BAGIAN 09

1087 Words
"Masih untung lo nggak dilaporin ke BK, itu artinya si Rian masih kasihan sama lo karena lo murid baru di sini. Lain kali dipikirin dulu sebelum bertindak biar lo nggak nyesel nantinya." Bagai seorang pakar yang pandai menggurui orang lain, sudah sepuluh menit Zidan mengomel panjang lebar kepada Cakra tentang Cakra yang sudah memukul Rian, kakak kelas yang sangat terkenal itu. Katanya Cakra tidak pandai mengontrol emosi, Cakra tempramental, Cakra terlalu mudah dipancing emosinya, dan Cakra belum tahu apa yang akan Rian lakukan jika seseorang mengusiknya. Tapi untuk yang terakhir itu, sedikit ada benarnya. Cakra tidak tahu kepribadian kakak tirinya itu saat ini. Cakra lama-lama merasa pusing sendiri, berulang kali ia menghela napas panjang berusaha menenangkan diri. Sementara di belakangnya, Zidan terus memberikan Cakra komentar yang lagi-lagi membuat telinga Cakra berdengung. Saat ini sudah waktunya untuk pulang sekolah, Cakra berniat pergi ke tempat kerjanya seperti biasa, namun Zidan masih mengikuti dibelakangnya. Tak tahan, Cakra pun berhenti dan berbalik badan. Ia menatap datar kepada Zidan yang tadi hampir menubruknya ketika Cakra berhenti secara tiba-tiba. "Nah gitu, lo paham kan apa yang gue peringati?" tanya Zidan sambil menunjuk dadaa Cakra. Cakra menukas cepat dan tajam. "Nggak!" Zidan membelalakkan matanya. Terlihat terkejut akan respons yang diberikan oleh teman barunya itu. Tapi Zidan berusaha tetap tenang, ia berdehem kembali dan merapikan dasinya. "Gini deh, gue ulangi dengan versi yang lebih pendek, jelas, singkat, dan pastinya bakal bikin lo ngerti apa yang gue maksud." Cakra berdecak jengkel. "ck, nggak perlu. Aku paham apa yang kamu omongin, mending kamu sekarang diem dan pulang sana. Aku juga mau pulang." Cakra mendesah panjang. "Iya ini gue emang mau pulang, kita searah menuju parkiran." Cakra memilih tidak memedulikan Zidan. Ia mengeluarkan napas panjang, membalikkan badan, lalu berjalan dengan langkah lebih lebar dari sebelumnya. Sementara Zidan berusaha menyamai langkah kaki Cakra. Berbelok ditikungan depan, Cakra dan Zidan tiba-tiba dikejutkan oleh kerumunan siswa-siswa. Langkah kedua cowok itu terhenti, mereka saling pandang sejenak. "Ada apa?" tanya Cakra sambil menaikkan alisnya, meminta penjelasan dari Zidan. Bukannya memberikan jawaban yang memuaskan, Zidan malah ikut bingung. Dahinya bergelombang. Kedua bahunya tiba-tiba terangkat. "Gue juga nggak tau ada apa," jawabnya jujur sambil menggeleng pelan. Cakra melanjutkan langkahnya agak lebih terburu-buru karena ingin tahu kejadian apa yang sedang terjadi di depan sana. Kerumunan semakin lebih padat, Cakra bahkan rela mendesak maju untuk melihat sebenernya ada kejadian apa hingga membuat semua orang berkumpul seperti sekarang ini. Jiwa kepo Cakra sudah diujung tanduk. Berhasil masuk ke dalam kerumunan, Cakra mengedarkan pandangannya, lalu berhenti ke arah satu objek yang langsung membuatnya terpaku. Dalam jarak yang lumayan dekat, Cakra melihat Rian, kakak tirinya, berhadapan dengan seorang cewek. Keterkejutan Cakra bahkan tidak sampai di situ saja. Ia kenal siapa cewek yang berdiri di depan Rian. "Cewek mabuk?" gumam Cakra sambil menunjuk Inez dengan mata menyipit. Tidak mungkin Cakra salah melihat, itu memang cewek yang waktu itu minta diperkosa saat mabuk. Cakra memutar kembali memori beberapa hari yang lalu, ia mengerjap pelan. "Jadi cewek yang kemarin bantuin aku cari kelas itu cewek mabuk?" Cakra berbicara sendiri, tentunya dengan aksen suara rendah. Ia menunduk sebentar dan memikirkan kejadian itu. Pantas saja waktu itu Cakra seperti tidak asing dengan wajah cewek itu, rupanya ia memang pernah bertemu dengannya. "Berarti sepatuku?" Cakra menoleh cepat memperhatikan Inez. Ia memandangi sepatu yang saat ini dikenakan cewek itu. Tapi, Inez tidak memakai sepatu milik Cakra. Yang berarti alas kaki punya Cakra ada di rumah Inez. Kesempatan, Cakra akan menagihnya sebelum kehilangan jejak Inez lagi. Ia berniat melangkah maju, namun suara Rian memberhentikan gerakannya. "Inez, gue suka sama lo udah lama. Tolong ... Kasih gue kesempatan satu kali aja, lo terima gue kali ini. Gue janji bakal buat lo nyaman sama gue." Namanya Inez, Cakra harus mengingat itu. Ia mengangguk mantap. Sementara itu, Rian langsung berlutut dihadapan Inez sambil menyerahkan buket bunga dan tiga batang coklat mahal. Terdengar pekikan terkejut dari siswa-siswi yang berkumpul. Mereka berbisik-bisik, lalu suara mereka semakin keras. "Terima terima terima terima." Cakra menoleh ke kanan kiri, menyapu pandangannya. Lalu sedetik kemudian tatapannya kembali beralih ke arah Inez dan Rian. "Gilaa sih kalo kak Inez nggak terima kak Rian, mereka cocok banget padahal," ujar salah satu siswi di samping Cakra. Cowok itu menyempatkan diri meliriknya sekilas. "Iya sih gue setuju, gue salut juga sama kak Rian yang nggak pernah nyerah buat dapetin kak Inez. Bayangin aja, kak Inez udah nolak kak Rian berapa kali? Lebih dari sepuluh kali deh kayaknya." Sepuluh kali? Cakra terkejut akan informasi itu. Ia masih diam dan memperhatikan aksi drama penuh kebucinan dihadapannya ini. Inez mengeluarkan napas panjang lewat mulutnya, ia menunduk dan menatap malas ke arah Rian. "Udah berapa kali gue harus bilang sama lo ha? Gue nggak suka lo, sampai kapanpun gue nggak mau jadian sama lo. Ngerti sekarang?" "Kasih gue kesempatan Nez, gue bakal lakuin yang terbaik buat lo. Gue sayang sama lo." Inez tersenyum miring, ia tertawa kecil, kemudian melipat tangannya di depan dadaanya. Ia menatap Rian yang kini sudah berdiri lagi. "Sebegitu nggak lakunya lo sampai ngemis ke gue kayak gini? Menyedihkan banget, ya?" "Gue jan— Belum sepenuhnya menuntaskan ucapannya, Rian terdiam ketika Inez menyambar buket bunga ditangannya, lalu melemparkannya dengan kasar ke tanah. Semuanya terkejut melihat aksi yang dilakukan oleh Inez. Termasuk Rian sendiri yang tidak bisa berkata-kata. Cakra juga membulatkan matanya, selain itu banyak siswa siswi yang menutup mulutnya saking terkejutnya. "Gue nggak butuh apapun dari lo, dan gue minta mulai sekarang lo jangan gangguin hidup gue lagi. Gue nggak suka lo, ngerti? Apa perlu gue ulangi sekali lagi biar lo paham, ha?" Inez memberikan Rian tatapan sinis penuh kebencian. Ia mendesis marah, kemudian memutuskan diri untuk menghindar dari sana dan berjalan menuju mobilnya yang terparkir. Namun, belum sempat melangkah menjauh, Rian segera menahannya. "Inez, gue mohon sama lo." "Lepasin gue!" teriak Inez, memberontak minta dilepaskan. Tapi cengkeraman tangan Rian malah semakin kencang. "Gue nggak bakal lepasin sebelum lo terima gue," balas Rian. Inez melotot tidak percaya. "Apa lo bilang? Lepasin nggak?" Inez mencoba melepaskan diri lagi, tapi tentu saja kekuatannya tidak sebanding dengan Rian. Inez terlalu lemah. Ia hanya bisa mengumpat. "Nggak!" "Lepasin gue bangsaat!" "Terima gue jadi pacar lo dulu!" Rian tetap pada pendiriannya, ia tidak mau kalah dari Inez. BUGH! Tiba-tiba saja dari arah samping kiri, Rian diserang tonjokan keras secara tak terduga. Cowok itu langsung terlempar ke samping dan melepaskan tangan Inez. Rian memegangi rahangnya yang berdenyut keras sambil mengumpat dan merintih menahan rasa sakit. "Sekali lagi aku lihat kamu nyakitin cewek, akan kupastikan leher kamu patah! Camkan itu!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD