Bel masuk berbunyi dengan suara keras, membuat semua siswa mendesah kecewa. Padahal saja mereka masih ingin menatap murid baru yang gantengnya minta ampun itu. Terpaksa, para cewek-cewek itu pun membubarkan diri dan pergi ke kelas masing-masing.
"Ayo balik ke kelas!" ucap Ghea sambil menarik tangan Inez. Inez belum juga bergerak, membuat Ghea kembali menyorot ke arah sahabatnya. "Nez, lo denger bel bunyi, kan?"
"Gue denger," sahut Inez seraya melirik Ghea seperkian detik, selebihnya ia kembali memusatkan seluruh perhatiannya kepada murid baru itu.
"Nah itu, ayo buruan."
"Lo duluan aja dulu," balas Inez. "Gue ada perlu sebentar sama tuh cowok." Dagu Inez menunjuk ke arah murid baru tersebut.
Ghea melotot mendengar pernyataan Inez. Ia yang paham apa yang akan dilakukan Inez setelah ini hanya terbengong tidak yakin. "Lo beneran Nez? Murid baru itu?"
"Kenapa? Nggak boleh? Siapa yang ngelarang emangnya? Nggak ada, kan?" Inez memicingkan matanya menatap Ghea. Tangannya masih setia terlipat di depan dadaanya.
"Ya nggak ada sih," ucap Ghea kikuk. Ia meringis dan menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal sama sekali. "Kalo gitu gue balik ke kelas dulu deh, good luck Nez!" Setelah selesai berbicara, Ghea buru-buru berbalik badan, kemudian berlari kecil menuju kelasnya. Sesekali ia menoleh ke belakang menatap Inez yang sudah berjalan.
Dengan gestur tubuh percaya diri, Inez tidak melepaskan senyumannya. Langkah kakinya semakin cepat membawanya mendekati murid baru itu. Sekarang, posisinya sudah lebih dekat. Inez berhenti beberapa detik dan melihat jika murid itu nampak kebingungan.
Inez tersenyum, lalu mulai berjalan kembali dan mendekati murid baru tersebut. Sesuatu menarik perhatian Inez, membuatnya langsung bergerak lebih cepat. Inez menyerobot sebuah kertas kecil yang berada ditangan cowok itu.
"Hei!" Cowok itu berseru kaget ketika Inez berdiri dihadapannya sambil membawa kertas kecil yang ia pegang. Cowok itu lalu terdiam sambil menatap Inez tidak mengerti.
Inez mendongak, lalu tersenyum. "Sebelas IPA 2, lo lagi cari kelas ini?" Alis Inez menukik satu ke atas sembari mengangkat kertas kecil ditangannya. Sementara cowok itu masih terdiam dan memperhatikan wajah Inez. Ia seperti mengenali Inez, tapi tidak ingat kapan dan di mana ia pernah bertemu.
"Hallo? Gue lagi ngomong sama lo," ujar Inez dengan akses suara keras. Ia mengibaskan tangannya di depan wajah cowok itu.
Mengerjap pelan dan mengatur napas, cowok itu berpikir sejenak. "Ha?"
"What?!"
Cowok itu terlonjak kaget ketika Inez berkata cepat dan keras. Ia mengedipkan matanya berulang kali, tidak mengerti.
"Lo nggak denger gue ngomong apa?" tanya Inez, jari telunjuknya yang dikutek berwarna biru laut, menunjuk dirinya. Matanya membelalak.
Cowok itu menggeleng lugu. Membuat Inez mendesah panjang. "Ikut gue buruan."
"Ke mana?"
"Neraka," jawab Inez asal. Ia sudah berniat berbalik badan, sebelum akhirnya mengurungkan niatnya tersebut ketika cowok itu merespons.
"Ha?"
Inez menahan napas sejenak. "Ke kelas lo, gue bakal anterin lo ke kelas. Kurang baik apa lagi gue sama lo? Dari tadi gue tau kalo lo bingung kan cari kelas?"
Cowok itu masih saja diam.
"Bener, kan tebakan gue?"
Tidak mau memperpanjang urusan, cowok itu hanya mengangguk. Tidak sepenuhnya salah, ia memang sedang bingung dengan keberadaan kelasnya, walaupun sebenarnya tujuannya sebelum mendengar bel berbunyi adalah mencari kantin. Perutnya lapar, minta diisi.
"Cakra?" Inez bergumam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. "Nama lo cukup bagus, lumayan disandingkan sama muka lo."
"Tau namaku dari mana?" Cowok itu menatap Inez bingung. "Kamu cenayang, ya?"
"Name tag lo!" balas Inez singkat, sebelum akhirnya ia membalikkan badan. Ia berjalan terlebih dahulu.
Cakra merasa bodooh sendiri, ia meringis beberapa saat. Tangannya bergerak untuk menggaruk alisnya yang tebal meskipun tidak gatal. Harusnya ia tahu kalo cewek itu bisa melihat name tag-nya, tapi Cakra tidak berpikir sampai sana.
"Kenapa lo masih diam di situ? Nggak mau masuk ke kelas?"
Cakra langsung mendongak, ia pun buru-buru mengejar Inez dan berjalan bersisihan dengan cewek itu. Sesekali Cakra curi-curi pandang ke arah Inez. Bukan bermaksud untuk cari kesempatan, hanya saja Cakra sepertinya tidak asing dengan Inez. Ia bergulat dengan pikirannya sendiri memikirkan hal itu.
Mungkin perasaan aku aja, gumam Cakra dalam hati. Kedua bahunya terangkat ke atas.
"Ini kelas lo," ujar Inez setelah berhenti di sebuah pintu kelas dengan papan bertuliskan XI IPA 2.
Cakra mengangguk sekilas. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia lantas berjalan melewati Inez dan masuk ke dalam kelas yang akan menampung dirinya.
Inez membelalakkan matanya. "Hei lo!"
Cakra berhenti melangkah di ambang pintu, ia membelokkan pandangannya ke arah Inez, ia rasa cewek itu memanggil namanya. Dahi Cakra mengerut bingung, ia menunggu Inez mengucapkan kalimat.
"Lo nggak mau ngucapin terima kasih sama gue?" tanya Inez.
"Makasih." Cakra tersenyum tipis, kemudian kembali melanjutkan langkah kakinya, membuat Inez melotot tidak percaya. Kaki cewek itu mengentak kesal.
"Nyebelin lo!" Inez mengentakkan kakinya ke lantai. Sorot matanya yang sudah berubah setajam silet menatap ke arah kelas yang ditempati Cakra. Cowok itu benar-benar menyebalkan.
Tidak mau lama-lama berada di sana, ditambah bel yang berbunyi beberapa menit yang lalu, menandakan jika kelas sudah dimulai, membuat Inez mengeluarkan napas panjang dan berjalan menuju kelasnya membawa perasaan dongkol.
Sesampainya di kelas, sudah ada guru bahasa Indonesia selaku materi jam pertama. Untung saja Inez pandai memainkan peran, jadi mudah saja ia mencari alasan soal keterlambatan dirinya yang masuk. Dan berhasil, Inez diijinkan untuk duduk dibangkunya.
Mendongak cepat dan menoleh ke samping, Ghea mengembangkan senyuman. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Inez. "Gimana soal rencana lo?" bisiknya.
Inez menatap Ghea dengan wajah datar, lantas ia mendengkus kesal dan membuang muka. Ghea mengerutkan keningnya melihat ekspresi sahabatnya itu.
"Nez, jawab dong!" Ghea mendesak, posisi tubuhnya sekarang lebih condong ke arah Inez. Ia ingin tau. "Gimana? Lo gagal, ya?"
"Nyebelin lo, sana jauh-jauh." Inez melempar tatapan sinis ke arah Ghea sembari mengibaskan tangannya.
Bibir Ghea langsung mengerucut ke depan. "Gue cuma pengin tau Nez, masa sih nggak boleh?"
"Lagi pelajaran anjir, lo mau dikeluarin dari kelas, terus dihukum sambil hormat bendera di lapangan? Mau nggak? Enggak kan?"
"Sejak kapan juga lo jadi semangat merhatiin pelajaran gini. Biasanya juga bodo amat," sahut Ghea tidak mau kalah. Sambil meletakkan kembali posisi kacamatanya yang merosot, cewek itu mendesah panjang, hingga akhirnya kembali berbicara. "Oke, lo nggak mau jawab, kan? Jangan harap dapet sontekan matematika punya gue. Habis ini ulangan kalo lo lupa."
"Ulangan?" Inez mengerjapkan matanya sebanyak tiga kali. Raut wajahnya berubah menjadi serius. "Kok gue nggak tau?"
"Udah nggak heran itu mah, kapan lo ingat ada tugas atau ulangan? Nggak pernah sama sekali," ujar Ghea sambil memutar bola matanya. "Maka dari itu gue heran waktu tadi lo ngomong mau fokus pelajaran."
"Lo ngancem gue?" Inez sadar, bahwa dirinya tidak ada apa-apanya tanpa bantuan Ghea. Sahabatnya itu memang termasuk salah satu siswa terpintar di kelasnya. Oleh karena itu Inez tidak pernah meragukan Ghea dan bergantung kepada Ghea. Bisa jadi bencana besar kalau sampai Ghea tidak membantunya saat ulangan nanti.
Ghea mengendikkan bahunya. "Lo tau sendiri jawabannya."
Inez memutar bola matanya sebal. Napasnya terhembus panjang. "Oke, gue bakal cerita."
"Nah gitu dong dari tadi!" tutur Ghea semangat. Senyumannya mengembang lebar hingga deretan giginya yang tertata rapi terlihat.
"Gue belum nyoba nembak tuh cowok. Gue sempat ragu tadi. Lo tau nggak? Tuh cowok lempeng banget, dibilang ganteng gue sih akui itu. Dia nggak ngejak gue ngobrol sama sekali waktu gue anterin dia ke kelas. Nyebelin lah intinya, kaku banget tuh cowok."
"Terus?" lanjut Ghea.
"Entah kenapa, gue kayak nggak asing sama suara dia. Tapi gue baru pertama kali ketemu kali ini doang."
Ghea mengangguk paham. "Terus lo sendiri gimana?"
"Gimana apanya?" tanya Inez balik, satu alisnya naik.
"Ck, lo bakal ngejar tuh cowok nggak? Kayaknya nggak asik kalo lo sampe jadian sama orang kaku. Lo kan pecicilan."
"Resek lo ah!" Spontan saja Inez menyenggol lengan Ghea, sedangkan Ghea hanya terkekeh pelan.