4. Hukuman

1050 Words
"Jadi, lo ngapain di sini?" Angkasa dengan tidak tahu malunya langsung duduk di sebelah Raya yang masih menatapnya datar. "Penting banget ya, gue ngasih tahu lo?" Jawaban Raya membuat Angkasa bungkam telak. Ini cewek kok kalo ngomong gak pernah disaring sih? Pinter banget bikin gue mati kutu. Raya langsung meliriknya tajam. "Emangnya lo pikir, lo kalo ngomong suka disaring? Enggak kan?" Seketika atmosfer berubah. Angin berembus cukup kencang, entah hanya perasaan Angkasa saja atau memang ada sesuatu. Lelaki itu diam-diam melirik Raya yang masih menatapnya. "Lo ngira gue hantu. Dan itu gak cuma sekali dua kali." Glek! "Ah, ngarang lo!" protes Angkasa tidak terima. Lelaki itu langsung berdiri dari tempatnya dan menunjuk wajah Raya dengan telunjuknya. "Lo pasti bukan manusia kan?!" What the— Sebelah alis Raya tertarik ke atas. "KALIAN!" Keduanya tersentak dan langsung menoleh ke arah sumber suara. Seorang pria berkumis tebal tengah memelotot dengan kedua tangan yang bertengger di pinggang. "Pacaran kok di bawah pohon beringin." Pria yang merupakan salah satu Guru BK itu menjeda ucapannya sebelum kembali melanjutkan dengan lantang, "PINDAH KE LAPANGAN!" Dia langsung pergi. Namun tubuhnya kembali berbalik di langkah ke dua. "SEKARANG!!" Raya dan Angkasa kembali tersentak dan lari mengikuti langkah Guru BK itu. *** "Pokoknya ini semua gara-gara lo!" sembur Angkasa. Sementara Raya yang berlari di belakangnya hanya diam, tidak tertarik menanggapi ocehan Angaksa. Raya sudah terlalu malas bahkan hanya untuk mendengarnya. "Heh! Lo denger gue kan?" Angkasa sedikit menolehkan kepalanya ke belakang. Dia melihat Raya yang terlihat begitu tenang. Lelaki itu lalu melirik kedua kaki milik Raya. Gue pikir dia terbang, pikirnya. Raya mendengkus sebal. Dia secara diam-diam melepas tali sepatu milik Angkasa hingga— Bruk! Namun sepertinya ide Raya kali ini kurang tepat. Karena setelah itu, tubuhnya juga ikut tersungkur menindih Angkasa setelah menubruk tubuh tinggi lelaki itu. Beruntung posisi Angkasa menghadap rumput, jadi mereka tidak saling berhadapan seperti di adegan-adegan n****+. Dengan cepat Raya bangkit dan membersihkan seragamnya yang sedikit kotor. Tanpa sadar salah satu tangannya menekan punggung Angkasa terlalu kuat hingga lelaki itu mengerang. "Awww ... sakit! Woi!" Raya tersentak dan menegakkan tubuhnya lalu sedikit menjauh. "Patah nih tulang punggung gue. Pokoknya lo harus ganti rugi!" sembur Angkasa dengan salah satu tangan memegang punggungnya yang berdenyut. "Lo pasti mau bikin gue celaka! Iya kan? Lo mau matahin— awww!!" "Kamu, dihukum malah nawar pengen hukumannya nambah." Seseorang menarik telinga Angkasa. "E-eh, Pak Agung. Tambah ganteng aja, Pak. Hehe." Angkasa menunjukkan cengiran khasnya. Bukannya tersanjung, Pak Agung justru malah semakin menarik telinga Angkasa ke atas. "Awwww ... sakit, Pak! Aduh!" "Makanya kalo mau gombal itu lihat-lihat dulu! Memangnya gak cukup kamu gombalin Raya?" Angkasa mengernyit. "Raya? Siapa tuh?" Di belakangnya, Raya tampak memutar kedua bola matanya. Lelaki yang selalu mamanya banggakan itu rupanya begitu bodoh. Pak Agung pun hanya menepuk jidatnya. "Itu pacar kamu! Nama pacar sendiri kok lupa! Tuh!" tunjuknya ke arah Raya. Angkasa yang mengikuti telunjuk Pak Agung langsung terperanjat. "Hiiii ... jadi nama lo Raya? Ampun, Pak. Dia bukan pacar saya. Masa saya pacaran sama penghuni pohon ber—" Ucapannya terhenti saat melihat rambut sebahu milik Raya tertiup angin hingga hampir menutup sebagian wajahnya. Sorot mata gadis itu tampak menyala, membuat Angkasa menelan ludah dengan susah payah. "P-Pak, hukumannya udah, 'kan? Sekarang saya boleh ke kelas kan, Pak?" Angkasa memasang wajah melas, sesekali melirik Raya yang tampak masih bergeming. Dan di detik berikutnya gadis itu sudah berjalan terlebih dahulu meninggalkan lapangan sesaat setelah meminta izin. "Loh? Tuh, Pak! Lihat! Dia pergi gitu aja. Gak sopan tuh! Hukum lagi aja. Dasar murid dur—" "Awwwww!!!" *** Raya meringis begitu melepas plester di salah satu punggung tangannya. Luka dari pisau lipat itu terlihat sudah mengering, namun masih merah dan terasa perih. Tepat ketika Raya merogoh saku rok, sebuah tangan terlihat menyodorkan sebuah plester ke depan wajahnya. Raya mendongak dan melihat Angkasa yang langsung membuang muka saat pandangan mereka bertemu. Terlihat jelas kalau lelaki itu gugup. "Tangan gue pegel nih! Buruan ambil kek!" ujar Angkasa ketus tanpa mengalihkan pandangan. Helaan napas terdengar dari bibir Raya. Gadis itu mengambil plester dari tangan Angkasa dan segera memakaikannya di tangan. "Ngomong-ngomong tangan lo kenapa?" "Bukan urusan lo." Bibir Angkasa mengerucut. "Jadi gak ada ucapan makasih, nih? OKESIP!" "Makasih," ujar Raya datar. Membuat Angkasa tersenyum samar, tanpa sadar. "Makasih juga." Angkasa memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Raya menatap Angkasa bingung. Kenapa lelaki itu juga berterima kasih? "Kasihan aja gue lihat lo. Kayaknya lukanya sakit banget. Jangan ge-er. Gue gak lagi deketin lo kok, gue pastiin ini terakhir kita ngobrol," ujar Angkasa kemudian. Raya hanya menghela napas. Padahal gue kan gak nanya. Siapa juga yang ge-er? Dan kenapa dia mesti berterima kasih? Angkasa segera pergi dan berjalan menghampiri seorang temannya yang tengah makan. Suasana kantin yang cukup sepi membuat Raya lebih leluasa memerhatikan Angkasa. Lo gak akan pernah bisa menghindar, Sa. Angkasa terlihat tertawa hingga kedua matanya menyipit, persis seperti seseorang. Raya menggelengkan kepalanya cepat. "Angkasa itu bodoh. Pokoknya mereka gak mirip," gumamnya. Dia lalu memperhatikan plester bermotif hati yang diberikan Angkasa tadi. "Gue rasa dia salah beli." Raya menatap geli plester di tangannya. Dia membuang napas. "Katanya tadi Raya dihukum sama Angkasa." "Angkasa? Maksud lo Angkasa Danial?" "Iyalah. Siapa lagi. Udah bosen jomlo kali, jadi ngincar yang ganteng-ganteng." Sekumpulan murid perempuan itu terbahak di mejanya yang tidak jauh berada di belakang Raya. Tangan Raya mengepal kuat dengan rahang yang mengeras. Praanggg!! Semua orang di kantin sontak menoleh ke sebuah meja yang secara tiba-tiba ambruk. Hal itu membuat semua makanan yang berada diatasnya tumpah berserakan. Bahkan piring dan gelas pun pecah. "Tuh kan, lo sih mukulnya terlalu kenceng!" sembur salah satunya sembari sibuk membersihkan seragamnya yang terkena tumpahan minuman. "Enggak kok, suer deh!" Beberapa orang menertawakan mereka yang tampak konyol dengan seragam yang kotor dan juga terkena omelan penjaga kantin karena membuat kekacauan. Angkasa terdiam menatap mereka, lalu beralih menatap seorang gadis yang melangkahkan kaki meninggalkan kantin dengan wajah yang begitu masam. Salah satu alisnya terangkat. Gue kok makin curiga sama tuh cewek, ya? batinnya. Sementara itu, Raya pergi menjauh dari kerumunan orang itu. Mood-nya seketika hancur. Beberapa orang yang memperhatikannya di koridor mendadak ricuh. Ada yang mengeluh matanya kelilipan, bahkan tersandung tanpa alasan. Angin berembus cukup kencang menerpa wajah Raya hingga rambutnya tersingkap. Tangannya masih terkepal. Harga dirinya seakan direndahkan oleh orang-orang yang sama sekali tidak dia kenal. —tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD