Teringat akan sepatunya yang masih berada di cewek mabuk waktu itu, Cakra berniat pergi ke rumahnya karena ia butuh sepatu miliknya. Karena sepatu miliknya yang sedang ia pakai sekarang sudah jebol dan sedikit sesak. Untung saja ingatan Cakra cukup tajam, ia masih ingat di mana letak rumah mewah milik cewek itu. Cakra harus pergi ke sana sepulang kerja nanti.
Jam setengah sepuluh malam Cakra sudah bisa keluar dari restoran tempatnya bekerja. Ia segera melaju dengan sepedanya menuju rumah cewek mabuk itu. Cakra tidak kenal namanya siapa. Dan semoga sepatu miliknya itu tidak dibuang.
Ya, bisa jadi. Cewek itu sudah jelas anak orang kaya, terlihat dari cara berpakaian dan rumahnya yang besar itu. Kemungkinan sepatu Cakra akan dihempas begitu saja. Jelas berbeda sepatu orang kaya dengan sepatu miliknya itu.
Cakra turun dari sepedanya setelah ia hampir sampai. Cakra memutuskan untuk menuntun sepedanya.
"Semoga sepatuku nggak dibuang di sungai atau lebih buruknya dibakar." Cakra bergumam, napasnya terhela panjang. Ia kembali memfokuskan tatapannya ke arah depan, sebelum akhirnya ia berhenti secara mendadak.
"Cewek mabuk?" Cakra berseru kaget, matanya terbelalak ketika melihat cewek waktu itu memasuki sebuah mobil. Kemudian mobil itu melaju dan melewatinya.
Cakra lantas berbalik badan. "Hei kamu, kembalikan sepatuku!" serunya kencang dengan kedua tangan disekitar mulutnya membentuk corong. Tapi sayang, cewek mabuk itu tidak mendengarnya. Cakra menghela napas panjang dan menunduk. Ia pasrah malam ini tidak mendapatkan sepatu itu dan besok harus mengenakan sepatu jebol itu lagi.
Barusan Cakra memang tidak melihat tampang wajah cewek itu karena jaraknya terpaut sekitar sepuluh meter. Tapi Cakra bisa menebak bahwa yang naik mobil silver tadi adalah memang cewek mabuk waktu itu. Alasannya masuk akal, karena dia keluar dari gerbang rumah tujuan Cakra kali ini.
Tidak ada pilihan lain, Cakra lantas putar balik dan memutuskan untuk pulang ke rumah neneknya.
Sesampainya di rumah, Cakra langsung membuka kamar neneknya. Tidak heran jika neneknya sudah tidur karena hari sudah berganti malam. Cakra membuka pintu lebih lebar lagi, kemudian ia tersenyum kecil.
Cakra berjalan mendekati ranjang, lalu mengambil selimut di lemari kayu yang sudah dimakan rayap. Udara malam ini cukup dingin. Cakra lantas menyelimuti tubuh ringkih neneknya.
"Selamat malam nek, semoga mimpi indah." Cakra berucap lirih, setelah itu ia mendekatkan wajahnya ke arah wajah nenek dan mencium kening neneknya dengan lembut dan hati-hati.
"Cakra sayang nenek," lanjut Cakra lirih.
Cakra kemudian mematikan lampu dan keluar dari kamar neneknya. Ia menghela napas panjang dan memutuskan untuk mandi. Tubuhnya terasa lengket. Cakra sungguh lelah, belajar di sekolah dan langsung nyambung ke pekerjaannya tentu saja membuat tenaganya terkuras habis. Sumber penghasilan Cakra hanya berasal dari kerja paruh waktu menjadi pelayan disebuah restoran saja. Cakra berdoa, semoga saja tidak ada kejadian buruk di tempatnya bekerja yang akan membuatnya angkat kaki dari sana.
Ya, keinginan Cakra hanya itu. Tidak lebih.
***
Inez berdecak kesal ketika ponselnya yang berada di dashboard mobilnya berbunyi tanda ada seseorang yang menelpon. Ia paling tidak suka masa-masa seperti ini, berkendara sambil berbincang dengan orang di telepon. Inez tidak mau fokusnya terbagi. Cewek itu sudah kapok karena dulu ia pernah hampir menabrak pedangan bakso yang melintas karena asik berteleponan.
Padahal ia sudah mengabaikan ponselnya yang terus berbunyi, tapi si penelepon sepertinya tidak menyerah sebelum Inez menerima panggilannya. Sepenuhnya terpaksa, akhirnya Inez menanggapi. Ia membawa benda pipih tersebut ke arah daun telinganya.
"Inez, lo di mana sih? Lama banget nyampenya, gue udah nunggu lo dari tadi nih. Lo melenceng dari jam janjian kita!"
Suara cempreng Ghea langsung menyambut, membuat Inez langsung menjauhkan ponselnya dari telinganya. Bukannya menyapa baik-baik, Ghea malah mengomel. Tentu saja Inez kesal dengan hal itu. Bibir Inez sudah mendecak kesal.
"Bentar lagi gue nyampe, sabar dong!" Inez menjawab ketus.
"Berapa menit lagi kira-kira?"
"Sepuluh menit lagi gue, sabar dong lo."
"Oke, sepuluh menit ya gue tunggu. Awas aja kalo lebih."
"Lah ... Lo kok ngancem gue sih?" tanya Inez dengan bibir berdecak kesal.
"Ya makanya cepat!" Ghea sudah tidak sabar, membuat Inez berkali-kali menghela napas panjang. Sebenarnya ada apa sih sampai Ghea memintanya pergi ke rumahnya? Jika bukan semata-mata untuk membalas kebaikan Ghea yang susah memberikan sontekan waktu ulangan dan Ghea yang merajuk padanya di sekolah tadi, sudah dipastikan Inez akan ogah-ogahan datang malam-malam seperti ini ke rumah sahabatnya itu.
"Gue tutup dulu, lagu nyetir nih takut ada apa-apa. Bye!" Tanpa menunggu sebuah balasan dari Ghea, Inez sudah menutup panggilan tersebut secara sepihak. Bodo amat!
Kejadian berikutnya setelah itu, barulah Inez tahu kenapa Ghea menyuruhnya datang malam ini. Rupanya, Ghea menjadikan Inez alasan agar tidak bertemu keluarga besarnya yang sedang berkumpul. Tentu saja Inez malu bukan main ketika bertemu keluarga besar Ghea. Inez sudah menebalkan wajahnya berusaha untuk bersikap sopan.
Ghea sungguh menyebalkan sudah memperalat dirinya. Mengajak teman yang sedang berkumpul dengan keluarganya untuk main sangatlah memalukan.
"Nyebelin lo!" Inez langsung mengomel ketika keluar dari rumah Ghea. Ya, mereka berhasil keluar dari rumah dengan membawa segudang perasaan malu. Terutama Inez sendiri.
"Hehehe ..." Ghea hanya nyengir kuda.
Tatapan Inez kepada Ghea berubah semakin sinis. "Gue yang malu babon! Tau kalo gini, gue nggak bakal datang sumpah!"
"Maka dari itu gue nggak ngomong sama lo waktu lo tanya ada apa. Udahlah yang penting gue bebas dari rumah."
"Kenapa emangnya sama keluarga besar lo?" Inez memutuskan untuk melupakan rasa malunya itu. Ia tidak mau mengingatnya lagi.
"Males gue ketemu sama mereka. Gue sebel kalo ditanya ini itu, berasa kayak diwawancarai anjir. Belum lagi kalo ditanya soal masa depan lah, mau jadi apa lah, soal sekolah lah, lanjut kuliah di mana lah, pacar lah, seputar dunia gue deh intinya. Sebel tau."
"Sama sih," balas Inez mengangguk. Ia juga akan sebal jika berada diposisi Ghea saat ini.
"Nah itu! Lo juga tau, kan? Gue juga nggak kuat kalo lihat muka para sepupuh gue yang glow up banget. Insecure parah gue. Apalagi lihat sepupu gue yang ganteng-ganteng itu. Bisa naksir gue lama-lama. Kenapa sih yang ganteng harus jadi sepupu? Jadi males gue."
Inez geleng-geleng kepala sambil tersenyum kecil mendengar omelan Ghea, sebelum akhirnya ia masuk ke dalam mobilnya lagi, disusul oleh Ghea yang duduk di sampingnya.
"Terus kita mau ke mana nih?" tanya Inez.
"Terserah deh yang penting jangan balik cepet, oke?"
"Nonton bioskop aja kalo gitu, setuju?"
Ghea menimang sesaat. "Boleh deh, tapi jangan film horor ya?"