Baiklah aku akan mengikuti alurnya. batin Aaron.
"Percaya padaku, aku tidak akan menyakitimu lagi." Ujar Aaron lembut.
Evelyn mengangkat pandangannya, menatap Aaron penuh tanya."Be benarkah?" Tanya Evelyn terbata-bata.
"Hmm... aku berjanji."
"Janji?" Evelyn sungguh tidak percaya akan apa yang baru saja terjadi.
Aaron bersikap lembut padanya? Sungguh hal yang mengejutkan. Batin Evelyn yang masih kebingungan.
"Iya aku janji."
Dengan ragu-ragu, Evelyn mendekati Aaron. Kini keduanya duduk berhadapan tanpa saling bicara. Evelyn hanya menunduk tanpa ingin melihat Aaron yang menatapnya sedari tadi.
"Lanjutkan sarapanmu." Ujar Aaron.
"Ba baik." Dengan gamang Evelyn mengambil sendok dan melanjutkan sarapannya.
Entah mengapa sup cream yang tadinya sangat lezat, kini terasa hambar di lidahnya. Aaron menatapnya lekat tanpa ingin melepasnya barang sebentar pun.
"Tu Tuan... Kau tidak sarapan?" Tanya Evelyn hati-hati. Tidak sopan bukan makan tanpa mengajak orang di dekat kita?
"Aku sudah sarapan. Makanlah yang banyak. Kau pasti kelaparan." Jawab Aaron masih terus menatap Evelyn intens.
Aaron memandangi Evelyn dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aaron menyadari perubahan tubuh Evelyn sejak pertama kali bertemu. Gadis ini terlihat sangat kurus dan ringkih, seakan tidak ada daging untuk melapisi tulang-tulangnya. Terbersit perasaan bersalah dalam hati Aaron, ketika mengingat betapa kejamnya dulu dia pada wanitanya ini.
Pandangan Aaron berhenti pada leher Evelyn yang dihiasi kalung permata hitam. Kalung itu. Kenapa bisa...Ibu...
Aaron mengepalkan kedua telapak tangannya geram. Aaron marah melihat kalung peninggalan Ibunya satu-satunya dipakai oleh Evelyn.
"Kalung yang indah." Ujar Aaron tiba-tiba. Evelyn menghentikan suapannya. Melihat Aaron kemudian beralih pada kalung permata di lehernya.
"Maaf Tuan, aku tidak berniat memakainya. Ibu yang memaksaku." Evelyn menjadi ketakutan ketika melihat wajah Aaron menjadi dingin dan menyadari kesalahannya.
"Sungguh Tuan aku tidak bermaksud." Aaron masih diam. "Aku akan melepasnya kalau Tuan tidak suka." Tangan Evelyn bergerak membuka kalung itu namun ditahan oleh Aaron.
"Jangan. Pakai saja, itu memang milikmu." Ujar Aaron lembut, walau dalam hati Leon tidak rela.
"Kalung itu milik Elinku."
Batin Aaron membayangkan wajah Si gadis cadel yang mencuri pasangan kalung permata hitam miliknya. Senyum Aaron terbit begitu saja membayangkan ketika Si gadis cadel melamarnya. Serta ciuman itu. Bahkan ciuman itu masih terasa sampai sekarang.
Evelyn terperangah melihat Aaron tersenyum. Senyum yang begitu indah yang tidak pernah Evelyn lihat selama hidup bersama pria itu.
"Tuan yakin?" Ucapan Evelyn membuyarkan lamunan Aaron.
"Hmm jangan dibuka. Tapi ingat jangan sampai hilang." Tutur Aaron tegas.
Evelyn tersenyum, "Baik Tuan. Aku mengerti."
Aaron menyipitkan matanya, jika dilihat lebih intens senyum gadis ini sangat mirip dengan Elinku. Apa mungkin... Ahk tidak mungkin. Batin Aaron.
"Ya sudah lanjutkan sarapanmu. Setelah selesai kau berangkat ke kampus bersamaku." ucapnya.
"Eh Tuan tau aku kuliah?"
"Heh apa yang tidak kuketahui tentangmu." Aaron tersenyum meremehkan.
"Kalau kau mengetahui semua tentang diriku, lalu kenapa Tuan masih menuduhku?"
Ingin sekali Evelyn mengatakan itu pada Aaron, tapi sayang, nyalinya tidak sebesar itu.
Evelyn mengangguk menanggapi ucapan Aaron.
"Ingat perintahku dengan jelas. Selama kuliah kau tidak boleh melanggar aturanku. Tidak boleh pulang terlambat dari jadwal kuliahmu. Dan satu lagi, jangan berteman dengan sembarangan orang, apalagi laki-laki. Kau mengerti?" Ujar Aaron tegas tak terbantahkan.
"Ba baik Tuan. Aku mengerti." Melihat Aaron dengan kebingungan.
Di dalam mobil, Evelyn hanya duduk diam di bangku kemudi. Nafasnya terasa sesak sejak berada satu mobil dengan pria berwajah datar di sampingnya. Seperti ucapannya tadi, Aaron mengantarkannya ke kampus.
Sebenarnya Evelyn bingung akan sikap Leon yang tiba-tiba berubah. Tidak biasanya pria itu
Hampir setengah jam perjalanan mereka tempuh akhirnya sampai juga.
"Tuan, saya turun dulu." Pamit Evelyn pada Aaron
"Tunggu." Evelyn yang ingin membuka pintu mobil mengurungkan niatnya.
"Iya Tuan?"
"Ingat perkataanku, jangan berbicara pada laki-laki lain jika tidak ada yang penting!" Ucap Aaron tegas.
"Baik Tuan, saya akan ingat."
Aaron mengambil dompetnya dan mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam, lalu memberikan pada Evelyn.
"Ambil ini, gunakan ini untuk membeli keperluanmu."
Evelyn melihat Aaron dengan heran. Aaron memberikannya sebuah kartu pegangan? Ada apa dengan pria ini? Batinnya bertanya-tanya.
"Cepat ambil."
Dengan ragu, Evelyn mengambil kartu itu dari tangannya.
"Ya sudah pergilah. Belajar yang rajin, jangan bermain-main, ingat siapa yang membayar biaya kuliahmu, jadi jangan buat itu sia-sia." Nasihat Aaron dengan sombong.
Evelyn mengangguk cepat, tidak merasa sakit hati akan ucapan pria itu, karena memang benar, yang membiayai dirinya adalah Aaron.
"Iya Tuan, saya mengerti. Saya akan belajar dengan sungguh-sungguh. Saya pergi dulu."
Saat akan turun, Evelyn teringat sesuatu. Hal ini sudah mengganjal dalam hatinya sejak dulu.
"Em.. Tuan." Panggilnya pelan.
"Apa lagi?" Aaron menaikkan salah satu alisnya.
Meremas jemarinya, "Nanti siang boleh tidak aku mengunjungi Mommy-ku?" Evelyn gugup. Tapi maniknya menatap Leon penuh harap.
Pria itu malah tersenyum miring, "Sejak kapan kau mulai lancang. Jangan karena Ibuku lebih membelamu, kau semakin menjadi. Kau harus ingat perjanjian awal kita, tidak boleh melakukan apapun selain atas izin dariku." Timpal Aaron sarkas.
Seketika wajah Evelyn menjadi murung mendengarnya, pupus sudah harapannya untuk menemui Mommy Anastasia.
"Maaf Tuan kalau saya lancang. Saya tidak bermaksud, saya hanya merindukan Mommy saja. Sekali lagi maafkan saya Tuan."
Aaronn tidak menjawab yang mana membuat Erin tau bahwa Aaron sedang kesal.
"Baiklah Tuan, kalau begitu saya pergi dulu."
Evelyn segera turun dari mobil mewah itu, walaupun hatinya kecewa akan penolakan Aaron, tapi dia tetap berusaha tersenyum.
Sedangkan Aaron, menatap punggung Aaron yang perlahan menghilang di lorong-lorong gedung kampus. Dia bingung akan perasaannya saat ini.
Tidak terasa hari sudah beranjak siang. Evelyn yang baru saja keluar dari ruang administrasi untuk mengurus berkas-berkasnya hendak menuju gerbang. Seperti perintah Aaron tadi pagi yang menyuruhnya cepat pulang.
Sebenarnya perasaan gadis itu sedang tidak bagus hari ini. Dikarenakan, saat mengurus data-datanya di ruang administrasi tadi, ada beberapa petugas yang menggunjing dirinya.
Benar saja, Evelyn ternyata sudah dikenal oleh banyak orang, terutama di kota ini. Dikenal bukan sebagai anak berprestasi maupun dalam hal baik lainnya, melainkan dikenal sebagai anak seorang koruptor.
Sejak tadi gadis itu menahan hatinya yang panas mendengar gunjingan dan cibiran orang-orang di sana. Yah.. karena sudah terbiasa menahan sakit hati, Evelyn tidak terlalu menanggapi omongan itu. Hatinya sudah kebal, bahkan yang lebih parah dari itu sudah dirasakannya.
Saat berjalan menyusuri koridor kelas, tanpa sengaja tubuh mungilnya bertabrakan dengan seseorang. Beberapa buku yang dipegangnya berhamburan di lantai.
"Maaf, saya tidak sengaja..." Terdengar suara bariton yang sedikit familiar baginya.
Evelynn melihat orang itu. "Myke...."