BAGIAN 08

1089 Words
Cakra sudah tidak ingat seperti apa tampang wajah ayah kandungnya. Kata neneknya, ayahnya adalah orang yang baik dan dermawan, hidupnya sederhana dan tidak suka hal-hal yang berlebihan. Tapi sayang, Cakra tidak bisa mengandalkan ingatannya. Ayahnya meninggal sebelas tahun yang lalu, sewaktu Cakra masih berumur enam tahun karena kecelakaan. Cakra benar-benar tidak memiliki memori apapun tentang ayahnya. Yang Cakra ingat adalah ketika ibunya menikah lagi dengan laki-laki kaya ketika Cakra duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar. Ia ingat betul hari itu. Hari dimana ia mendapatkan ayah dan saudara baru. Awalnya memang terasa menyenangkan, namun tidak setelah ibunya meninggal karena kanker otak. Sejak saat itu hidup Cakra berubah drastis, apalagi ketika ayah tirinya pergi dengan anaknya tanpa membawa Cakra. Cakra tersisihkan, ia seperti barang yang sudah tidak butuhkan lagi. Ayah tirinya itu menyerahkan Cakra pada neneknya. Dan hari ini Cakra tidak menyangka bahwa ia dipertemukan dengan saudara tirinya di parkiran sekolah tadi setelah tidak bertemu kurang lebih selama ... Entahlah, Cakra tidak ingat kapan terakhir Cakra bertemu dengan saudara tirinya tersebut. Tapi yang pasti, itu sudah sangat lama. Hubungan Cakra dengan saudara tirinya itu memang tidak bisa dibilang baik-baik saja. Mereka saling bermusuhan dari dulu. "Hei, ngelamun aja lo dari tadi." Sebuah suara disusul tepukan cukup keras dibahunya membuat Cakra tergelak. Mengerjapkan mata pelan, Cakra menoleh kepada Zidan yang sedang menatapnya bingung. "Ha?" "Lo kenapa ngelamun? Mikirin soal lo yang berantem sama kakak kelas di parkiran tadi pagi?" tanya Zidan. Cakra menghela napas panjang, kemudian mengangguk pelan. Berbohong tidak ada gunanya untuk saat ini. Cakra memang sedang memikirkan hal itu. "Makan tuh, mampus!" Cakra membelalakkan matanya. "Lagian lo buat apa sih berantem sama dia? Mau jadi jagoan di sini? Berantem di ring tinju aja sana." Cakra tidak berniat membalas ucapan Zidan. Ia malas menjelaskan sesuatu. Cowok itu memilih berdiri dari duduknya, lalu berjalan keluar dari kelas dengan langkah tergesa-gesa. Cakra ingin menenangkan diri di manapun itu, asalkan tidak ada orang lain yang mengganggunya. Dan perpustakaan adalah tempat yang pertama kali tercetus dikepalanya. *** Penuturan dari Ghea membuat Inez langsung tersedak kuah bakso. Ia terbatuk beberapa saat, kemudian langsung menenggang es jeruk miliknya dengan buru-buru. "Apa tadi lo bilang?" Inez kembali bertanya, memastikan bahwa telinganya masih berfungsi dengan baik. Ia fokus menatap Ghea yang sedang menelan baksonya. "Kak Rian berantem sama anak baru itu," jawab Ghea jujur. Inez melotot, terkejut akan informasi tersebut. "Tau dari mana lo? Kapan berantemnya?" "Banyak yang ngomongin ini," ujar Ghea, satu bola bakso kembali dimasukkan ke dalam mulutnya. Cewek berkacamata itu kembali berbicara. "Katanya sih di parkiran, tapi gue nggak tau juga. Gue nggak lihat kejadiannya." Mendadak Inez tidak berselera untuk makan bakso. Ia menunduk sambil membayangkan Cakra yang adu jotos dengan kakak kelasnya. Inez tahu betul Rian itu orangnya seperti apa. Pendendam dan berkuasa. Rian menjadi orang yang paling ditakuti di sini. Inez pernah ditembak oleh Rian ketika masih kelas sepuluh, tapi Inez menolak mentah-mentah. Ia tidak suka cowok itu. Walaupun tampangnya memang oke dan gayanya keren. Namun hal itu tidak menjamin bahwa Inez akan luluh. Bahkan sampai saat ini pun, Rian masih mendekatinya secara terang-terangan. Dan sebenarnya, ada alasan lain dibalik itu semua, tapi Inez memilih untuk diam saja dan akan membahas diwaktu yang tepat. "Apa yang membuat mereka berantem?" tanya Inez pelan, kembali memperhatikan Ghea yang tahu-tahu mangkuk baksonya sudah habis tak bersisa, lain dengan punya Inez yang masih penuh. "Nggak tau sih kalo soal itu." Ghea mengendikkan bahunya cuek. "Tapi katanya anak baru itu yang mulai duluan mukul perut kak Rian. Terus kak Rian marah-marah, tapi tuh anak baru langsung pergi gitu aja. Gue sih nggak tau kebenaran informasi itu." Inez mengangguk paham. "Nggak mungkin dia mukul kalo nggak ada alasan." Ghea memperhatikan sekitarnya, lalu mulai mendekatkan wajahnya ke arah wajah Inez. Ia berbisik lirih, "lo udah naksir ya sama anak baru itu?" Kepada Ghea, Inez tidak pernah menutupi apapun. Ia akan berbicara jujur seperti apa yang hatinya katakan. Inez percaya Ghea. Oleh karena itu apapun akan ia ceritakan kepada sahabatnya itu. "Iya, gue udah suka sama dia sejak ketemu pertama kali," sahut Inez jujur. "Wow!" Ghea membuka mulutnya sambil menatap Inez tidak percaya. "Serius Nez lo udah suka? Terus kak Rian mau lo ke manain?" "Gue nggak suka dia!" Inez melotot dan menggertakkan giginya kesal. Ia merotasikan bola matanya. "Buat gue aja deh kalo lo nggak suka kak Rian," canda Ghea sambil terkekeh. Namun Inez malah menanggapinya secara serius. "Angkut aja deh, gue nggak butuh." "Cogan disia-siain, nyesel lo entar. Kak Rian kayaknya udah naksir berat tuh sama lo. Lo bayangin sendiri aja deh, perjuangan kak Rian buat lo nggak pernah surut dari dulu. Dia nggak pernah lelah buat dapetin hati lo. Cewek mana coba yang nggak mau digituin?" "Gue nggak mau," balas Inez sinis. "Sekali-kali aja deh Nez lo pikirin mateng-mateng, atau seenggaknya buka sedikit hati lo buat kak Rian. Kalo lo ngerasa cocok, ya terusin aja. Kalo nggak cocok tinggal minta putus. Gimana saran gue? Boleh dicoba tuh." "Nggak!" Bibir Ghea mencebik. "Terserah lo deh, pusing gue. By the way itu bakso lo kenapa nggak dimakan?" Inez menurunkan pandanganya, menatap bakso yang masih tersisa banyak. Napasnya terhela kasar. "Udah nggak minat lagi, lo mau?" "Buat gue?" Bola mata Ghea terlihat berbinar. "Iya, habisin aja." "Siniin, gue masih laper nih." Menurut apa yang dikatakan oleh sahabatnya, Inez menggeser mangkok bakso miliknya sampai ke hadapan Ghea. Ghea nampak kegirangan. Sedangkan Inez langsung menatap Ghea takjub. Bisa-bisanya perut Ghea muat dua mangkok bakso. Inez geleng-geleng kepala, tidak habis pikir. "Nez?" "Hmm." "Apa yang lo suka dari anak baru itu?" Sambil mengunyah baksonya lagi, Ghea memperhatikan Inez yang sedang berpikir. "Nggak tau, suka aja." "Ya nggak gitu dong! Masa sih nggak punya alasan." "Gue sendiri juga masih bingung, tapi entah kenapa gue yakin kalo perasaan gue buat dia tuh ada dihati gue. Waktu pertama kali lihat, gue kayak udah feeling kalo gue cocok sama dia." "Cocok sih cocok, dia ganteng, lo-nya juga cantik. Tapi apa yakin lo secepat itu jatuh cinta? Lo baru pertama kali ketemu dia tuh." "Tanya aja nih sama hati gue kenapa bisa suka sama tuh cowok secepat ini. Dan lo harus tau ya Ghe, ini belum tahap cinta, cuma masih suka aja. Bagi gue tuh cowok .... Menarik." "Menarik?" Ghea menatap Inez sambil memicingkan matanya. "coba jelaskan bagian mana yang menarik perhatian lo?" "Walaupun gue belum kenal dia lebih jauh, tapi gue yakin orangnya baik. Gitu deh pokoknya, lo nggak bakal ngerti." "Lo udah tau namanya siapa?" Inez mengangguk mantap sambil tersenyum lebar. "Cakra."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD