Good In Goodbye (7)

1734 Words
"Selamat datang ...." Hana terpaku begitu dia membuka pintu. Tamu yang dimaksud Max sudah tiba dan tak disangka mereka adalah Dany dan Laura. Dany pun sama terdiamnya. Dari awal dia tahu bahwa dia akan mengunjungi rumah dimana Hana dan suaminya tinggal sementara. Dia juga sudah mempersiapkan diri sejak dari penginapan. Berusaha untuk bersikap wajar, dia bahkan melakukan teknik pernafasan agar tidak mengalami kegugupan jika berhadapan dengan Hana. Namun, tetap saja. Begitu melihat Hana, Dany masih tertegun. Matanya hampir tak berkedip. Dia menatap wajah Hana yang lembut dan polos, dia juga hampir kehilangan dirinya. Sementara itu, Laura yang berada di samping Dany, hanya mengawasi keadaan. Laura menatap Hana dan Dany bergantian. Menatap mata mereka yang tampak masih memiliki rasa. Laura yakin, rasa itu tak sesamar yang terlihat. Tatapan mata Dany menjelaskan semua itu. "Hai, Laura, Dany, kalian sudah tiba?" suara Max memecah keheningan diantara mereka. Hana dan Dany akhirnya tersadar dan saling menghindari tatapan mata satu sama lain, "Kenapa berdiri di luar? ayo, silahkan masuk," ucap Max kemudian. "Selamat malam, Max," Laura tersenyum. "Max, yang kau undang ternyata Dany?" Hana memastikan. "Kejutan! bagaimana, kau senang? aku mengundang sahabatmu dan tunangannya untuk makan malam di rumah kita. Aku dengar mereka juga tidak lama berada di kota ini. Jadi, aku memanfaatkan waktu dan mengundang mereka." "Max, kau benar-benar ...." Hana tak bisa berkata apapun lagi. Dany juga masih diam, dan tak tau harus bereaksi seperti apa. "Baiklah, aku sudah memasak cukup banyak hari ini. Saatnya makan malam. Ayo, semuanya ke meja makan!" Max bersemangat. Dia merangkul Hana menuju ke meja makan, sementara Laura juga merangkul Dany dengan manja mengikuti Max. Lima menit berlalu saat semua duduk di depan meja makan yang penuh dengan berbagai hidangan tersebut. Hana berdehem beberapa kali, dia tampak tak nyaman. Seperti ada yang tersangkut di tenggorokannya. Sementara Dany hanya mematung. Menatap meja makan di depannya. Rasanya sangat asing berada di meja makan yang sama dengan Hana, namun dalam kondisi yang berbeda. "Wah! Max, kau yang membuat semua ini?" Laura memulai pembicaraan. "Tidak juga. Istriku ikut membantu," ucap Max sambil menatap Hana dengan lembut. "Begitu rupanya. Dany juga pintar memasak. Dia membuatkan makanan enak untukku setiap hari. Iya kan, sayang?" Laura tersenyum ke arah Dany. Dany membalas dengan senyuman sesaat. "Tunggu apa lagi, ayo ambil makanannya. Dany, jangan sungkan. Aku sengaja membuat ini untuk kalian. Jadi kalian harus menghabiskannya," ucap Max sambil bercanda. Dia memberikan piring ke Dany dan juga Laura, "Sayang, kau juga makan," Max mengambilkan makanan untuk Hana. "Max, berikan aku pasta yang banyak, dan kuah pedasnya," ucap Hana kemudian. "Hmm, istriku hanya ingin pasta dengan kuah pedas, baiklah." Max mengambil beberapa gumpal pasta dengan garpu, lalu menyiramkan kuah harum berwarna merah yang terlihat memang agak pedas. "Kau sudah bisa makan banyak begitu? berhati-hatilah, nanti perutmu begah," ucapan Dany yang tiba-tiba membuat semua orang di ruangan terdiam. Dany menatap Hana dengan raut wajah serius. Laura sontak menepuk paha Dany, lalu mengambil makanan agar suasana tidak menjadi canggung. "Sayang, ini ayam goreng, kau suka bagian sayap, kan? Max membuatnya dengan enak," ucap Laura kemudian. "Terimakasih, Laura. Walau tak seenak yang dibayangkan, hahaha," sambung Max, "Sayang, perutmu benar-benar bisa begah? aku melihatmu makan semaunya, tapi tak pernah melihatmu begah." "Jangan hiraukan dia, dia asal bicara." Hana memasukkan satu gulungan besar pasta ke mulutnya. "Heh, perutnya sangat lemah. Tapi dia masih makan banyak. Mungkin saat begah dia tidak memberitahumu," ucap Dany lagi. "Wah, kalian sepertinya benar-benar akrab," sambung Max. "Kau tahu, setiap dia begah aku benar-benar kerepotan. Aku harus membuatkan teh mint, dan menggendongnya. Kau pasti tahu, istrimu itu, berat sekali," "Siapa yang berat! dasar kau ini," Hana mengangkat tangannya mengancam akan memukul Dany. Hal itu membuat Max tertawa. "Hahaha, Sayang. Tapi ... Dany benar, kau sedikit berat," "Max! kau memihak padanya!" "Hahaha, jangan marah. Habiskan makanmu," Max mendorong piring Hana lebih dekat ke arah istrinya tersebut. Lalu kembali tertawa. Dany, juga ikut tertawa. Suasana riuh sejenak oleh suara tawa dua laki-laki tersebut. Sementara itu, Laura hanya diam memperhatikan Dany dan Hana bergantian. "Dany, aku tak suka dengan caramu menatapnya. Tatapan seperti itu hanya boleh untukku." Batinnya, agak sedikit kesal. Setelah makan malam berlalu, Max dan Dany duduk di ruang tamu, sementara Hana dan Laura masih di ruang makan. Hana membereskan meja makan, meletakkan piring kotor ke wastafel, dan Laura hanya berdiri melipat tangannya sambil menatap Hana. "Hana, kau sudah lama berteman dengan Dany?" tanya Laura kemudian. "Sejak sekolah," jawab Hana singkat. "Kalian satu sekolah?" "Tidak, kami bertemu di stasiun." "Lalu, siapa yang pertama mengajak berteman?" Hana berhenti sejenak, lalu menarik nafas panjang, "Aku," ucapnya lagi. Lalu kembali beranjak ke wastafel. "Hmm, ternyata sejak dahulu Dany seperti itu. Denganku pun, sama. Aku mengajaknya berkencan duluan. Tapi kini kami sudah mau menikah," "Selamat atas pernikahan kalian," "Kau dan Dany ... apakah pernah tinggal di satu rumah yang sama?" "Mengapa kau menanyakan itu?" "Aku hanya penasaran. Kau benar-benar sahabat Dany atau ..." "Aku sahabatnya. Yah, kami cukup akrab hingga tinggal bersama. Tapi, kau lihat sekarang. Aku punya keluargaku sendiri, dan kau akan segera menikah dengan Dany." "Hmm, aku tau. Kau tak mungkin punya perasaan terhadap Dany, kan? maaf aku hanya penasaran saja." Laura tersenyum, Hana hanya menghela nafas dan melanjutkan pekerjaan bebersihnya. Sementara itu, di ruang tamu Max dan Dany tampak tak banyak bicara. Namun, Max berusaha untuk lebih akrab pada Dany. Dia berusaha mencairkan suasana, bertanya ini itu agar percakapan menjadi asik. "Aku kira, Hana benar-benar tak punya teman. Kau tahu, bahkan saat pernikahan kami, hanya ada keluarga yang datang. Dia tak mengundang satupun kenalannya. Karena itu, aku sangat antusias begitu tahu kau adalah sahabat Hana sejak lama." "Mengapa kau begitu antusias? aku dan Hana hanya teman lama. Kami sudah lama terpisah," "Justru itu. Aku ingin berbagi cerita dengan teman-teman Hana. Dia begitu tertutup, hingga kami tak pernah membicarakan hal-hal tentangnya. Sekarang kau ada disini, jadi aku bisa bicara denganmu." "Mengapa kau ingin tahu tentang masa lalau istrimu?" Dany menatap Max tajam. "Wow, Kawan, sepertinya kau salah paham. Aku bukan ingin mengorek masa lalu istriku dengan niat buruk. Jangan berpikiran seperti itu," "Sangat aneh bahwa kau telah lama menikahinya, namun masih bertanya-tanya tentang masa lalunya." " Ah, benar juga. Sikapku pasti membuat orang lain salah paham. Aku jadi merasa tak enak pada istriku dan juga padamu." Max diam sejenak, lalu menundukkan kepalanya. Beberapa menit kemudian, Dany menatap Max dan menghela nafas panjang. "Kau, tak punya niat lain, kan? hanya sekedar ingin tahu," ucap Dany kemudian. "Sudah kukatakan. Tapi, tak apa. Aku tak seharusnya bertanya tentang masa lalu istriku," "Maafkan aku. Aku terlalu sensitif. Seorang suami, wajar bertanya tentang istrinya. Apa yang ingin kau tahu?" Dany bersandar ke sofa sambil melipat tangannya. Max tersenyum, dengan antusias dia menyatukan kedua tangan dan agak mencondongkan tubuhnya, "Bagaimana Hana dahulu? apa dia memang acuh seperti saat ini?" Max memberikan pertanyaan pertamanya. "Bisa dikatakan begitu, namun bisa dikatakan tidak juga. Dia hanya bertindak sesuai suasana hatinya." "Lalu, apa dia dahulu populer?" "Sangat populer, hingga pacarnya berganti setiap minggu," "Benarkah? ya ampun, aku tak tahu bahwa istriku seorang primadona." "Maaf, tapi lebih tepatnya playgirl," "Hahaha, kau frontal sekali." "Dia sangat merepotkan. Terus saja berganti pasangan, dan akhirnya dia menangis karena putus. Jika sudah begitu, aku yang menjadi sasarannya." "Bisa kubayangkan seberapa akrabnya kalian. Wah, pantas saja dia sangat biasa memiliki suami yang tampan seperti aku. Ternyata dia punya banyak pacar." "Tak bisa kupercaya kau menyebut dirimu tampan," "Hahaha, kau tidak menyukai itu? Hana juga tidak menyukainya. Dia benci saat aku memuji diri sendiri. Tapi, bagaimana lagi, itu memang kebiasaanku." "Kalian sedang bicarakan apa?" Hana dan Laura yang baru saja keluar dari dapur menghampiri Max dan Dany di ruang tamu. "Sayang, aku bicara dengan Dany tentangmu. Wah, aku tak tahu ternyata kau dulu adalah playgirl," Max tersenyum sambil mengatakan kalimat tersebut. "Kalian membicarakan aku? Dany, kau mengatakan aku playgirl?" "Kau dulu memang playgirl," "Aku bukan playgirl, dasar bodoh. Aku bahkan tidak pernah selingkuh." "Tapi, Kau berganti pasangan setiap minggu." "Kau ini ..." "Hahaha, sudah sayang. Jangan marahi Dany, tak masalah kau playgirl atau bukan. Yang penting sekarang kau adalah milikku," Max menggenggam tangan Hana, lalu mengecupnya. "Selagi membicarakan itu, aku ingin bertanya sesuatu," Laura duduk di samping Dany, lalu menatap Hana, "Hana dan Dany ... kalian dulu pernah menjalin hubungan?" pertanyaan Laura membuat suasana sunyi sejenak. Hana dan Dany saling pandang, dan tak langsung menjawab pertanyaan Laura, membuat Laura menatap mereka dengan curiga, "Kalian benar-benar pernah menjalin hubungan?" Laura kembali bertanya. "Tentu saja," jawab Dany. Hana sontak menatap Dany tak percaya, "Hubungan kami, adalah sahabat. Kami berdua sangat akrab satu sama lain," ucap Dany kemudian. Hana menghela nafas, lalu menatap Max, "Kau juga penasaran tentang hal itu?" "Tidak. Aku hanya penasaran tentang Hanaku. Bagaimana kau menjalani hidupmu sebelum bertemu denganku, agar aku bisa memiliki acuan untuk berubah lebih baik lagi, demi membuatmu bahagia. Sekarang, aku tahu kau punya banyak mantan pacar, ayo katakan padaku. Mantan pacarmu, semuanya tidak ada yang setampan aku, kan?" Max menggoda Hana. "Sikap percaya dirimu ini, benar-benar menjengkelkan," Hana menggelengkan kepalanya membuat Max terkekeh. "Dany, kau lihat? dia benci saat aku memuji diriku sendiri. Hahaha," Dany menatap Max dan Hana lekat. Max masih menggoda Hana, dan Hana sesekali memukul pelan bahu Max. Selagi Dany memperhatikan Max dan Hana. Laura memperhatikan Dany, dan sekali lagi mendapati bahwa tatapan Dany ke Hana adalah tatapan yang tidak biasa. "Sepertinya kami harus pulang, sudah larut," ucap Dany setelah memeriksa jam di tangannya. "Sudah mau pulang? bagaimana jika kita minum anggur?" Max hendak beranjak mengambil botol anggur yang dia pajang di lemari ruang tamu, sebelum akhirnya Dany melarang. "Aku tidak minum. Terimakasih telah mengundang kami. Laura, ayo kita pulang." Dany beranjak menuju pintu utama diikuti Laura dari belakang. Max dan Hana juga ikut mengantar Dany hingga ke pintu. "Sayang sekali. Terimakasih sudah datang berkunjung, dan semoga pernikahan kalian lancar," Max mengulurkan tangannya ke arah Dany. Dany menyambut tangan tersebut. Mereka berjabat tangan sejenak, lalu Dany berbalik untuk pergi. "Ah, jangan lupa datang ke pernikahanku," ucap Dany sambil menatap Hana. "Aku tidak janji. Tapi aku mendoakan yang terbaik untukmu," Hana balas menatap Dany lekat. "Terimakasih," setelah ucapan singkat itu, Dany berlalu meninggalkan Hana dan Max. Hana menatap punggung Dany yang semakin menjauh, lalu masuk ke dalam rumah setelah beberapa saat. Tiga jam kemudian. Waktu menunjukkan pukul satu dinihari. Dany yang sedang terlelap dibangunkan oleh deringan ponsel di samping tempat tidurnya. Dany meraih ponsel tersebut, lalu mengangkat telepon dengan setengah sadar. "Halo," ucap Dany sambil menguap. "Halo, Dany. Bantu aku, aku tak tahu harus melakukan apa!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD