BAB 12

1543 Words
Aku dan Rafael berjalan memasuki resto Kokoro, resto yang menyajikan makanan Jepang. Namun, halal. Yang berada di jalan Cikini Raya. Rafael menggenggam jari jemariku, pandangan semua orang mengarah kepada kami, aku berusaha tak memedulikan tatapan para pengunjung. "El, aku —" "Ada apa, Sayang?" tanya Rafael, berbalik menatapku. "Banyak orang melihat kita." kataku. "Memangnya kenapa? Kita tidak lagi berbuat m***m, Sayang, jangan perdulikan mereka." kata Rafael, mencoba menenangkanku, mungkin yang ada di pikiran mereka adalah pria yang kini tengah menggenggamku adalah pria bule yang sangat tampan dan menawan, mungkin saja mereka berpikir tak cocok denganku. Aish, aku tidak akan memedulikan mereka. Rafael mendorong kursi seperti biasa, lalu mempersilahkanku duduk. "Kamu mau pesan apa, Sayang?" tanya Rafael. "Aku pernah membaca review di internet, katanya di resto ini, menyajikan makanan ala jepang dan yang aling enak adalah Mazesoba, aku pengen coba itu, yank." kataku, membuat Rafael tersenyum tampan, aish, dia tampan sekali, jangan tersenyum di depan wanita lain, awas saja. "Baiklah, Mazesoba nya dua, ya." pesan Rafael. "Mazesoba adalah hindangan mie lezat tanpa kuah dengan topping utama 'Taiwan-Mince' Berupa daging cincang berbumbu kecap asin, cabe merah dan bawang putih. Topping lainnya adalah daun bawang, bubuk ikan kering dan kuring telur mentah. Aku pernah mencobanya sewaktu aku di Jepang, jadi enak lah, semoga saja rasanya tetap sama, ya." kata Rafael, menjelaskan, membuatku menganggukkan kepala karena paham, aku juga sering sekali membaca review beberapa restoran di Jakarta jika perusahaan akan mendapatkan tamu. Itu bagian dari tugasku sebagai staf. Beberapa menit kemudian, pesanan kami sudah datang, membuatku menelan ludah karena tak sabar mencicipi makanan khas Jepang tersebut, apalagi pelayan wanitanya memakai kimono dan begitu ramah menyambut pengunjung. Ketika sedang menikmati makanan khas Jepang ini, Rafael terkekeh melihatku, aish.. dia selalu saja membuatku merona dan malu dengan sikapku sendiri. Namun, aku sudah mulai terbiasa dengan sikap kekasihku ini. "Apa enak?" tanya Rafael, membuatku mengangguk. "Enak banget, Yank." jawabku. Aku melihat beberapa pelayan resto dan juga beberapa pengunjung wanita, menatap Rafael penuh perasaan, membuatku sedikit kesal karena harus melihat hal itu, apa mereka tidak pernah melihat pria tampan? Sampai, melihat kekasihku selama itu. "Ada apa, Sayang?" tanya Rafael, membuatku menoleh ke arahnya. "Gak, Yank, hanya saja mereka semua menatap kita." kataku. "Abaikan saja, Sayang, bukannya kamu sudah terbiasa?" "Iya, sih. Namun, aku gak nyaman saja." kataku. "Ya sudah, selesai makan kita pulang." kata Rafael, membuatku menjawab dengan anggukan. Ketika sedang menikmati sajian resto ini, aku melihat Rafael merogoh saku celananya, lalu ia mengeluarkan sebuah kotak dan menyodorkannya padaku. "Apa ini, Yank?" tanyaku. "Buka saja." Aku membuka kotak itu, aku begitu terkejut melihat kalung mewah di dalamnya. "Ini—" "Ini untuk kamu, biarkan aku membantumu memakainya." kata Rafael, membuat semua pengunjung wanita menganga tak percaya melihat keromantisan Rafael. Apa ini bahagianya memiliki kekasih bule? Rafael memasangkan kalung ke leher putihku, bahagianya rasanya. Namun, bukan bahagia mendapatkan kalung berlian. Namun, aku bahagia ketika Rafael memperlakukanku dengan baik dan manis. Namun, aku bahagia ketika Rafael memperlakukanku dengan baik dan manis "Cantik sekali." puji Rafael, membuatku merona. "Kamu gak perlu melakukan ini, Yank, aku—" "Jangan mengatakan apa pun, Sayang, aku hanya ingin setiap aku memiliki jadwal penerbangan ke luar kota atau ke luar negeri, aku ingin kamu menatap lehermu, jika kamu merindukanku." kata Rafael, membuatku melayang seketika. "Makasih, Yank." kataku. "Iya, Sayang." jawab Rafael. "Ayo, makan lagi." Aku mengangguk, Rafael memperlakukanku begitu baik, semoga saja Tuhan menjodohkanku dengan Rafael sampai maut memisahkan kami. **** Setelah makan malam, Rafael mengemudikan mobilnya keluar dari pelataran parkir resto, malam telah menunjukkan pukul 8. "Aku akan langsung mengantarmu pulang, Sayang." Kata Rafael. "Iya, Yank." jawabku. "Aku tak enak hati sama Tari, selalu saja memintamu menginap di apartemen." kata Rafael. "Hehe... setiap pagi dia selalu saja menyelidikiku, membuatku gak bisa jika gak menjawab semua pertanyaannya." kataku, membuat Rafael tertawa kecil. "Kamu sudah memberitahunya tentang hubungan kita?" "Iya, Yank, tentu saja, aku sudah bilang, dia gak akan diam jika aku gak jawab dengan jujur." kekehku. "Aku juga berharap bisa bertemu orangtuamu." kata Rafael, membuatku menoleh seketika, Rafael mau menemui orangtuaku? Kenapa? "Ada apa, Sayang? Kenapa tatapanmu seperti itu?" tanya Rafael. "Kamu mau bertemu orangtuaku?" "Tentu saja, aku mau bertemu mereka, aku, kan, lelakimu, aku gak mungkin hanya mencintaimu, aku juga akan mencintai keluargamu." kata Rafael, membuatku tersanjung, pria ini benar-benar membuatku melayang. Aku tersenyum, lalu menekuri jalan lewat kaca mobil. Sepuluh menit kemudian, Rafael mengemudikan mobilnya masuk ke pekarangan kost, aku melihat pintu kost masih terbuka, Tari pasti sudah pulang. Rafael membuka pintu mobil dan mempersilahkanku untuk turun, manis sekali. "Makasih, ya, Yank, karena kamu sudah mengajakku makan malam dan memberiku kalung ini." kataku, membuat Rafael membelai rambutku. "Iya, Sayang, aku akan melakukan apa pun untuk membuatmu selalu bahagia." kata Rafael, membuatku merona. "Tapi, aku gak membutuhkan barang-barang mewah untuk membuatku bahagia, mencintaiku dan selalu membuatku tersenyum saja, sudah cukup buatku." kataku, membuat Rafael tersenyum. "Biarkan aku sekali-kali memberikanmu hadiah. Jangan terus menolaknya." kata Rafael. "Kapan kamu mulai bekerja?" tanyaku. "Aku akan masuk kerja besok. Namun, aku belum bisa mengoperasikan pesawat, untuk sementara aku akan menjadi capilot saja." kata Rafael, membuatku mengangguk. Suara deheman terdengar sangar, membuat aku dan Rafael berbalik menatap seorang pria paru baya. Babe? Apa benar Babe? "Babe?" tanyaku, membuat Rafael heran. "Babe? Babe siapa, Sayang?" tanya Rafael. "Dia ayahku." bisikku. "Apa? Ayahmu?" Rafael membulatkan matanya penuh, melihat Babe tengah menatap kami berdua. Di ruang tamu, aku dan Rafael duduk berdampingan, sedangkan Babe dan Nyak duduk di hadapan kami, Tari menyiapkan minum untuk kami. Aku benar-benar tak percaya Babe dan Nyak datang tanpa memberitahuku sebelumnya. Apalagi, aku belum siap mengatakan hubunganku dengan Rafael. "Jelaskan ke Babe dan Nyak sekarang juga, siapa pria asing ini? Ada hubungan apa kalian?" tanya Babe, membuatku memutari otak mencari akal. "Saya kekasihnya Mayra, Be, Nyak." jawab Rafael, membuatku membulatkan mata penuh menatapnya. Sedangkan, Babe dan Nyak keheranan mendengar Rafael bisa berbahasa Indonesia dengan lancar tanpa kendala. "Ish, kamu apa-apaan, sih." bisikku. "Meski saya berasal dari luar negeri. Namun, saya bisa memastikan diri sendiri, bahwa saya pria baik-baik dan dari keluarga baik pula." kata Rafael, membuatku memberi kode kepada Tari agar ia mau menolongku. "Jadi, kamu mencintai anak Babe?" "Iya, Be, saya sangat mencintainya." jawab Rafael, aku berusaha meminta tolong pada Tari. Namun, Tari diam seribu bahasa mendengar pengakuan Rafael. Dasar, Tari! "Kamu dari luar negeri, kamu pasti akan kembali ke asalmu, sudah bisa di pastikan saat itu, kamu akan meninggalkan anak Babe." kata Babe, membuat Rafael mendongak. "Tentu saja tidak akan pernah, kemana pun saya, berapa lama pun saya pergi dan dalam keadaan bagaimana pun, saya akan tetap kembali pada Mayra, karena hanya Mayra yang ada di dalam hati saya." kata Rafael, membuatku menganga tak percaya, sedangkan Tari terpesona dan berdiri lunglai di arah dapur. Babe dan Nyak menghela napas panjang. "Siapa namamu?" tanya Nyak. "Nama saya Rafael Aliand Wilson." jawab Rafael, membuat Nyak tersenyum mendengar jawaban spontan Rafael. "Babe dan Nyak tidak perlu mengkhawatirkan Mayra, dia adalah wanita saya, saya akan menjaga dan melindunginya." kata Rafael, membuat mata Babe melirik ke arahku, aku menundukkan kepala. "Biar aku buatkan minum, Be." kataku, lalu beranjak dari dudukku dan menghampiri Tari. "Kamu jahat banget, sih, Tar." kataku. "Aku jahat?" "Ya iyalah, kamu gak menghubungiku jika Babe dan Nyak datang." "Bagaimana bisa aku memberitahumu, aku pun sama terkejutnya dengan kamu." kata Tari. "Ish." "Tapi, May, aku bersyukur banget deh, kamu mendapatkan pria seperti Pak El, dia pria yang baik dan bertanggung jawab, dia berhasil membuat Nyak sama Babe terdiam karena kata-katanya yang penuh keyakinan." kata Tari, membuatku menatap Rafael. Aku merasakan hal yang sama, aku pun bersyukur. "Apa kamu lupa? Sewaktu Nyak dan Babe menguji Raihan? Nyak dan Babe susah menerima Raihan sebagai kekasihmu." kata Tari mengingatkanku. Tari melihat leherku, aku lupa ada kalung pemberian Rafael di leherku. "Ini, kan, berlian, kamu—" "Rafael memberikanku." "Apa? Berlian ini?" "Iya, kamu pikir aku bisa beli? Gak mungkin, gajiku saja gak bakalan cukup meski aku mengumpulkannya setahun." "Ish, Pak El romantis banget, sih, aku pengen deh lelaki satu seperti Pak El." kata Tari, membuatku menggeleng, aku hanya bisa tersenyum mendengar pujian Tari. Semoga saja, aku tak lagi merasakan pengkhianatan setelah Raihan membuatku trauma akan menjalin hubungan dengan seseorang dan Rafael berhasil membangkitkan diriku. Babe dan Nyak terlihat mengobrol asyik dengan Rafael, tak ada ketegangan seperti waktu pertama kali bertemu. Aku tersenyum melihatnya. Aku lalu membawa nampan berisi beberapa cangkir teh hangat dan cemilan yang sering ku beli di warung sebelah, aku menyuguhkannya di atas meja dan mempersilahkan kedua orang tuaku juga Rafael untuk menikmati teh buatanku. "Jadi, kapan kamu akan menikahi Mayra?" tanya Babe, membuatku membelalak tak percaya. "Babe, apaan, sih, May baru saja mengenal Rafael seminggu yang lalu." kataku, mencoba mencegah Babe dengan pertanyaan konyolnya. "Cepat menikah lebih baik untuk menghindari maksiat, May." kata Babe. "Tapi, Babe, kan, tahu, Rafael ini dari negara lain, biarkan May menjalaninya dulu." kataku. "Gak apa-apa, Sayang, sebagai orang tua, wajar saja Babe menanyakan hal itu." kata Rafael. "Tapi, Yank—" "Iya, Be, untuk sementara saya akan memberitahu keluarga saya dulu tentang wanita yang kini sedang saya kencani." kata Rafael, membuatku tak habis fikir dengan jalan pikiran Babe dan Rafael. "Yank—" "Apa, Sayang?" tanya Rafael. "Kamu jangan mengada-ngada." "Mengada-ngada, gimana? Apa kamu ingin hubungan kita seperti ini terus? Gak ada kejelasan?" "Tapi—" "Serahkan saja padaku, Sayang." bisik Rafael, membuatku tak bisa berbicara lagi, Rafael memang selalu berhasil meyakinkanku. BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD