BAGIAN 05

1176 Words
Cakra menatap seisi kelasnya dengan pandangan menarik. Diam-diam ia menarik senyuman tipis. Ia rasa ini adalah kelas yang cocok untuknya. Teman-teman barunya terasa hangat dan menyenangkan. Cakra kemudian menoleh sedetik setelah bahunya menerima tepukan dari Zidan, teman sebangkunya. "Iya?" "Mau ikut ke kantin bareng nggak? Tuh anak-anak pada mau ke sana," tawar Zidan kepada Cakra sambil menunjuk sekumpulan para cowok yang sedang berdiri di ambang pintu kelas. Tatapan mereka terarah ke bangkunya, yang Cakra simpulkan sendiri bahwa mereka sedang menunggunya. Cakra meringis sejenak sambil mengusap tangannya. Ia menggeleng pelan. "Duluan aja, aku belum lapar." Kebohongan besar yang Cakra ungkapkan pagi ini. Ia tentu saja lapar, bahkan cacing-cacing diperutnya sudah kelabakan minta disuapi makanan. Hanya saja Cakra bukan tipe orang yang mudah bergaul dengan orang lain. Ia perlu waktu untuk ini. Semoga saja Zidan dan teman-temannya yang lain bisa mengerti. "Yakin lo nggak mau ikut?" Mengangguk singkat, Cakra kembali menatap Zidan. Pendiriannya kuat, sekali bilang tidak, Cakra akan terus teguh. "Iya." "Oke, gue tinggal, ya?" Zidan menepuk pundak Cakra beberapa saat. Ia tersenyum tipis dan mulai bangkit dari duduknya, berjalan menuju teman-temannya. Sepeninggalan mereka, Cakra tetap duduk dibangkunya. Tatapannya beralih ke arah jendela yang langsung memperlihatkan pandangan di luar. Kelas Cakra berada di lantai dua. Ia mendesah panjang dan menyandarkan punggungnya ke kursi. Entah kenapa ingatannya tiba-tiba mengarah ke arah cewek tadi pagi, cewek yang sudah menolongnya mencari kelasnya tanpa diminta. Cakra yakin ia pernah melihatnya, tapi Cakra tidak ingat sama sekali kapan dan di mana tempatnya. Pusing sendiri, Cakra mengacak rambutnya. *** "Duh Inez, buruan dong ah!" Ghea tidak berhenti mengomel. Sudah sepuluh menit Inez berkutat dengan alat make-up padahal siswa hanya diberi waktu lima belas menit untuk istirahat. "Bentar, tinggal make lipstik," ujar Inez jujur, tanpa merasa bersalah karena Ghea sudah menunggunya. Cewek itu kini mengambil cermin kecil yang selalu ia bawa ke mana-mana, lalu membubuhkan lipstik berwarna nude ke bibirnya. Ghea berdecak jengkel dan melipat kedua tangannya didepan dadaa. "Kita cuma mau ke kantin Inez, bukan mau pergi kencan buta! Buruan dong, bisa-bisa waktunya habis. Tinggal lima menit lagi astaga." "Sabar, bentar lagi Ghea sayang." Inez tersenyum lebar. "Gue lupa maka softlens tadi pagi karena buru-buru, kasih gue waktu beberapa menit doang." "Alasan mulu lo ah dari tadi," omel Ghea lagi. Ia tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. "Tadi ngomongnya tinggal make lipstik, sebelumnya ngomong cuma make eyes shadow, sekarang pake softlens segala. Habis ini jangan ngomong lo mau catok rambut lo biar bergelombang?!" "Emang iya." "What?!" Ghea berteriak kencang sambil mengebrak meja. Gerakan super sarkasnya itu membuat Inez menatapnya dengan sorot mata sebal. "Nggak usah berlebihan gitu responnya," protes Inez seraya memutar bola matanya. "Bentar lagi gue selesai, orang sabar pahalanya gede, disayang Tuhan pula. Ingat kata-kata itu biar lo nggak ngomel mulu." "Nungguin lo dandan sampe waktu istirahat habis gini mana bisa gue sabar Inez?! Nyebelin lo. Nggak usah dandan, lo udah kelihatan cantik." "Biar lebih cantik." "Terserah lo deh," putus Ghea akhirnya, ia pasrah dan langsung duduk lagi dikursinya. Ia menghindari tatapan Inez, ia lagi malas berdebat lagi, lagipula beberapa menit lagi sudah bel masuk pergantian pelajaran. Tidak ada gunanya kalau sekarang pergi ke kantin. Mana sempat, keburu telat. "Ghea?" panggil Inez lirih. Ia menepuk pundak sahabatnya tapi Ghea langsung menepisnya. Inez sudah selesai berkutat pada alat make-up nya. Inez mendesah panjang. "Lo marah?" "Nggak." Inez menunduk, melihat jam di pergelangan tangannya. Ia membulatkan mulutnya, pantas saja Ghea merajuk seperti ini. "Iya sori gue yang salah. Maafin gue, ya?" Ghea diam, memilih fokus pada buku dihadapannya. Inez tidak mau Ghea terluka ataupun menghindar seperti ini. Bagaimanapun juga Inez selalu bergantung kepada Ghea. Hanya kepada Ghea-lah Inez merasa nyaman. Inez tidak mau kehilangan sahabat terbaiknya. Inez tersenyum tipis dan merangkul pundak Ghea lagi. Kali ini lebih erat agar Ghea susah untuk menepisnya. "Hei, dengerin gue dulu." "Minggir ah, gue mau belajar," ujar Ghea tanpa menatap wajah Inez. Tapi Inez tidak menurut, ia justru malah mengeratkan rangkulannya, selanjutnya menutup secara paksa buku yang sedang Ghea baca. "Lo udah pinter, jangan baca buku terus. Dengerin gue dulu." Ghea membungkamkan mulut. "Waktu istirahat udah habis, kita nggak bisa pergi ke kantin," ucap Inez. "Iya, gara-gara lo!" balas Ghea sebal dengan nada suara jengkel. Inez membenarkan, memang faktanya seperti itu. Cewek itu lantas mengangguk mantap. "Tapi masih ada istirahat ke dua, kan?" "Kenapa emangnya?" Senyuman manis semakin menghiasi wajah Inez. Lesung pipitnya langsung terlihat dengan jelas. Cewek itu kemudian menarik kursi agar lebih dekat dengan Ghea. Setelah itu, Inez mengangkat jari kelingkingnya. "Gue bakal traktir lo sepuasnya makan di kantin, beli apapun yang lo mau. Lo nggak perlu cemas, gue yang bakal bayar semuanya." Ghea menyipitkan matanya, menatap penuh selidik kepada Inez. "Terus?" "Janji dulu jangan marah sama gue, terus jangan lupa kasih gue sontekan ulangan matematika sebentar lagi. Setelah itu lo bakal traktir gue sepuasnya." Ghea berpikir sejenak. "Itu doang?" "Lo mau sesuatu?" Menganggukkan kepala, Ghea tersenyum penuh arti. "Nanti malam lo bisa ke rumah gue?" "Kenapa emangnya?" "Bisa nggak?" Sempat ragu sejenak, tapi Inez tetap mengangguk. "Oke, gue bakal luangkan waktu buat lo nanti malam. Jadi deal maafin gue kali ini?" Tidak perlu pakai kata-kata, Ghea segera menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Inez. "Deal!" *** Hari pertama menjadi siswa baru di sekolahnya membuat Cakra pulang lebih lambat dari para siswa yang lain. Cowok itu diminta untuk menemui pak Handoko di ruang Bimbingan Konseling. Setengah jam di tempat yang menurut para siswa adalah tempat sarang setaan, akhirnya Cakra bisa keluar dari sana. Cakra hanya dijelaskan hal-hal apa saja yang tidak boleh dilakukan di sekolah ini dan segala konsekuensinya apabila Cakra berani melanggar aturan dan ketentuan yang sudah diberlakukan. Hanya itu, selebihnya ia diminta untuk giat belajar. Berlari cepat menuju parkiran sekolah, Cakra langsung mengambil sepedanya dan mengayuhnya dengan gerakan cepat. Ia sudah terlambat pergi ke sebuah restoran untuk bekerja. Hanya kepada Cakra neneknya bergantung soal keuangan, mereka tidak memiliki keluarga lain. Setelah sampai di restoran tempat ia bekerja, Cakra langsung masuk lewat pintu belakang. Dan siaalnya, Cakra langsung dihadapkan dengan bos-nya yang sedang berdiri sambil menatapnya tajam, kedua tangannya bertolak pinggang. Laki-laki berpakaian jas licin dan rambut klimis dihadapkan Cakra lantas mengomel. Membuat Cakra mendesah panjang. Ini memang salahnya. "Kamu terlambat empat puluh lima menit Cakra, ke mana aja barusan?! Pelanggan rame banget hari ini dan semuanya keteteran." "Maaf bos," jawab Cakra seadanya. Ia menunduk sambil memainkan jari-jarinya. Cakra tidak berani menatap wajah bos-nya yang sedang marah seperti ini. Bukan hanya dirinya saja, semua karyawan pun akan sama takutnya dengan Cakra jika sudah dihadapkan dengan pemilik restoran yang memang sudah terkenal ini. "Buruan kerja!" Bos-nya membentak lagi, kali ini disusul oleh sebuah map yang mendarat di kepala Cakra. "Baik bos." Cakra pun langsung melesat pergi, mungkin kali ini ia sedikit beruntung karena bos-nya tidak terlalu marah kepadanya, pelanggan yang memadat mungkin adalah salah satu faktornya. Cakra langsung berganti pakaian dan memakai apron hitam yang sudah disediakan. Ia bergerak gesit menghampiri mbak Ina, salah satu pegawai di restoran ini. "Ada yang bisa dibantu mbak?" tanya Cakra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD