BAGIAN 11

1036 Words
Cakra berdiri di depan pintu kelas XI IPS 1, punggung lebarnya bersandar ke daun pintu, sementara itu kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Kakinya mengentak berulang kali di lantai. Cakra terperenyak cukup kaget ketika bahunya ditepuk pelan oleh seseorang. Inez, cewek yang sudah Cakra tunggu dari tadi, akhirnya muncul juga. Cakra langsung berdiri tegak dan menyunggingkan senyuman tipisnya. "Mana sepatuku?" tanya Cakra langsung, to the point. Ia tidak mau berlama-lama di sini, rasanya tidak nyaman jika bukan berada di wilayah kelasnya. Sedari tadi Cakra juga mendapatkan tatapan dari siswa lain. Dan jujur, itu sangat menggangu. Cakra harus cepet-cepet pergi dari sini. "Sepatu lo?" Cakra mengangguk cepat. "Aku kemarin juga lupa, kemejaku juga ada di kamu. Sekarang kamu bawa semua, kan?" Kemeja juga? Inez meringis pelan. Dari kemarin ia sudah mencoba mencari informasi dan mengingat tentang sepatu milik Cakra. Namun, hasilnya tetap tidak terlihat. Inez benar-benar lupa bahwa ia pernah bertemu dengan Cakra sebelumnya. Kemeja dan sepatu? Kenapa juga kedua barang itu ada padanya? Inez belum menemukan jawaban yang masuk akal. "Kamu bawa, kan?" tanya Cakra sekali lagi. Ia menatap Inez dengan kening mengerut samar, menunggu jawaban dari cewek tersebut. Inez menatap Cakra, sedikit mendongak karena tinggi badan mereka terpaut cukup jauh. Inez berusaha mengusung senyumannya. Satu tangannya mengusap belakang lehernya. Inez menelan ludah, buru-buru ia melempar pandangan ke samping. "Mampus gue," gumamnya. Kemudian Inez kembali menatap Cakra. Matanya terlihat menutup ketika ia tersenyum lebar. "Gue ada tebak-tebakan cantik buat lo, mau denger?" Wajah Inez terlihat berkali-kali lipat lebih cerah. Cewek itu menyilangkan tangannya didepan dadaa sambil menunggu respons dari Cakra. "Gimana, mau nggak?" "Aku maunya sepatu, bukan tebak-tebakan," jawab Cakra. "Mana sepatu sama kemeja punyaku yang ada dikamu?" tanyanya sekali lagi, tangannya terulur ke hadapan Inez, meminta barang yang sudah ia sebutkan barusan. "Gini, gue punya tebak-tebakan. Kalo jawaban lo benar, gue bakal kasih sepatu sama kemeja lo." Satu alis tebal Cakra naik ke atas. "Harus banget?" "Yup!" Inez tersenyum lebar sembari mengangguk mantap. Cakra membuang napasnya panjang. "Aku nggak ada waktu buat main-main," ucapnya dengan nada sedikit lebih tegas. Cakra memang tidak ada waktu lagi. Ia harus pergi membawa barang-barang miliknya sekarang juga. "Lo nggak mau main?" Inez menantang, kini kedua tangannya bertolak pinggang. Ia sedikit memajukan tubuhnya hingga Cakra secara refleks mundur ke belakang. "Jangan ngulur waktu," sahut Cakra. Inez menyapu pandangannya ke sekitar sambil terkekeh pelan. "Lo takut kalah?" "Nggak." "Ya udah buruan main." "Bentar lagi udah masuk," bantah Cakra. Sebelum Inez membalas ucapan cowok itu, apa yang dikatakan Cakra tiba-tiba terjadi. Bel masuk sudah berbunyi memenuhinya koridor sekolah. Cakra menatap Inez kembali sambil membuang napasnya panjang. Sorot matanya berubah tajam. "Kamu nggak bawa barang yang aku maksud, kan? Nggak usah cari alasan apapun lagi. Aku kasih waktu sampai besok, aku perlu sepatu dan kemejaku lagi. Aku mohon balikin, ya?" Tanpa menunggu apa yang akan Inez katakan, Cakra sudah berbalik badan. Lalu berjalan pergi dari kelas Inez. Cakra masih tidak habis pikir, bagaimana bisa Inez selalu lupa membawa barang-barang miliknya itu? Tidak mungkin Inez lupa, kejadian waktu itu belum lama terjadi. Namun, Cakra langsung menghentikan langkahnya. Ia berpikir sejenak, bola matanya sedikit melotot. Bisa jadi Inez memang benar-benar lupa akan kejadian waktu dirinya mabuk. Ya, tentu saja itu masalahnya. Cakra berbalik badan, ia melihat Inez yang masih berada di tempatnya, berdiri sambil menatapnya. Cakra kembali berjalan ke arah Inez. "Kenapa lo balik ke sini?" tanya Inez merasa bingung sendiri. Tatapannya berubah menjadi bingung. "Jujur sama aku sekarang, kamu ingat kenapa sepatu dan kemejaku ada sama kamu?" tanya Cakra tegas. "Kamu ingat kejadian waktu itu?" "Ha? Maksudnya?" tanya Inez. Mulutnya terbuka setengah. Cakra menghela napas kasar. Jawabannya sudah ketebak dengan mudah sekarang. Pantas saja Inez tidak membawa sepatu dan kemeja yang Cakra minta karena cewek itu tidak ingat sama sekali. Orang mabuk seringnya memang tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya. "Kamu ingat aku?" tanya Cakra lagi, mencoba memancing ingatan Inez. Inez mengangguk. "Lo Cakra, gue ingat lo. Murid baru di sini, kenapa emangnya? Gue nggak sepikun itu." Diakhir kalimatnya, Inez mendengkus kasar. "Bukan ... Bukan itu maksudku," sahut Cakra. Ia menjeda ucapannya sebentar, lalu menatap Inez dan melanjutkan. "Gini, sebelumnya kita pernah ketemu. Kamu ingat?" "Maksud lo?" Inez bertanya lagi. Semakin lama ia semakin bingung dengan apa yang dikatakan oleh cowok dihadapannya ini. "Lo ngomong apa sih dari tadi? Muter-muter mulu." "Kita pernah ketemu sebelum aku sekolah di sini," ucap Cakra dalam satu tarikan napas. Tatapannya melayang cukup tajam. "Kamu mabuk, kamu juga hampir ketabrak mobil, kamu nggak tau jalan pulang dan kamu terlalu mabuk buat bisa menyeimbangkan tubuhmu. Aku di sana, kita ketemu. Dan yang paling nyebelin, kamu minta ..." "Minta apa?" tanya Inez yang sudah penasaran. Ia menyipitkan matanya, memperhatikan Cakra yang terdiam sambil memilin bibir tipisnya yang menurut Inez sangat seksi. Inez memang tidak ingat kejadian itu, tapi ia masih ingat jika beberapa saat yang lalu ia memang berada di bar dan mabuk. "Kamu minta diperkosa," ucap Cakra, melanjutkan kalimatnya yang belum tuntas. Pipinya tiba-tiba memanas, malu sendiri. Tidak mau berlama-lama di sana, Cakra membalikkan badan, berjalan dengan langkah panjang-panjang, ingin cepat-cepat menghindar dari Inez. Ia sungguh malu sudah berkata seperti tadi. "Hei Cakra!" Inez berteriak keras. Tapi Cakra tidak menggubrisnya, langkah cowok itu semakin cepat. Inez memanggilnya sekali lagi, namun hasilnya tetap nihil. Inez menghela napas sambil bertolak pinggang. Ia masih belum mengingat kejadian saat bertemu Cakra saat dirinya tengah mabuk. "Gue minta diperkosa?" Inez bergumam lirih sembari memainkan bibirnya yang diberi lipstick merah. Ia masih bergulat pada dirinya sendiri. Ia meringis, merasa malu sendiri. "Terus kenapa sepatu sama kemeja dia ada di gue?" Inez mondar-mandir di depan kelasnya. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Lalu, tiba-tiba gerakannya terhenti. Ia membelalakkan matanya. "Katanya gue minta diperkosa, terus dia nurutin kemauan gue gitu aja?" Inez menelan ludahnya dengan kasar. "Terus ... Dia minjemin gue bajunya sama sepatu? WHAT!" Inez langsung lemas, kakinya seolah tidak bisa menyokong berat tubuhnya. Inez terhuyung, kemudian terduduk di kursi yang berada di depan kelas. Ia memijit keningnya yang pusing secara mendadak. "Sialaan, gue udah nggak perawan," desisnya. Inez mendongak sambil mengumpulkan napasnya. "Tuh cowok harus tanggung jawab kalo gue hamil. Awas aja kalo lari dari tanggung jawab!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD