3. Intuisi

1320 Words
"Belajar yang rajin! Main terus bisanya. Lihat Rama! Dia juara kelas lagi!" Seorang pria dewasa tampak berkacak pinggang di depan seorang anak perempuan yang tengah menangis sesegukan. Salah satu tangannya meremas selembar kertas ulangan dengan angka empat puluh yang dilingkari dengan tinta berwarna merah. "Papa kan sudah bilang! Belajar yang rajin! Lihat! Nilai kamu sekarang merah terus!" Pria itu mendengus melihat gadis kecil di depannya. Dia pun memutuskan untuk pergi dan meninggalkan putrinya, yang tidak lain adalah Raya. Tepat setelah kepergiannya, seorang anak laki-laki muncul dari balik salah satu dinding dan berjalan menghampiri Raya yang masih menangis. Anak laki-laki itu memeluk tubuh Raya yang bergetar. "Nanti belajar bareng, ya? Jangan nangis. Nanti papa marah lagi," ucapnya menepuk-nepuk punggung Raya pelan. "Raya kangen Rama." "Raya kangen Rama." "Rama di mana?" "Kenapa Rama gak pernah pulang?" Kedua mata Raya terbuka dengan sempurna. Dahinya berkeringat, suasana kamarnya seketika berubah menjadi pengap. Gadis itu mengusap wajahnya yang memerah. Diliriknya jam yang masih menunjukkan pukul dua pagi. "Raya kangen Rama." Raya mendudukkan tubuh. Pikirannya kembali kacau. Akhir-akhir ini dia selalu memimpikan hal yang sama. Dan itu adalah memori-memori masa lalunya. Salah satunya adalah tentang Rama, kembarannya. Raya menoleh pada jendela. Tirai langsung terbuka, sekaligus dengan jendelanya. Gadis itu bisa melihat bulan yang bersinar dengan terang di luar sana. "Takdir emang gak pernah adil." Di saat kebanyakan orang menginginkan hal ajaib di hidupnya, Raya justru merasa sebaliknya. Rasanya dia ingin menjadi manusia biasa saja. Dia tidak ingin mengetahui isi kepala orang lain yang membicarakannya. Itu sangat menyakitkan. Bahkan takdir tidak mengizinkannya hidup berdampingan dengan Rama. *** Angkasa berjalan menyusuri koridor menuju kelas. Suasana sekolah sudah cukup ramai. Lelaki itu terlihat sibuk dengan ponselnya. Banyak sekali notifikasi masuk ke akun instagramnya, dan hal itu tidaklah aneh. Angkasa sudah terbiasa. Meskipun dia bukan most wanted, tapi tetap saja banyak murid perempuan yang mengaguminya. "Pusing juga jadi artis sekolahan," gumamnya seraya memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Tiba-tiba matanya tidak sengaja melihat sosok yang beberapa jam terakhir mengganggu pikirannya. Langkah Angkasa terhenti begitu melihat Raya yang baru saja berjalan melewati dirinya. Meskipun hanya melihat dari belakang, tapi Angkasa tahu kalau dia adalah gadis aneh yang ditemuinya akhir-akhir ini. "Cuma dia yang punya aura kayak gini!" Karena arah kelas mereka sama, Angkasa pun secara otomatis berjalan tepat di belakang Raya. Sepertinya gadis itu tidak menyadari kehadirannya. Yah, lagipula kenapa juga dia harus peduli? Angkasa mendengkus. Dia memerhatikan rambut sebahu milik Raya yang sebenarnya sudah disadari oleh gadis itu sejak tadi. Termasuk aura aneh yang dikatakan Angkasa. "Dia di kelas mana sih? Jangan-jangan dia penghuni gudang di ujung kelas?" Tiba-tiba Angkasa jadi merinding. Raya mati-matian menahan emosinya. Gadis itu secara tiba-tiba menghentikan langkahnya tanpa disadari oleh Angkasa, membuat lelaki itu secara reflek menubruk pelan punggung Raya dengan permukaan bibir yang bersentuhan dengan rambut gadis itu. Angkasa langsung memegang bibirnya karena terkejut. Apa-apaan barusan itu? Dia secara tidak langsung menciumnya kan? Oh, tidak! Bagaimana jika gadis itu benar-benar penghuni gudang? "Lo bisa gak sih sekali aja gak berpikiran aneh-aneh tentang gue?" ujar Raya to the point. Angkasa mengerjap. "M-maksud lo?" "Gue juga manusia, sama kayak lo. Gue di sini buat belajar. Bukan buat tinggal di gudang. Apalagi di taman belakang sekolah." Ucapan Raya membuat Angkasa terkejut bukan main. Lelaki itu sampai membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu tapi malah lupa. Raya menghela napasnya menatap Angkasa yang seperti mati berdiri. "Lo yang aneh. Dasar penakut." Raya kembali melanjutkan langkahnya. Namun ketika Raya hendak berbalik, Angkasa dengan cepat menahan tangannya, membuat pandangannya kini bertemu langsung dengan sepasang mata elang itu. Angkasa melihat salah satu punggung tangan Raya yang tertutup plester. "Tangan lo luka," gumam Angkasa, membuat alis Raya bertaut. Kenapa lelaki itu harus peduli? Mereka bahkan tidak saling kenal. Menyadari apa yang dilakukannya, Angkasa menghempaskan kembali tangan Raya hingga gadis itu sedikit mengaduh. Angkasa mendadak jadi salah tingkah, apalagi Raya kini menatapnya tajam. Gue ngapain sih? b**o banget. Gue pasti kelihatan konyol, batin Angkasa merutuki perbuatannya barusan. "Emang," ucap Raya nyaris tidak terdengar. Namun Angkasa masih mampu mendengarnya dengan cukup jelas. Baru saja lelaki itu hendak membuka suara, Raya sudah terlebih dahulu pergi meninggalkannya. "Jangan-jangan dia beneran bisa baca pikiran gue barusan? Hiiii .... serem." Angkasa mengusap-usap kedua lengannya yang mendadak merinding. Apalagi gadis itu mengucapkannya dengan ekspresi yang begitu datar. "Sial. Dia pasti ngira gue bego." Diacak-acaknya rambut yang sudah disisir dengan rapi itu hingga kembali kusut. Dengan langkah lebar, Angkasa berjalan menuju kelasnya. "Pokoknya gue gak boleh ketemu lagi sama tuh cewek. Mau ditaruh di mana ini muka? Dia pasti bakalan bully gue. Hiii .... " Sementara itu, Raya duduk di bangkunya begitu sampai di kelas. Di barisan paling belakang, gadis itu duduk sendirian. Hal itu sudah biasa baginya. Bahkan setiap kali masuk kelas, beberapa pasang mata selalu tertuju padanya. Raya sudah tidak memedulikan mereka, dia sudah terlalu malas menanggapinya. "Kenapa sih gak pindah sekolah aja? Kenapa harus di kelas kita?" "Husstt ... pelan-pelan. Nanti dia denger. Bisa gawat kalo dia ngamuk kayak waktu itu." "Hiii ... serem ya." "Pantes gak ada yang mau temenan sama dia." Kalimat-kalimat itu selalu menghampiri gendang telinga Raya setiap waktu. Seperti ratusan silet yang menyayat telinganya, dan Raya sudah terbiasa dengan rasa sakitnya. Suasana kelas yang semula gaduh mendadak hening ketika ada seorang guru yang masuk. *** "Meskipun kita berbeda, tapi kita sama-sama diberi kelebihan." "Aku malah pengin jadi kamu. Aku pengin tahu apa aja yang orang lain pikirin tentang aku. Ingatan itu terus berputar di kepala Raya. Kepalanya pening, hingga rasanya sulit baginya untuk berjalan. Dengan susah payah dia menghampiri sebuah kursi panjang di bawah pohon beringin besar yang ada di belakang sekolah. "Jangan mau jadi aku. Kamu bakalan capek. Malahan aku yang pengin jadi kamu. Aku lebih baik gak tahu isi hati setiap orang." Kedua mata Raya memanas. Gadis itu lelah. Dia sudah melakukan berbagai cara agar dia tidak mampu membaca pikiran orang lain lagi. Dia bahkan pernah mengenakan earphone di telinganya selama hampir seharian agar tidak mendengarkan batin setiap orang yang tertuju padanya. Namun hasilnya percuma, karena Raya bahkan bisa menebak walau hanya dari gerakan bibir atau dari tatapan mata mereka. Gadis itu kini terisak. Semua memori di masa lalu selalu saja menghantuinya. Dia benci semua orang dan dia benci dirinya sendiri. "S-sorry," Seseorang tiba-tiba berujar dari arah belakang. Sebuah batu berukuran sedang melayang dengan cepat ke ujung kaki si pemilik suara hingga akhirnya dia tersandung. "Awww!!" Raya menghapus air matanya dengan tergesa dan segera menolehkan kepalanya ke belakang. Dia mendapati Angkasa yang kini tersungkur di permukaan rumput. "Yailah ... batu dari mana sih? Perasaan tadi gak ada batu," gerutu lelaki itu seraya bangkit. "Biasa aja dong ngelihatinnya. Gue kan gak ada niatan jahatin lo," lanjutnya. Sementara Raya masih memasang ekspresi datar. Kenapa tiba-tiba Angkasa ke sana? Mau apa dia? "Mau apa?" tanya Raya. Tak ada satu pun ekspresi yang keluar dari wajahnya. Angkasa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sejujurnya dia sendiri juga bingung kenapa dia pergi ke sana. Tapi dia merasa seperti ada seseorang yang menyuruhnya untuk pergi ke taman belakang sekolah. Dan yang didapatinya adalah Raya, gadis aneh yang tengah dihindarinya tengah menangis sendirian di sana. "Feeling gue yang nyuruh ke sini," ucap Angkasa seadanya. Meskipun tak ayal kalau dia sendiri agak geli saat mengucapkannya. Kening Raya mengerut. "Lo-lo ngapain di sini? Ini kan masih jam pelajaran. Bolos?" Angkasa mencoba mengalihkan pembicaraan. Namun sejujurnya dia memang menjadi sedikit penasaran dengan gadis yang berada di hadapannya. Setelah diingat-ingat, gadis itu adalah gadis yang cukup sering dibicarakan oleh teman-teman kelasnya. "Lo sendiri ngapain ke sini?" tanya Raya. Angkasa tersentak pelan. "Bener juga, ya. Ngapain gue ke sini?" Sejujurnya Raya ingin sekali tertawa melihat reaksi Angkasa setiap kali bertemu dengannya, kalau saja dia tidak ingat siapa sebenarnya lelaki itu. Lelaki yang akan ikut serta dalam perjalanan hidupnya. "Ya-ya ... kan gue bilang juga feeling." Raya menyingkirkan dedaunan yang hendak berjatuhan ke atas kepala Angkasa tanpa lelaki itu ketahui. Membiarkannya mengoceh tanpa ada yang mengganggu, walaupun hanya sehelai daun. "Jadi, lo ngapain di sini?" —tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD