5. Pertolongan

1275 Words
Suasana kelas mulai sepi saat satu per satu murid meninggalkan kelas. Raya memakai tasnya dan segera pulang. Hari sudah sore, dia tidak ingin pulang telat lagi dan membuat mamanya khawatir. Hampir setiap hari dia pulang telat karena terlalu asyik menghabiskan waktu di taman belakang sekolah. Meskipun yang dia lakukan di sana hanya diam. Namun hanya itu yang selalu bisa membuatnya tenang. Tiba-tiba sekumpulan murid perempuan menghalangi jalannya. Mereka menatap Raya tajam, seolah ingin melahap gadis itu hidup-hidup. "Lo pasti yang udah bikin kita malu di kantin! Iya kan? Lo kasih mantra biar mejanya ambruk! Ngaku lo!" Salah satu dari mereka mendorong bahu Raya kencang hingga tubuhnya mundur ke belakang. "Jawab! Gue tahu lo gak bisu!" Raya bergeming. Dia benar-benar tidak ingin berdebat dengan mereka. Hal itu hanya akan membuat waktunya terbuang dengan percuma. "Bisa kalian minggir? Gue mau lewat," ujar Raya dengan wajah datarnya. "Heh! Gue nanya sama lo! Gue tahu lo dendam sama kita. Iya kan? Jawab!" Raya mengangkat wajah dan menatap gadis di hadapannya. Entah kenapa nyali gadis itu mendadak ciut, padahal beberapa detik yang lalu dia masih memasang tampang garang. Tangannya yang tadi mencekal lengan Raya kini terlepas. Hal itu lantas digunakan Raya untuk segera pergi dari sana. Gadis-gadis itu masih memerhatikannya tanpa berniat mengejar. "Sial, tangan gue mendadak lemes." Raya yang masih dongkol dengan tingkah gadis tadi hanya bisa mengepalkan tangannya. Secepat mungkin dia menjauh, dia tidak ingin menyakiti mereka dan berbuat lebih jauh lagi. Mengingatnya saja membuat kepalanya terasa pening. Dia hanya ingin segera sampai rumah dan berbaring di ranjangnya. Langkah Raya terhenti saat melihat sebuah mobil hitam yang baru saja melintasinya. Raya terdiam. Kepalan tangannya menguat seketika. Samar-samar dia bisa melihat seorang pria dewasa di dalamnya. Jantungnya seakan ditikam oleh benda tajam. Dengan langkah berat gadis itu pergi menuju gerbang. Untung saja ada sebuah taksi yang lewat, jadi dia tidak perlu berlama-lama di sana. Kedua matanya seakan memanas. Bayangan pria tadi masih membekas di ingatannya. Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama. Kecuali ada beberapa kerutan di wajah itu. Namun kebencian di hati Raya masih sama. "Mbak gak apa-apa?" tanya sopir yang memerhatikannya dari kaca spion. Raya buru-buru menghapus air matanya yang jatuh. "Enggak apa-apa kok. Fokus aja, Pak." Sopir itu mengangguk. Dia kembali terfokus pada jalanan, sesekali melirik gadis yang duduk di belakang. Raya memerhatikan setiap objek yang dilewatinya. Mencoba mengalihkan fokus, walaupun percuma. "Papa gak pernah sayang sama aku." "Itu gak bener. Papa sayang sama kita berdua." "Papa cuma sayang sama kamu. Aku selalu bikin Papa marah." Kedua tangan Raya meremas ujung rok kuat. Air mata terus membanjiri pipinya. Sepanjang perjalanan hanya dihabiskan untuk memerhatikan pemandangan di luar tanpa minat sama sekali. Sesekali Raya menyeka air matanya yang kembali jatuh tanpa persetujuannya. "Sudah sampai, Mbak." Ucapan sang sopir membuat Raya tersadar dari lamunannya. Gadis itu menggumamkan terima kasih dan segera turun. Dia menatap bangunan di depannya. Raya menghela napas sejenak, sebelum akhirnya berjalan menuju pintu rumah. "Kenapa kamu? Habis nangis?" tanya mamanya saat Raya memasuki rumah. Rupanya wanita itu dengan cepat menyadari raut wajah putrinya yang berbeda dari biasanya. "Temen-temen kamu nge-bully lagi?" Raya hanya menunduk. Dia menatap kedua sepatunya dengan kedua mata yang sudah berair. Mamanya menatap Raya sekilas. Wanita itu kembali melanjutkan kegiatannya yang tengah membaca sebuah majalah. Tidak aneh baginya ketika melihat Raya murung saat pulang sekolah. Anak itu sudah terlalu sering menjadi bulan-bulanan di sekolahnya. Namun entah kenapa kali ini dia merasa ada yang tidak beres. Terutama saat melihat setetes cairan bening jatuh dari salah satu manik mata Raya. Fokusnya kini teralih pada putrinya. "Kenapa, Ra?" tanyanya. Dia merasa tidak enak hati. Jangan-jangan Raya .... "Raya ... Ketemu sama papa." Raya mengucapkannya dengan susah payah. Luka gadis itu seakan tidak pernah tertutup setiap harinya. Justru lukanya seakan bertambah. Ucapannya barusan benar-benar membuat fokus mamanya buyar. Wanita itu bahkan langsung menutup majalah di tangannya dan menatap Raya. "Apa salah .... Kalau aku benci sama Papa?" Kedua tangan Raya mengepal dengan kuat hingga buku-buku jarinya memutih. "Ra ... " Mamanya berdiri, mencoba menggapai bahu Raya yang mulai bergetar. "Raya gak sanggup, Ma." Tubuh Raya limbung di dalam dekapan sang mama dan mulai terisak. "Maafin Mama." *** Raya menuruni tangga dengan hati-hati. Tumpukan buku paket di tangannya sedikit menghalangi pandangannya. Dia sedikit bersyukur karena murid-murid yang berlalu lalang melewatinya tidak melakukan hal iseng. Raya tidak habis pikir mengapa ketua kelasnya malah menyuruh dirinya mengembalikan buku paket Bahasa Indonesia ke ruang guru sendirian. Apalagi buku paket pelajaran yang satu itu tidaklah tipis. Beberapa murid terlihat menatap Raya ketika gadis itu hampir berhasil menuruni tangga. Menyadari itu, Raya menjadi was was. Mendadak perasaannya menjadi tidak enak. "Hei!" Seseorang tiba-tiba berseru. Entah kepada siapa, namun Raya tiba-tiba menoleh ke belakang. Namun dia tidak mendapati siapa pun. Mungkin bukan dia, pikirnya. Dan sekarang Raya menyesali apa yang dilakukannya barusan. Seharusnya dia tidak menoleh ke belakang, karena tepat saat ia kembali ke posisi semula, seseorang dengan tega menjulurkan kakinya ke depan tanpa Raya duga. Bunyi nyaring seketika terdengar, buku-buku paket yang dibawa Raya berserakan. Sementara si pembawa buku tengah mengelus lututnya yang berdenyut. Tawa orang-orang mulai terdengar, sebagian ada yang menatap iba namun hanya berdiam diri. "Woi!" Suara langkah kaki terdengar tergesa menuruni tangga. Tawa orang-orang itu seketika terhenti. "Lo tahu gak apa yang baru aja lo lakuin?! Lo udah celakain orang!" ucapnya terdengar emosi. Sementara Raya kini sibuk membereskan buku, tanpa ingin tahu siapa si pemilik suara itu. Toh dia juga sudah tahu. Dia sedikit berterima kasih karena setidaknya suara-suara nista tadi tidak lagi terdengar oleh telinganya. "Lo gak apa-apa kan? Eh—" Si pemilik suara tadi tampak mengerjap beberapa kali begitu melihat Raya. "Kenapa? Lo nyesel ngomong kayak barusan?" tanya Raya tanpa menatap orang itu. Angkasa terdiam sejenak sebelum akhirnya membantu Raya memunguti buku-buku paket yang berserakan di lantai. Sesekali dia melirik ekspresi Raya yang tampak biasa aja. "Gue gak apa-apa," ucap Raya seakan mengerti dengan tatapan Angkasa. Dia merebut buku paket di tangan lelaki itu dan segera berdiri. Angkasa menatap Raya penuh selidik, dan yang terjadi berikutnya adalah kedua tangannya yang menahan bahu Raya agar tetap kokoh ketika gadis itu hampir saja limbung di hadapannya. "Gak usah pura-pura kuat," ucap lelaki itu dan mengambil separuh dari buku paket di tangan Raya. Gadis itu menatapnya. "Kalo emang sakit, tinggal bilang aja. Atau setidaknya keluarin ekspresi. Jadi orang bisa tahu dan bantuin lo. Lagipula nolongin orang gak harus pilih-pilih. Monster sekalipun kalo lagi sakit layak dapet bantuan, apalagi kucing di jalanan." Raya tertegun. Ini pertama kalinya dia mendengar Angkasa berbicara panjang padanya. Padahal biasanya lelaki itu akan ketakutan setiap kali bertemu dengannya. Dengan pincang, Raya berjalan menuju ke ruang guru. Tentu saja dengan Angkasa yang masih mengekorinya di belakang. "Ketua kelas lo punya masalah apa sih? Malah nyuruh cewek bawa buku paket seberat ini sendirian." Ucapan Angkasa sama sekali tidak digubris oleh Raya. Entah gadis itu harus senang, atau kesal. Angkasa terdengar khawatir namun di sisi lain lelaki itu terdengar cerewet. "Kenapa kaki kamu, Ra?" tanya salah satu guru begitu Raya dan Angkasa masuk ke ruangan. Raya tersenyum tipis dan hendak merespon, sebelum seseorang di belakangnya tiba-tiba dengan tidak tahu dirinya bersuara. "Tadi jatuh di tangga, Bu. Dikerjain sama anak-anak lain." Raya membelalakkan kedua matanya mendengar ucapan Angkasa barusan. Kenapa dia harus mengatakannya segala? Guru di depan mereka tampak terkejut. "Kok bisa? Kalo gitu obatin ke UKS, kaki kamu pasti memar. Dan ... " Pandangan guru itu teralih pada Angkasa. "Kamu kok bisa sama Raya? Emangnya kalian sekelas?" "Emangnya Ibu tahu saya?" tanya Angkasa balik. Guru itu melebarkan pupil matanya. "Saya wali kelasnya Raya! Kamu yang sering dihukum sama Pak Tomi kan? Yang gak pernah ngerjain PR itu." Bahu Angkasa merosot. Tercemar sudah image-nya di depan Raya. —tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD