kataku, merebut buku catatanku dari tangan Tari, dia terlalu mudah untuk jatuh cinta.
“Aku mohon, May, kamu kok gitu, sih? Sama temen sendiri gak mau nolong.”
“Kamu bisa minta apa aja, Tari. Namun, merubah jadwal kamu itu gak mungkin karena itu hanya akan mempengaruhi pramugari lainnya, sudah lah, aku harus bekerja, jika kamu mau tetap di sini, kamu diam dan jangan mengajakku berbicara.” kataku, membuat Tari mendengkus, wanita ini memang selalu saja meminta hal yang tidak masuk akal, dia hanya memikirkan perasaannya, sedangkan aku yang mengatur jadwal para pramugari malah akan mempengaruhi yang lainnya.
“Jahat amat, sih.” gumam Tari, aku mencoba mengabaikkannya.
****
Restoran Abimayu, pukul 19.15
Aku dan Tari masuk ke resto, melihat dua meja berbeda yang berada di dua sisi yang sangat dekat, di sebelahnya para pramugari dan staf kini berdampingan dan saling berhadapan, sedangkan para atasan dan pria asing itu duduk di satu meja.
Aku duduk di dekat Rahmadi, sedangkan Tari memaksa duduk di samping Pak Galih hanya untuk berdekatan dengan pria asing itu, aku menggeleng tak percaya, temanku itu selalu saja membuatku malu, di saat seperti ini, aku malu menjadi temannya, karena sikapnya dan mulutnya yang ceplas-ceplos mampu membuat semua orang menunduk.
“Tari keterlaluan amat, sih, masa gabungnya sama atasan.” gumam Kati, aku mendengarnya begitu jelas, aku tak mampu menjawabnya, karena memang benar, Tari membuatku malu saja.
Para atasan dan pria asing itu beserta Tari mengangkat gelas mereka dan bersulang menyambut kedatangan pria asing itu, pria asing yang sepertinya bukan orang biasa, karena terlihat bagaimana para atasan memperlakukannya.
“Indonesia itu memang seperti ini, Pak El, semua wanitanya sangat cantik.” kata Pak Galih, membuatku menggeleng ketika mendengarnya.
“Semoga saja Pak El, betah di Indonesia, ya.” sambung Ibu Danessa.
“Terima kasih, Pak Galih dan Bu Danessa, juga yang lainnya, karena sudah menyambut saya.” kata pria asing itu, dengan suara bariton, terdengar kasar. Namun, halus di telinga, benar kata Rahmadi, pria itu lancar berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia.
“Anda tidak perlu berterima kasih, Pak El, anda bergabung dengan perusahaan cabang Indonesia saja, sudah membuat kami bangga sebagai salah satu perusahaan airlines yang memang sangat jauh di bawah rata-rata.” sambung Ibu Danessa.
“Apa saya bisa bertanya, Pak El?” tanya Pak Harjum, yang bekerja sebagai kepala divisi.
“Silahkan, Pak Harjum, apa yang ingin anda tanyakan?”
“Kenapa anda memilih perusahaan airlines Indonesia, dari sekian banyak perusahaan airlines di negara yang maju?”
“Saya hanya memiliki dua jawaban dari pertanyaan anda, karena saya suka akan tantangan baru dan suka dengan wanita cantik.” kata pria asing itu, membuat ekspresi wajah para pramugari begitu melongo.
“Kita semua sangat bersyukur Pak El memilih perusahaan ini.” sambung Pak Galih.
“Baiklah, silahkan makan, Pak El, maafkan kami karena harus mengajak anda mengobrol terus menerus.” kata Ibu Danessa.
Kami yang hanya staf biasa, jadi berada di sini tak di anggap sama sekali, aku pamit ke toilet dan membasuh wajahku, aku tak pernah memakai make up, karena wajahku memang tak suka di poles, jika ku poles sedikit, memerah akan muncul di sekitarnya, entah karena wajahku sensitif atau memang aku memakai produk murahan yang hanya pas dengan dompetku.
Ku ambil tisu dan ku lap wajahku, aku memakai lipstik dan memperbaiki tataan rambutku yang ku ikat asal, aku sudah beberapa kali kena tegur agar bisa lebih rapi menyisir dan mengatur rambut. Namun, aku bukan wanita yang memikirkan penampilan, mungkin juga karena alasan itu, Raihan meninggalkanku dan memilih wanita lain yang lebih cantik dan kaya dariku. Namun, ya sudahlah… aku tak ingin membahas pria b******k itu, aku tidak ingin malamku juga harus menjadikan dia bayanganku.
Setelah memperbaiki tataan rambutku dan melap wajahku, aku keluar dari toilet, karena aku memakai sepatu high seel, aku hampir saja terjatuh. Namun, seseorang menangkapku dan itu ku anggap sebagai pertolongan luar biasa, jika aku terjatuh dan membuat wajahku merah, atau meninggalkan bekas luka, aku akan di katai ceroboh.
Aku mendongak dan melihat pria yang menolongku, pria asing asal Jerman itu menatapku, menggenggam erat pinggangku karena mencegahku agar tak sampai terjatuh. Dia memang tampan sampai membuatku tak mengedipkan mata sama sekali, aku menyadarkan kepalaku, ketika merasakan sakit di bagian betisku.
“Maaf, Pak, saya tidak sengaja,” kataku, menjauhkan diri.
“Baiklah, kamu staf di perusahaan, ‘kan?”
“Iya, Pak, saya staf divisi yang bekerja di bawa tanggung jawab Pak Harjum.” kataku, dengan menundukkan kepala. Pria asing ini benar-benar wangi dan wajahnya di tumbuhi brewok halus, meski tubuhnya tak putih. Namun, warna tubuhnya yang kecoklatan membuatnya terlihat sempurna.
BERSAMBUNG.