Semenjak pertemuan pertamanya dengan Evelyn, Myke tidak dapat menghentikan pikirannya untuk tidak memikirkan Evelyn barang sebentar saja. Wajah gadis cantik itu selalu mondar-mandir di pikirannya. Bahkan untuk bekerja pun pikiran pria bermuka dua itu tidak bisa fokus sama sekali.
"Sial! Ada apa dengan wanita itu?" Desis Myke sembari meraup wajahnya kasar.
"Dia memang cantik, tapi bukan tipeku sama sekali."
Myke memang pecinta wanita, setiap malam dihabiskannya bersama para wanita jal*ng untuk bersenang-senang. Walaupun begitu, Myke tidak pernah menetapkan hatinya pada satu wanita, karena dia menganggap wanita adalah mainan yang akan dia buang setelah bosan.
Myke menepis rasa yang ada di hatinya saat pertama kali bertemu dengan Evelyn. 'Pecinta Wanita' memang gelarnya, tapi bukan berarti Evelyn masuk dalam kriterianya bukan?
Ya, Evelyn sangat jauh dari tipe wanitanya, gadis lugu nan polos dengan manik mata yang sendu. Oh ayolah, bahkan untuk menyakiti gadis itu harus berpikir dua kali. Melihat wajah menyedihkan seperti itu, siapa yang akan tega menyakitinya lagi.
Mungkin orang akan beranggapan seperti itu, tapi tidak bagi Myke. Demi melancarkan misi yang diberikan Morrone, sang Ayah, pria rupawan itu seolah membutakan hatinya dengan memanfaatkan gadis lugu itu.
Wajah Evelyn ketika sedang tersenyum kepadanya kembali melintas di pikiran pria itu. "Hah bahkan senyumnya bisa semanis itu." Decak Myke karena wajah Evelyn masih saja menghantui pikirannya.
Myke bangkit dari duduknya, melangkah menuju toilet di ruang kerjanya untuk membasuh wajahnya, barangkali bayangan wajah Evelyn bisa menghilang dari pikirannya.
Myke sudah memiliki rencana setelah bertemu dengan Evelyn. Melihat wajah sendu gadis itu, juga tubuhnya yang nampak kurus, memperlihatkan tulang-tulangnya yang jelas terlihat, seakan tidak ada daging yang dapat melapisinya, Myke dapat menyimpulkan bahwa gadis itu tidak bahagia dalam pernikahannya.
Dan itulah intinya, Myke akan memanfaatkan ketidakbahagiaan gadis itu.
***
Setelah pulang dari pusat perbelanjaan, Evelyn merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur milik Chlarent. Wanita paruh baya itu mengajaknya ke kamarnya, katanya ingin menunjukkan sesuatu.
"Kau lelah ya?"
"Iya Ibu." Evelyn tiada hentinya memudarkan senyumannya sejak tadi, dia terlihat bersemangat berbelanja barang-barang untuk kuliahnya sampai tidak merasakan penat.
"Terima kasih Bu." Evelyn duduk kemudian meraih pinggang Chlarent, menenggelamkan kepalanya di perut wanita itu.
"Kau berhak mendapatkannya." Ujar Chlarent mengusap kepalanya. Evelyn tidak menyangka akhirnya dia bisa melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah.
"Tunggu sebentar, Ibu ingin mengambil sesuatu." Melepas pelukannya, kemudian berjalan menuju lemari besar di kamar itu. Chlarent terlihat membuka laci-laci lemari itu satu persatu.
Setelah mendapatkan apa yang dia cari, Chlarent kembali menuju Evelyn. Di tangannya terdapat sebuah kotak beludru berwarna biru gelap yang cukup besar.
Setelah duduk di sebelah Evelyn, Chlarent menyerahkan kalung itu di pangkuan Evelyn. Kening Evelyn berkerut bingung.
"Ini apa Bu?"
"Isi dalam kotak ini adalah peninggalan terakhir mendiang Ibu Aaron." Jelas Chlarent.
"Lalu apa hubungannya denganku Bu?"
"Paman Sam yang memberikan ini pada Ibu. Beliau berpesan agar Ibu kelak menyerahkannya kepada wanita yang akan menjadi istri Aaron. Tapi karena kita terlambat bertemu, Ibu akhirnya memberikannya hari ini kepadamu." Jelas Chlarent.
Paman Sam memberikannya kepada Chlarent karena Aaron sudah menganggap Chlarent sebagai ibunya. Dan Chlarent lebih berhak atas isi dalam kotak itu.
Evelyn masih kebingungan dalam hal ini, ayolah dia hanyalah b***k berkedok istri bagi Aaron, jadi untuk apa dirinya menerima barang ini.
"Bu, aku rasa Ibu mengerti bagaimana posisiku, aku hanyalah b***k Bu dan aku tidak pantas menerima barang peninggalan ini."
Chlarent menggelengkan kepalanya, "Sudah berapa kali Ibu mengatakannya, jangan menyebut dirimu b***k, Nak. Kau harus ingat satu hal ini dengan jelas, kau adalah istri Aaron, menantu keluarga Lisin." Ujar Chlarent tegas tak terbantahkan.
Evelyn menghela nafasnya, Chlarent benar-benar tidak bisa dibantah.
"Sekarang bukalah, ini milikmu."
Dengan berat hati Evelyn memegang kotak biru itu, dan dengan perlahan membukanya. Sebuah kalung permata hitam yang mengkilap yang mampu menyilaukan maniknya teronggok di dalam kotak itu.
Sebuah permata hitam mengkilap menyilaukan pandangannya ketika pertama kali membuka kotak itu.
Keningnya berkerut dalam, memperhatikan kalung itu. Memang dia terpesona akan kemewahan kalung itu dan Evelyn yakin bahwa kalung itu bukan main mahalnya.
Tapi bukan itu yang menjadi fokus utamanya. Kalung ini terasa familiar dalam ingatannya. Evelyn merasa seperti pernah melihat kalung ini, api kapan dia pernah melihatnya?
Dengan ragu-ragu Evelyn mengambil kalung itu, membentangkannya di udara. Sungguh indah memang.
"Kalung ini merupakan peninggalan terakhir Ibu Aaron. Seperti yang Ibu katakan tadi, kalung ini akan diberikan kepada istri Aaron, dan kaulah orangnya." Evelyn mendengar penjelasan Chlarent tapi tidak berniat menjawabnya. Dia masih berpikir keras dimana dia pernah melihat kalung ini.
"Evelyn..."
"Eh iya Bu. Maaf, aku cukup terpesona melihat kalung ini." Evelyn terkekeh.
Chlarent tersenyum, "Kalung ini ada sepasang, satu lagi ada pada Aaron. Sini Ibu pasangkan." Chlarent mengambil alih kalung permata itu.
"Tapi Bu, apakah tidak apa-apa aku memakainya?" Evelyn masih ragu. Dia tidak ingin Aaron murka karena sudah lancang memakai barang peninggalan Ibunya.
"Tidak apa-apa. Jangan pikirkan Aaron, ada Ibu yang melindungimu. Mengerti?" Chlarent meyakinkan.
"Baiklah Bu." Evelyn mengangguk pasrah. Dengan segera Chlarent memakaikan kalung itu di leher Evelyn.
Setelah selesai Evelyn menyentuh kalung yang kini melekat di lehernya. Keindahannya semakin bertambah ketika berpadu dengan lehernya yang putih mulus. Seakan kalung itu memang diciptakan khusus untuk Evelyn.
"Cantik sekali." Puji Chlarent."Ingat ya, kau harus menjaga kalung ini dengan baik. Jangan sampai hilang, ok?"
"Baik Bu, aku pasti menjaganya dengan baik." Jawab Evelyn tersenyum.
***
Keesokan harinya, ketika Evelyn sedang menikmati sarapan paginya, dia dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang sangat tidak ingin dia temui dalam hidupnya.
Sendok yang dia pegang terlepas begitu saja di atas piring sarapannya melihat pria berwajah dingin itu semakin mendekat kepadanya. Tubuhnya gemetar hebat melihat pria itu.
Tatapan mematikan itu masih menatapnya dengan tajam. Ingin sekali Evelyn lari dari tempat ini, pergi dari pria itu sejauh mungkin.
Pria itu menyeringai melihat reaksi Evelyn saat melihatnya. "Kau takut?" Tanya pria itu.
Dialah Aaron, pria yang sangat Evelyn takuti. Pria yang mengisi penderitaannya selama beberapa bulan ini. Pria yang tega menjualnya pada g***o hanya untuk menuntaskan balas dendamnya.
Evelyn tidak menjawab, dia malah beringsut menjauh ketika Aaron duduk di sampingnya.
Tangan kekar Aaron terangkat menyentuh wajah pucat Evelyn yang mana membuat Evelyn berjingkrak dari duduknya.
Aaron menyeringai, "Sst jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu." Aaron memang mengatakannya dengan lembut, tapi bagi Evelyn suara itu sudah seperti suara sangkakala yang berkumandang dari neraka.
"Kemarilah istriku." Aaron menarik Evelyn dengan pelan agar mendekatinya.
"Jangan." Evelyn setengah berteriak menutup matanya erat. "Kumohon jangan Tuan. Jangan sakiti aku...."
Aaron terdiam sejenak, sebegitu takutnyakah gadis ini kepadanya?Aaron ingin peduli pada Evelyn, tapi logikanya bersikeras menepis semua itu.
"Siapa yang ingin menyakitimu hmm? Kemarilah, aku tidak akan melakukan apapun padamu." Aaron berucap selembut mungkin.
Ternyata perkataan Dokter Lenin mengenai kesehatan Evelyn benar adanya. Lihatlah gadis ini begitu ketakutan padanya.
Saya mohon jangan berkata kasar pada Nona Evelyn. Hindari perkataan yang mungkin membuat Nona Evelyn merasa tertekan yang akan membuatnya stres.
Itulah pesan Dokter Lenin, ketika Aaron kembali mempertanyakan keadaan Evelyn.