BAGIAN 10

1016 Words
Melihat Inez yang terus berusaha membebaskan diri dari cengkraman kuat tangan Rian, membuat Cakra langsung mengepalkan tangannya kuat-kuat. Napasnya berubah cepat, jantungnya berdetak lebih kencang daripada sebelumnya. Tatapan mata cowok itu semakin menajam. Melihat itu, Cakra seperti menyaksikan ibunya sendiri yang selalu disiksa oleh Reno, ayah Rian, beberapa tahun silam sebelum ibunya meninggal dunia. Tidak kuat menahan amarahnya, Cakra bergerak maju dengan tangan terkepal. Cowok itu langsung melayangkan tinjunya tepat di rahang Rian. Begitu keras hingga membuat Rian menjauh dan hampir jatuh ke tanah. Semua siswa-siswi yang melihat adegan tersebut serta merta langsung berteriak, kejadian yang serupa seperti sebelumnya. Cakra memukul Rian untuk yang kedua kalinya. Cakra tidak peduli, ia terlalu muak dengan Rian dan segala hal-hal yang bersangkutan dengan cowok itu. "Sekali lagi aku lihat kamu nyakitin cewek, akan kupastikan leher kamu patah! Camkan itu!" Rian hanya berdesis nyeri sembari memegang tulang rahangnya yang terasa sakit dan panas. Ia melotot marah ketika menyadari bahwa pelakunya tak lain dan tak bukan adalah Cakra, adik tirinya yang selalu ia benci dari dulu. Tidak mau catatan buruk dibuku kesiswaan bertambah banyak, kali ini Rian memilih tidak membalas tonjokan Cakra. Ia teringat akan ancaman guru konselingnya, apabila satu kali lagi dirinya membuat kesalahan dan berakhir masuk ke ruang bimbingan konseling, Rian terancam di drop out dari sekolah. Sebelum melesat pergi, Rian menyempatkan diri melirik Cakra dengan sorot mata sinis. Sedangkan Cakra nampak tidak peduli. Perlahan, kerumunan di parkiran mulai bubar. Cakra memejamkan matanya sejenak sambil menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya secara perlahan. "Hei, lo nggak pa-pa, kan?" tanya Inez yang tiba-tiba berdiri disamping Cakra. Cakra mengangguk pelan. "Harusnya aku yang nanya, tangan kamu baik-baik aja? Ada yang terluka nggak?" Inez tersenyum manis. "Iya, gue baik-baik aja. By the way makasih ya lo udah bantuin gue." "Nggak masalah," jawab Cakra, sedikit menyunggingkan senyumannya. "Untuk tanda terima kasih gue sama lo, gimana kalo gue traktir lo minum di kafe? Lo mau, kan?" tanya Inez. Cakra menghela napas pendek. Ia tidak bisa menerima tawaran itu, ia pun menggeleng pelan. Sebisa mungkin ia menolaknya dengan cara halus agar Inez tidak kecewa, atau setidaknya mengerti. "Sekarang aku ada urusan yang nggak bisa ditinggal, maaf aku nggak bisa." "Terus gue harus apa buat balas kebaikan lo?" Inez berpikir sejenak. "Ah gini aja deh, kita bisa ke kafe lain waktu aja. Nunggu lo nggak sibuk." "Eh nggak usah, aku nggak minta imbalan." Cakra menggelengkan kepalanya lebih tegas. "Yah ... Gue nggak enak dong sama lo." Raut wajah Inez terlihat kecewa. "Gue nggak mau utang budi sama orang lain." "Aku cuma minta satu hal," ucap Cakra pelan, membuat Inez mengerjapkan matanya terkejut. Tentu saja Inez merasa senang. Apapun permintaan Cakra, sebisa mungkin Inez akan menurutinya. Karena Inez memang suka kepada cowok itu. "Lo mau apa?" tanya Inez antusias. Matanya mengerjap. "Kembaliin sepatuku yang waktu itu aku pinjami ke kamu, aku mau kamu besok bawa sepatuku, ya?" "Sepatu?" "Iya sepatu, besok kamy harus bawa sepatu itu." Setelah selesai berkata, Cakra sadar bahwa ia harus segera berangkat bekerja. Kalau ditunda lebih lama lagi, Cakra takut bos-nya akan marah