Bab 13
Rumah kosong
Tin tin
Deva meletakkan piring berisi nasi goreng yang dimasaknya tadi di atas meja, berjalan menuju pintu utama untuk membukakan pintu menyambut wanita yang paling Deva sayangi—mamanya.
“Malam, son!” Reta memeluk putra semata wayangnya, mengecup pipinya.
“Why did you come home so late, Ma?”
Reta mencubit gemes pipi Deva. “Sorry sayang. Hari ini Mama sibuk banget. Projek yang Mama dan temen-temen Mama rencanakan, sebentar lagi akan terwujud!” Reta terlihat kegirangan menginformasikan rencananya.
“Emang apaan, Ma?”
“Kamu lupa?” Reta masuk ke dalam, menutup pintu. “Nanti Mama ceritakan. Sekarang Mama mau masuk dulu, ya. Mama mau mandi, gerah.”
“Oke, Ma.”
__00__
Alarm dari ponsel Dave berdering. Tangan meraba mencari ponsel, Dave mematikan deringan alarm setelah berhasil menemukan ponselnya. DIlihatnya jam, pukul 06.00 pagi. Dengan mata yang masih mengantuk, Dave memaksakan diri untuk bangun. Ia berencana untuk jogging pagi ini.
Baru saja hendak beranjak dari tempat tidur, ponselnya bergetar, satu panggilan masuk.
“Halo, Deva?” Dave mengucek matanya.
“Kuy jogging!”
“Ya udah buruan siap-siap. Gue juga baru bangun nih, mau siap-siap.”
“Oke, Playboy!”
“Anj- Astagfirullah.” Dengan cepat Dave menahan k********r yang hampir saja lolos dari mulutnya. Baru saja bangun, tapi Deva sudah membuatnya senam jantung.
Dave berjalan ke kamar mandi. Sampai di sana, ia mencuci muka, menyikat gigi. Setelah selesai, ia mengganti pakaian dengan seragam olahraga.
Pintu diketuk.
“Permisi, Den,” ucap Bi Tati dari luar kamar. “Di depan ada Den Deva, nungguin Aden.
“Iya, Bi. Sebentar lagi saya keluar.” Jawabnya sambil menatap pantulan diri di depan cermin, menyisir rambut. Dirasa cukup, Dave siap untuk keluar.
Sampai di bawah, Deva sudah menunggunya.
“Good morning, Playboy SMA Kencana Indonesia!” Deva melambaikan tangannya ke arah Dave yang membuat Dave ingin muntah rasanya melihat wajah sok imut itu.
“Najis!” Dave keluar rumah.
Deva mengejar Dave ke depan. Ia menendang sepatu sebelah kiri milik Dave.
“Ambil gak?” ancam Dave.
“Ogah!”
Dave menghela napas panjang. “Sabar Dave, sabar!”
Memakai sepatu telah usai. Sekarang Dave sedang melakukan pemanasan terlebih dahulu. Deva mengikuti. Sepuluh menit melakukan pemanasan, sekarang mereka siap. Biasanya rute jogging Dave adalah mengitari kompleks perumahannya. Kalau masih kurang, ia melanjutkkan joggingnya hingga sampai ke SMA Kencana Indonesia. Tapi ini jarang. Selama tiga tahun rutin jogging setiap hari minggu, baru sekali ia sampai ke sana.
Di hari libur ini banyak juga penduduk kompleks yang berlari pagi sama seperti Dave dan Deva. Ada yang sengaja ingin berolahraga, dan ada juga yang sengaja melakukan jogging sebagai agenda pagi keluarga mereka.
Tak terasa, mereka sudah mengitari kompleks tiga kali. Deva sudah hampir mati rasanya.
“Dave, gue capek.” Napasnya tersengal. Deva mendudukkan diri di tengah jalan, sambil menyelonjorkan kaki.
“Cemen, lo!” ledek Dave.
Tiba-tiba Dave melihat Maya—cewek incarannya saat ini. Gadis itu mengenakan hoodie hitam, celana hitam, dan topi hitam yang sengaja diturunkan agar menutupi Sebagian wajahnya.
“Dave lo mau ke mana?” tanya Deva melihat Dave pergi.
Tidak ada jawaban. Dave terlalu fokus mengikuti Maya, ia tidak mendengar pertanyaan Deva.
Dari gerak-geriknya, sepertinya Maya ingin pergi ke suatu tempat. Maya juga terlihat mencurigakan. Berulang kali gadis itu menoleh ke kanan, ke kiri, dan belakang memastikan tidak ada siapa-siapa yang mengikutinya. Saat Maya melihat ke belakang, cepat-cepat Dave bersembunyi di balik pohon.
Lima belas menit mengikuti, Maya berhenti di sebuah rumah yang berada di ujung kompleks. Dave melihat Maya memastikan tidak ada yang melihatnya. Gadis itu tidak tahu bahwa Dave sedang mengikutinya, bersembunyi di belakang pohon.
Maya merogoh sakunya, mengeluarkan kunci, membuka pintu. Pintu ditutup. Seingat Dave, rumah itu seharusnya kosong sudah ditinggal pemiliknya dua tahun lalu. Untuk apa Maya pergi ke sana? Dan bagaimana bisa gadis itu memiliki kunci rumah tersebut?
Ponsel Dave bergetar, panggilan dari Deva.
Dave sengaja tidak mengangkat. Pasti Deva akan mengomelinya karena sudah pergi meninggalkan anak manja itu.
__00__
“Bagaimana sekolah kamu, Farah?” tanya Kaila. Tangannya sibuk menggosok baju. Hari Minggu ini ibu dua anak itu tidak bekerja.
Farah sudah meminta agar dirinya saja yang menyetrika, namun lagi-lagi Kaila melarang. Beliau bilang, anaknya itu belum boleh mengerjakan pekerjaan rumah. Karena tidak setuju dengan apa yang dikatakan mamanya. Daripada duduk diam, lebih baik Farah mengambil alih tugas memasak, membiarkan mamanya menyetrika sesuai keinginan beliau.
Kurang lebih hampir satu jam berkutat di dapur, Farah selesai memasak sop ayam. Ia membawanya ke ruang tengah untuk makan bersama. Rumah mereka tidak memiliki ruang khusus untuk makan. Jadinya ya begitu, harus dibawa ke ruang tengah untuk makan bersama.
“Alhamdulillah, menyenangkan, Ma. Farah juga sudah punya teman baru.” Jawab Farah meletakkan tempat berisi nasi.
“Syukurlah. Temen baru kamu yang kemarin datang ke rumah.”
“Iya, Ma. Mereka yang membantu membebaskan Farah kemarin.”
“Bebas?” tanya Sarah tiba-tiba membuat Farah dan Kaila saling tatap khawatir.
“Kemarin kakakmu ditilang karena tidak pakai helm sewaktu mengerjakan tugas.” Cepat-cepat Kaila mencari alibi. Sarah tidak boleh tahu kalau Farah masuk penjara karena dituduh melakukan pembunuhan.
Farah menghela napas lega. Syukurlah mamanya bisa cepat mencarikan alasan untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi.
“Ini Kakak ambilkan buat kamu.” Farah mencentongkan nasi dan mengambilkan lauk untuk Sarah. “Dihabiskan, ya.”
“Mama gak makan?” Kaila belum menghentikan aktivitas menggosoknya.
“Sebentar, Mama selesaikan satu baju ini dulu.”
Sarah mengambilkan bagian untuk mamanya, kemudian baru bagiannya.
__00__
“Kakak mau ke mana?” tanya Alva saat melihat kakaknya terlihat terburu-buru menuruni anak tangga. Alva sedang duduk di ruang tengah sambil memegang sebuah buku. Kalian pasti bisa menebak buku apa yang sedang dipegangnya.
“Kakak mau ke kampus, ada tugas yang harus di selesaikan sekarang.” Tanpa berpamitan, Dinda berlari keluar rumah.
Alva meneruskan membaca. Kemarin malam papanya pulang larut dalam kondisi memuakkan. Rutinitas papanya hampir setiap hari. Dengan tubuh sempoyongannya dan racauan yang membuat bising telinga, Nugraha berkali-kali memencet bel. Saat itu Alva belum tidur karena membaca n****+. Ia membuka pintu. Penampakan berantakan papanya membuat Alva menghela napas.
Alva merindukan papanya yang dulu. Papanya yang ramah, penyayang. Bukan papanya yang sekarang, yang berantakan hidupnya. Kehilangan belahan jiwanya, membuat Nugraha kehilangan arah.
Alva membantu papanya berjalan hingga ke kamarnya. Alva merebahkan tubuh papanya di atas tempat tidur. Membukakan jas dan sepatu. Meletakkan bantal di kepala papanya.
Sekarang masih pukul 09.00 pagi. Pasti papanya belum bangun. Jadi Alva masih bisa duduk bebas di ruang tengah membaca buku. Di rumah, Alva lebih sering menghabiskan waktunya di kamar. Bukan karena takut dihajar, tapi melihat papanya yang seperti itu menyayat hatinya.
Bel rumah berbunyi.
Alva meletakkan buku di atas meja, berjalan mendekati pintu. Saat pintu terbuka, tidak ada siapa pun di luar. Alva melihat kanan-kiri, tidak ada siapa-siapa. Pandangannya jatuh ke bawah. Ada sebuah kotak berukuran sedang. Alva mengambil kotak tersebut, membawanya ke dalam.
Tanpa ada rasa takut, ia membuka kotak itu. Terkejut bukan kepalang. Di dalam kotyak itu berisi potongan tubuh bayi. Ada dua bayi di dalam kotak itu. Hal itu diketahui karena ada dua kepala. Alva cepat-cepat mencari ponselnya, menghubungi Raka memintanya untuk datang bersama papanya.
__00__
Baru berjalan beberapa langkah meninggalkan pohon tempat persembunyiannya tadi, Dave mendengar jeritan yang berasal dari rumah yang dimasuki Maya. Dave berlari ke rumah itu. Pintunya dikunci. Dave mendobrak beberapa kali, tidak bisa.
Dave menelpon Deva menyuruhnya untuk datang secepat mungkin. Dave melekatkan telinganya ke daun pintu memeriksa apakah Maya masih di dalam sana atau tidak. Terdengar suara gelas jatuh. Dave menebak pasti Maya sedang berusaha memberi perlawanan di sana.
Dave menggedor pintu sekuat tenaga. Jeritan kembali terdengar, namun ini tidak sekuat sebelumnya. Malah terdengar melemah di ujung kalimatnya. Dave semakin khawatir.
Deva sampai. Mereka berdua mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu. Dalam hitungan 1…, 2…, 3…, pintu terdobrak. Tidak ada apa-apa di dalam sana. Dave memeriksa setiap bagian dari bagian dalam rumah. Deva berlari ke belakang mengejar siapa tahu mereka lari lewat belakang.
Mereka tidak menemukan apa-apa.
Deva kembali masuk. Dave menunggunya mengatakan sesuatu. Deva menggeleng sebagai jawaban bahwa ia tidak menemukan apa pun. Dave menedang meja. Ia kesal. Kalau saja tadi ia lebih cepat bisa mendobrak pintu, pasti Maya bisa diselamatkan.
Permain kembali dimulai. Yang Raka dan Alva khawatirkan akan segera terwujud.
Bersambung...