Mayra memasuki kantor New York dengan menarik koper miliknya, ia akan berada di New York selama dua hari, ia berharap akan menjadi hal yang menenangkan tanpa memikirkan seorang Rafael di dalam pikirannya.
Mayra menghampiri resepsionis dan menitip kopor miliknya, lalu ia berjalan menghampiri lift, ia tidak lagi membutuhkan Jovi sebagai pemandunya, karena ia sudah mulai lancar berbahasa Inggris, tanpa bantuan orang lain.
Lift pun terbuka, Mayra hendak melangkah masuk. Namun, tatapannya mengarah kepada seorang pria yang kini menatapnya dari dalam lift. Rafael, pria yang ia rindukan kini berada di hadapannya. Dengan setelan jas yang membuatnya terlihat sempurna.
Mayra menundukkan kepala, ketika para karyawan mempersilahkan Rafael untuk keluar. Mayra lalu berjalan memasuki lift hendak melintasi Rafael tanpa menyapanya terlebih dahulu.
Rafael menggenggam lengan Mayra untuk menghentikan langkah kaki sang pujaan hati yang juga ia rindukan, membuat semua orang kini menatap ke arah Rafael heran.
"Maaf, Pak, saya harus masuk." kata Mayra, mencoba mengalihkan tatapan semua orang. Ia tak ingin membuat semua orang mengira ada hubungan spesial antara dirinya dan Rafael.
Rafael menarik Mayra ke dalam pelukannya, membuat semua orang membulatkan mata penuh dan menganga tak percaya dengan apa yang mereka lihat kali ini, pemandangan itu telihat romantis meski semua orang berbisik karena penasaran.
"Lepasin aku." bisik Mayra.
"Aku tidak akan melepaskanmu, aku merindukanmu." kata Rafael, mengeratkan pelukannya.
"Aku-"
Rafael melepas pelukannya pada Mayra dan mengelus pipi Mayra, membelai rambutnya tanpa perduli bisikan semua orang. Rafael menggenggam jari jemari Mayra, membuat semua orang hampir pingsan melihatnya, pria idaman mereka memeluk wanita asing, itu yang ada di pikiran semua staf wanita dan juga para pramugari.
"Lepasin aku." bisik Mayra, karena tak ingin membuat wajah Rafael menanggung malu karena memeluk wanita sepertinya.
Rafael menarik Mayra dengan genggaman tangannya, membuat semua makin heboh berbisik di belakang.
"Tuan Wilson, anda mau kemana?" tanya Rick.
"Maaf, Tuan Rick Jelz, saya ada urusan mendesak, batalkan semua jadwal saya hari ini." kata Rafael, membuat Mayra melongo tak percaya.
"Baik, Tuan." jawab Rick, lalu menundukkan kepala, semua staf dan pramugari yang melintasi Rafael kini membungkukkan badan memberi hormat. Meski Mayra tak tahu apa maksud dari semua ini.
****
Sampai di hotel, hotel bintang lima yang begitu mewah berada di jantung kota Manhattan, Rafael menarik Mayra masuk ke kamarnya, kamar suite room yang begitu megah dan interiornya enak di pandang.
"Kenapa kamu membawaku kemari? Aku harus menghadiri rapat." kata Mayra, yang baru mengeluarkan suaranya.
Rafael menghampiri Mayra dan memeluknya dalam, membuat Mayra berusaha melepas pelukan itu.
"Jangan memelukku." kata Mayra, membuat Rafael menunduk.
"Aku minta maaf, karena tak pernah menghubungimu." kata Rafael.
"Gak usah minta maaf, lagian aku sudah melupakanmu dan anggap saja kita gak pernah saling mengenal." kata Mayra, membuat Rafael mendongak.
"Apa maksudmu?"
"Lebih baik begitu, 'kan? Daripada harus menyiksaku?"
"Kamu salah paham, Sayang."
"Jangan memanggilku dengan sebutan Sayang, aku meminta agar kamu melupakan hubungan kita. Aku kemari untuk menghadiri rapat, sedangkan kamu malah membawaku kemari, bagaimana jika aku kehilangan kesempatan ini?"
"Aku akan menanggung konsekuensinya."
"Jangan selalu menganggap semuanya mudah, aku gak bisa membiarkanmu mengurungku di sini, sedangkan aku memiliki tanggung jawab di luar sana."
"Aku merindukanmu, biarkan aku memelukmu, sekali sja." pintah Rafael.
"Kamu sudah meninggalkanku selama dua minggu, aku tersiksa ketika tak mendengar kabarmu, jadi lebih baik kita jalani hidup kita masing-masing daripada harus merasakan siksa batin seperti ini." kata Mayra.
"Aku akan menjelaskannya, apa kamu tak ingin mendengar alasanku?"
"Alasan kamu? Kenyataan pahit yang ku terima adalah melihatmu di sini, tanpa menghubungiku?"
"Bukankah aku mengatakan padamu? Seberapa lama pun aku pergi dan kemana pun aku pergi, aku pasti akan kembali dan rencananya setelah dari sini, aku akan menuju ke Indonesia melakukan pertemuan sekaligus bertemun dengan kamu."
"Kamu pergi meninggalkan bekas sakit di hatiku, kamu membuatku berharap lebih dari harapan yang ku inginkan dan kamu membuatku terjatuh setelahnya, itu menyakitkan, seharusnya kita gak perlu saling mengenal dari awal, karena kamu hanya memberikan luka di hatiku, jadi lebih baik akhiri semuanya dan biarkan aku sendiri." kata Mayra, membuat Rafael memaksa menciumi bibir Mayra. Bibir yang sudah lama tidak di rasakannya semenjak jarak memisahkan mereka.
Mayra mencoba melepas ciuman Rafael. Namun, Rafael semakin memagutnya, apa yang di lakukan Rafael saat ini, hanya ingin membuat Mayra terdiam.
"Emmmph..." sialan, lenguhan lolos dari mulut Mayra karena tak tahan dengan paksaan Rafael saat ini. Paksaan menciuminya dan melumatnya bagaikan lelehan saos tomat seperti waktu itu.
Mayra menikmatinya dan sialan itu memalukan dirinya sendiri setelah meminta berpisah dari Rafael.
Lumatan itu menjadi lebih liar, membuat lumatan Rafael menuruni leher putih Mayra yang begitu menggodanya, menandai tanda kissmark di sekitaran leher Mayra, kalung pemberian Rafael masih ia kenakan, membuat Rafael tersenyum di sela lumatannya.
"Lepasin aku." Mayra mendorong Rafael dan membuat Rafael menjauh dari tubuhnya.
"Apa yang kamu lakukan? Kamu seperti akan memperkosaku saja." kata Mayra, geram.
"Aku melakukan ini agar kamu mau diam dan mendengarkan penjelasanku." kata Rafael.
"Apa yang ingin kamu jelaskan?" tanya Mayra.
"Aku pergi dan tak kembali selama dua minggu karena ayahku meninggal." kata Rafael, membuat Mayra membulatkan matanya penuh.
"Aku harus kembali ke Jerman dan mengurus semuanya di saat ayahku kritis sampai meninggal dunia, pemakaman pun harus aku urus, Mayra, karena hanya aku putranya, aku putra tunggal, selama dua minggu itu, aku pun tersiksa, sangat tersiksa, karena merindukanmu, aku tak sempat menghubungimu karena aku tidak bisa melakukannya di saat duka itu sangat mendalam, aku juga tak ingin membuatmu khawatir meski pada akhirnya kamu pun merasa khawatir." kata Rafael menjelaskan.
"Perasaan cinta yang tumbuh perlahan, rasa nyaman yang membuatku merasa takut kehilangan. Semakin hari aku semakin tersiksa hanya karena memendam rasa rindu yang tak berujung dengan temu, Mayra Liliana Broto. Tak ada hari tanpa merindukanmu sehingga itulah yang membuatku menjatuhkan air mata tak terasa hanya karena merindukanmu. Sungguh, rindu ini menyiksaku dan seakan hampir membunuhku, bukan hanya kamu yang merasa terluka. Namun, aku juga merasakan hal yang sama, aku ingin cepat bertemu. Meski tak masuk akal membuatmu hadir di Jerman menemaniku. Aku hanya meminta Tuhan agar menjagamu dan memberikan kuasanya untuk mempertemukan kita." kata Rafael, membuat Mayra menitikkan air mata.
Mayra berjalan menghampiri Rafael dan memeluknya penuh cinta, kini ia luluh dan pertahanannya pun goyah, karena mendengar sang kekasih tengah berduka setelah kehilangan sang Ayah. Mayra sangat paham betul bagaimana rasanya kehilangan orang terdekat untuk selamanya. Pasti sangat sakit, seperti Mayra ketika kehilangan adiknya Maya.
"Maafkan aku, Yank, aku gak tahu tentang kematian ayahmu." kata Mayra, mengelus rambut hitam sang pujaan hati. Rafael merangkul pinggang Mayra dan memeluknya, sangat kecil. Namun, cukup baginya merangkulnya.
"Aku tak punya siapa-siapa lagi, selain kamu dan perusahaan peninggalan ayahku." kata Rafael.
"Aku gak akan pernah meninggalkanmu, aku janji, aku minta maaf karena sempat mengatakan untuk berpisah. Namun, itu gak sungguh-sungguh, aku juga sangat merindukanmu." kata Mayra, membuat Rafael menggendong tubuh kecil Mayra dan Mayra mengalungkan kakinya di pinggang kekar Rafael.
"Sekarang kamu gak marah lagi, 'kan?" tanya Rafael.
"Mana mungkin aku bisa marah jika melihat wajahmu." kekeh Mayra, membuat Rafael mengeratkan gendongannya.
"Ish, lepaskan aku, Yank, aku harus kembali ke kantor, aku ada rapat dengan para divisi." kata Mayra, hendak menuruni tubuh Rafael. Namun, Rafael makin mengeratkan gendongannya.
"Aku gak akan melepaskanmu, aku merindukanmu, aku juga sudah mengosongkan jadwalku hari ini, jadi kamu harus bertanggung jawab." kata Rafael, membuat Mayra tertawa kecil.
"Aku bisa saja bertanggung jawab. Namun, aku memang harus menghadiri rapat, Yank."
"Rapat itu persoalan gampang, Sayang, aku akan menyuruh orang untuk mencatat isi rapat itu, kamu gak perlu khwayir, cukup menemaniku, lagian perusahaan itu adalah milikku, jadi mereka tak akan berani memecatmu atau mengeluarkanmu dari lingkup perusahaan." kata Rafael, membuat Mayra mendongak.
"Perusahaanmu?"
"Hem, aku juga belum bilang, ya? Kalau perusahaan maskapai penerbangan atau EL Airlines, adalah perusahaan milik ayahku, karena ayahku sudah tiada, aku di percayakan untuk mengurus perusahaan sebagai ahli waris tunggal." kata Rafael, membuat Mayra menganga tak percaya.
"Ei, tutup mulutmu, jangan menganga seperti itu, aku bisa memasukkan bibirku di dalamnya." kekeh Rafael, membuat Mayra menyadarkan kepalanya.
"Jadi, perusahaan itu-"
"Iya, Sayang, perusahaan ayahku."
"Kenapa gak bilang sejak awal?"
"Aku gak mungkin mengatakannya karena aku hanya lah seorang pilot." kata Rafael.
"Jadi, kamu berhenti menjadi pilot?"
"Gak, Sayang, aku masih akan menjadi pilot, hanya jadwalku di kurangin saja, karena aku masih harus mengurus perusahaan."
"Turunkan aku." kata Mayra, lalu Rafael menurunkan sang belahan jiwanya di atas sofa dan ia duduk di sebelah Mayra.
"Ish, ternyata kamu yang sering mereka ceritain? Katanya pemilik perusahaan EL airlines memiliki anak cowok yang akan menggantikan ayahnya untuk menjadi pemilik perusahaan."
"Iya, Sayang." kata Rafael, merangkul pinggang Mayra.
"Ish, aku gak tahu loh, jika saja aku tahu, aku pasti akan lebih sopan sama kamu." kata Mayra, membuat Rafael terkekeh mendengarnya. Gadisnya ini memang sangat polos.
"Aku mencintaimu." bisik Rafael, membuat Mayra menoleh dan berhasil membuat Rafael mengecup bibirnya.
"Aku juga mencintaimu." kata Mayra, membuat Rafael menariknya dan memeluknya erat.
****
Rafael dan Mayra memesan layanan kamar untuk makan malam, membuat Mayra mempersilahkan pelayan hotel untuk masuk dan menatanya di atas meja makan.
"Yank, kopor milikku ada di kantor, aku menitipnya di resepsionis." kata Mayra.
"Aku akan menyuruh Tenly mengambilnya."
"Tenly?"
"Iya, dia sekretarisku."
"Hem, baiklah."
Sepeninggalan pelayan hotel, Mayra dan Rafael lalu duduk berhadapan, kini Rafael hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek selutut, membuat tubuh kekarnya terlukis indah di depan mata Mayra.
"Hem, enak." kata Mayra.
"Iya, Sayang, memang enak." jawab Rafael.
"Aku sebenarnya ingin mengajakmu makan di luar. Namun, kamu menolaknya." kata Rafael.
"Ngapain membuang uangmu? Makan di hotel saja, kan, sudah enak banget, apalagi kamu sudah membayarnya beserta makanannya, 'kan? Jadi, hidup hemat itu perlu." kata Mayra, membuat Rafael tertawa kecil dan menggeleng mendengar perkataan kekasihnya itu.
Rafael mengeluarkan sebuah kotak cincin yang sudah bisa di pastikan isinya adalah cincin berlian. Seorang Rafael yang biasa hidup mewah dan memberikan hadiah berupa berlian, adalah hal yang biasa baginya.
"Apa ini, Yank?" tanya Mayra, lagi-lagi bingung dengan sikap Rafael saat ini.
Rafael membuka kotak cincin itu dan memperlihatkannya kepada Mayra, sebuah cincin berlian yang Rafael pasangkan di jari manisnya.
“Mau kah kau menikah denganku? Hidup denganku suka maupin duka? Menemabi setuap perjalananku sampau tua nanti?" tanya Rafael, membuat Mayra menganga tak perfaya dengan sikp Rafael saay ini, benar-benar romantis dan berlian ini begitu berkilau.