kepadanya, lebih menyeramkan lagi apabila gaji bulanan Cakra akan dipotong. Cakra bergidik kecil, ia harus menjauhkan pikiran buruk tersebut. "Aku udah terlambat, aku cabut dulu kalo gitu, sampai ketemu nanti!" Cakra melambai singkat kepada Inez. Lalu buru-buru melesat menghampiri sepedanya. "Eh tunggu dulu!" Inez berseru seraya mengangkat tangannya. Namun Cakra tidak mendengarnya, cowok itu sudah melesat dengan sepedanya. Inez menghela napas panjang. Ucapan Cakra tentang sepatunya membuat Inez bingung. "Sepatu apa sih? Gue perasaan nggak pernah minjam sepatu dia deh." Inez berpikir sambil mencoba mengingat-ingat, ia menggaruk kepalanya. Namun usahanya nihil, tidak membuahkan hasil sama sekali. Inez tidak mengingat memori tentang dirinya yang meminjam sepatu milik Cakra. "Ketemu aja belum genap satu Minggu, kapan gue minjamnya? Salah orang tuh cowok." *** Zidan berdiri dari duduknya hendak menyusul teman-temannya yang sudah keluar dari dalam kelas. Namun sebelum melangkah keluar dari bangku, pergerakannya terhenti karena Cakra menahan lengannya. "Apaan? Mau ikut ke kantin juga? Tumben banget, biasanya gue ajak nggak mau." "Bukan itu," jawab Cakra. "Aku mau nanya sesuatu sama kamu Dan." "Soal apa?" tanya Zidan malas. Ia masih berdiri, menunduk menatap Cakra yang masih setia pada posisinya. "Soal cewek," sahut Cakra pelan. Zidan yang semula terlihat malas meladeni Cakra berbicara, seketika saja raut wajahnya berubah terkejut. Cowok itu mengerjapkan matanya, lalu memutuskan untuk duduk kembali dengan mata berbinar. "Soal cewek? Lo naksir sama cewek di sini? Siapa namanya? Kelas mana? Apa yang lo suka dari cewek itu sampai lo naksir gini? Kapan lo bakal nembak dia?" Zidan memborbardir pertanyaan untuk dijawab oleh Cakra. Cowok itu terlihat begitu antusias. Cakra mendengkus pelan, seketika saja ia malas melanjutkan ucapannya yang niatnya memang mau ia tanyakan kepada Zidan. Bagaimana bisa Cakra menjawab pertanyaan Zidan kalau Cakra tidak bisa mencerna satu persatu pertanyaan itu? "Hei jawab Bambang! Malah melongo." Zidan menjentikkan jarinya tepat dihadapan wajah Cakra. "Cewek yang lo taksir kelas berapa woy?" "Aku nggak naksir cewek," jawab Cakra sedikit kesal. Zidan menepuk pundak Cakra cukup keras. Raut wajahnya kembali datar. "Gimana sih lo, tadi katanya mau tanya soal cewek." "Inez, kamu tau kelasnya di mana?" Keterkejutan Zidan rupanya belum berhenti sampaikan di situ saja, ia menoleh cepat dan melotot ke arah Cakra. Ia nyaris terjungkal karena Cakra menyebut nama cewek itu. "Lo suka sama Inez? Beneran lo?" tanya Zidan dengan aksen suara berat. Terdengar begitu lantang, untung saja kelas sepi. Tidak ada siswa selain mereka berdua. "Ngomongnya jangan kencang-kencang bisa?" ujar Cakra seraya melirik Zidan sinis. Ia menghembuskan napasnya panjang. "Aku cuma nanya doang. Aku nggak suka Inez!" Cakra menyangkalnya. "Nggak mungkin kepo kalo nggak ada sesuatu? Lo beneran naksir Inez, kan?" Zidan menatap penuh selidik ke arah Cakra. "Selera lo rupanya mantep juga ya. Waktu ketemu dia apa yang lo rasain Kra? Muncul getaran-getaran aneh di dadaa lo nggak? Jantung lo bakal meledak nggak waktu natap Inez? Terus lo ngerasa nggak kalo cuma dia objek satu-satunya yang enak dipandang? Kalo lo ngerasain itu semua, FIKS LO KUDU JADIAN SAMA!" Cakra rasanya ingin menyumpal mulut tidak berguna milik Zidan sekarang juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD