2008, Stasiun Kereta Bawah Tanah.
Dany Brown, remaja 17 tahun itu duduk lesu si sebuah kursi tunggu stasiun. Kursi itu teletak agak di ujung, tersembunyi dan jarang diduduki orang lain. Perlahan dia tampak mengusap bulir air mata yang tak hentinya keluar dari matanya yang berwarna coklat tua itu. Pemuda bekulit putih dengan rambut berwarna coklat senada dengan warna matanya itu, memakai stelan hitam. Sekali lihat saja sudah jelas, dia sedang dalam keadaan berkabung.
Dany Brown hari ini menjadi yatim piatu. Ibunya baru saja dimakamkan menyusul ayahnya yang telah lebih dulu dimakamkan 3 tahun yang lalu. Hati kecil remaja itu seperti tak sanggup untuk menampung beban hidupnya. Dia terisak dan akhirnya tangisnya pecah diantara bunyi mesin kereta dan sirine yang bersahutan.
"I-Ibu ... hiks, kenapa kau lakukan ini? kenapa kau meninggalkanku sendiri, hiks ..." Dany meratap, air matanya tak mau berhenti walaupun dia berusaha menghentikan tangisnya.
Dalam kesedihan itu, sesuatu menarik perhatian Dany. Seorang gadis berjalan pelan dan duduk di sampingnya sambil menangis. Gadis itu menghentak-hentakkan kaki, sepertinya dia sangat kesal. Dengan seragam dan tas yang disandangnya, bisa terlihat bahwa gadis tersebut merupakan seorang siswa. Karena gadis berkucir kuda itu terus saja terisak, Dany mengusap air matanya dan dengan ragu menyentuh bahu gadis itu, menggunakan telunjuknya.
"K-Kau ... hiks, mengapa duduk disini? pergi dari sini. Masih banyak kursi kosong lainnya."
"Huaa! ... hiks ... hiks ..." Gadis itu menangis sejadi-jadinya, membuat Dany kebingungan.
"K-kenapa malah menangis? Aku hanya menyuruhmu pindah tempat. Bukan memarahimu."
"Hiks, memangnya Aku salah apa? kenapa semua orang ingin Aku pergi? Aku bukan orang jahat, hiks ... hiks ... kenapa semua orang tak ingin bersamaku untuk waktu yang lama?"
"K-Kau ... berhentilah menangis. Akupun sedang sedih, jika kita berdua menangis disini, apa kata orang-orang?"
Perkataan Dany tak berhasil. Tangis gadis itu malah semakin menjadi-jadi. Dany terdiam, karena tiba-tiba gadis itu memeluknya, "Kau itu laki-laki, laki-laki tak boleh menangis. Jadi kau diamlah, biar Aku saja yang menangis, hiks ... hiks."
Gadis itu terus memeluk Dany. Dany akhirnya mengusap punggung gadis tersebut dengan canggung. Gadi asing berseragam itu adalah Hana Foster. Seorang siswa yang baru saja putus cinta.
***
Setengah jam kemudian. Dany turun dari kereta, Hana ikut di kereta itu, dan turun di stasiun yang sama. Dany memperhatikan Hana yang berjalan dengan ragu-ragu. Setelah beberapa langkah, Hana berhenti lalu berbalik menantap Dany.
"Gingsul, mau pergi minum denganku?"
"Kita belum cukup umur untuk minum, dan namaku Dany. Bukan gingsul."
Hana berpikir sejenak, "Kalau begitu, mau makan mi rebus? ayo makan di toserba sana."
"Tidak bisa, aku harus ..." belum sempat Dany menarik nafas, Hana sudah menariknya lebih dahulu.
Beberapa menit kemudian, Hana keluar dari toserba sambil membawa dua cup mi panas, "Ini untukmu."
Hana menaruh mi tersebut di atas meja, Dany menatapnya dengan jengkel, "Kau ini sebenarnya kenapa? kita tak saling mengenal, tapi kau tiba-tiba menarikku kemari!"
"Sstt ... jangan ribut. Makan saja, aku lapar."
Hana mengambil mi agak banyak dari cup, dan segera memasukkan mi tersebut ke mulutnya, "Gingsul, ngomong-ngomong, tadi kenapa kau menangis?"
"Menyebalkan sekali. Sudah kubilang namaku Dany, Dany Brown!" Dany menghela nafas frustasi. Entah kenapa dia malah terjebak dengan Hana disini, padahal mereka sama sekali tak saling mengenal.
"Itu karena gigimu tak rata, liat satu gigimu runcing, dan ... uhuk, uhuk ... G-Gingsul," Hana memukul-mukul dadanya karena tersedak.
"Dasar," Dany berdiri lalu menggosok-gosok punggung Hana, "Makan atau bicara, tak bisakah kau pilih salah satu? kenapa harus melakukan keduanya sekaligus?"
Dany terus menggosok punggung Hana, hingga Hana merasa baikan. Hana kemudian menatap Dany lalu tersenyum manis.
"Terimakasih,"
Dany tiba-tiba terdiam menatap wajah Hana. Setelah beberapa saat dia berdehem dan berdiri dengan gugup, "Kenapa kau senyum seperti itu? menggelikan sekali. Sudah cukup. Aku mau pulang."
Dany segera pergi meninggalkan Hana. Namun, Hana segera menyelesaikan makannya dengan cepat, lalu menyusul Dany. Beberapa menit kemudian, Dany merasa risih karena Hana terus saja mengikutinya. Dany berhenti, Hana ikut berhenti. Dany melangkah Hana ikut melangkah. Dany dengan kesal tiba-tiba berbalik.
"Kau mau apa? kenapa mengikutiku?!"
"A-Aku ... sepertinya aku tersesat."
"Kau tidak tinggal di daerah ini?" Hana menggeleng, Dany menghela nafas kesal, "Lalu kenapa kau turun denganku di stasiun?"
Hana hanya diam, Dany mengacak-acak rambutnya, lalu mengambil kunci dari sakunya.
"Terserahlah, minggir aku mau masuk!"
"Ini rumahmu? pantas saja berhenti disini, kemarikan kuncinya."
"Siãl, kau ini sebenarnya ..." Dany tak sempat melengkapi kalimatnya. Hana merampas kunci dari tangan Dany, lalu membuka pintu.
"Wah, terbuka. Kau mau tetap di luar? ayo masuk." Hana langsung masuk ke rumah Dany, lalu merebahkan dirinya ke sofa.
Dany menatap Hana tanpa daya, "Ya Tuhan, cobaan apalagi ini."
***
Beberapa menit kemudian, Dany yang baru saja selesai mandi pergi ke ruang tamu, lalu menatap Hana yang sedang tertidur.
"Gadis ini gila atau apa? masuk sembarangan ke rumah orang asing. Apa dia tidak takut? Apa dia tak punya keluarga?"
"H-hiks ..." Hana tidur sambil terisak. Dany menatap Hana lekat. Deg! jantungnya tiba-tiba tak bisa dikendalikan. Dengan gugup Dany segera menyelimuti Hana, dan berlalu ke kamarnya.
Keesokan harinya, Dany keluar kamar untuk melihat Hana. Namun, Hana tak berada di sofa. Dia berkeliling sejenak tapi tak menemukan Hana dimanapun, yang dia temukan hanya setumpuk piring kotor dan sebuah surat yang di tempel di kulkas.
Dear Gingsul
Terimakasih sudah membiarkanku bermalam di rumahmu. Sampai bertemu lagi dilain waktu. Oh iya, di dalam kulkas ada empat bungkus mi. Aku memakannya tiga bungkus, dan aku menyisakan stau bungkus untukmu. Aku memang sebaik itu. Jangan lupakan aku ya.
Hana Foster
Setelah membaca surat itu, Dany segera membuka kulkas dan memeriksa isinya.
"Dasar, dia memakan hampir setengah bungkus sosis, dan juga menggunakan empat buah telur. Makannya banyak juga."
Dany menutup kulkas lalu bersandar sambil menggelengkan kepalanya. Entah kenapa dia tiba-tiba tersenyum. Beberapa detik kemudian dia tersadar dan memukul kepalanya
"Apa yang kupikirkan? Sial. Aku sepertinya sudah gila."
***
Tiga bulan kemudian, di sebuah restoran sederhana. Hana Foster duduk sambil memesan makanannya.
"Bibi, satu mangkuk mi dengan daging. Banyakkan dagingnya, jangan terlalu pedas, dan beri aku ekstra telur."
Hana selesai memesan. Beberapa menit kemudian seorang pemuda mendekatinya perlahan, "Hana Foster?" Pemuda itu tersenyum tak percaya.
Hana terbelalak, "Gingsul!"
Dari sini mereka memulainya. Persahabatan yang dipenuhi dengan momen bahagia. Seiring waktu berlalu, ada benih asing yang tumbuh dari persahabatan itu. Dany Brown, dari awal tak pernah menganggap Hana sebagai sahabat biasa. Namun, Hana tak pernah menanggapi perasaan Dany. Dia hanya sibuk dengan dunianya sendiri. Walaupun begitu, mereka selalu ada untuk satu sama lain, dan saling melindungi.
To be continue