- 09 -

1489 Words
Shaline. Nama yang terdengar sangat indah, seindah wajah dan sepasang matanya yang berwarna abu-abu terang yang terlihat menawan dibalut dengan bulu mata lentik yang sangat lebat. Sepasang alis yang membingkai mata indah itu pun tidak terlalu tebal dan melengkung sempurna dengan tulang hidung yang tidak terlalu tinggi dan bibir kemerahan yang sangat memanjakan mata siapa pun. Begitu juga dengan Dhanu. Pemuda itu seperti sangat takjub ketika melihat dari dekat bagaimana cantiknya sosok wanita yang dia ikuti hingga membawanya ke tempat ini. Shaline, nama yang sangat indah dari orang yang telah membuatnya jatuh cinta hanya pada pandangan pertama. Sungguh, betapa hinanya dia karena sudah menyukai seorang wanita yang hanya dia liat dua kali dan bahkan baru hari ini dia mengenal nama wanita itu tapi dia sudah dengan lancangnya merasakan cinta, Jika saja Shaline tahu kalau Dhanu menyukainya, bukan tidak mungkin Shaline akan langsung memandang jijik pada Dhanu. Setelah mereka bercakap-cakap di koridor lantai dua, Martha yang merasa kalau percakapan mereka terasa sudah sangat tidak imbang, memutuskan untuk mengajak Dhanu ke ruang kerja miliknya. Martha memang seorang sukarelawan tapi, pihak panti asuhan memberikan wanita berambut cokelat ini sebuah ruangan yang cukup nyaman agar Martha bisa sering datang ke panti asuhan tersebut, membantu dan dicintai oleh anak-anak asuh di sana. Ruangan yang dimasuki oleh Dhanu memang cukup luas, ada sebuah meja dan sepasang kursi yang saling berhadapan tepat di sudut ruangan di depan jendela yang mengarah pada halaman depan, memperlihatkan pohon kering yang daunnya sudah rontok karena pergeseran musim. Namun, ketika musim semi tiba nanti, dedaun dari pohon-pohon besar yang ditanam tepat dekat gerbang dan halaman depan akan sangat menyejukkan mata ketika lelah bekerja. Selain meja dan kursi untuk bekerja, di sana juga ada sebuah lemari kaca berukuran kecil berisi buku-buku dan beberapa bundle dokumen yang tersusun rapi, sementara di atas lemari ada beberapa piala dan piagam perhargaan yang ditulis dengan huruf sirilik yang sama sekali tidak bisa dibaca oleh Dhanu. Ketika tiba di ruangan itu, Martha langsung membuka jaket tebal yang dia pakai sejak tadi, menyampaikannya pada gantungan jaket kemudian mempersilakan Dhanu untuk duduk di mana pun pria itu suka. "Vy khotite goryachey kofeynoy chashki" [ Mau secangkir kopi? ] Tanya Martha sambil mulai meracik secangkir kopi menggunakan bubuk kopi yang berada tepat di sebelah meja kerja. "Ah, tidak. Terima kasih, itu akan merepotkan." "No, no, no, tidak merepotkan sama sekali. Gula atau krimer? "Gula saja, sedikit, tolong." "Setengah atau satu sendok teh?" "Umn ... setengah." "Okay ...," Martha mulai menuangkan air panas dari termos elektrik kemudian menaruh setengah sendok teh gula dan mengaduknya perlahan, "Shaline, vy vidite detey?" [ Shaline, kau melihat di mana anak-anak? ] tanyanya pada Shaline yang berjalan ke arah meja di sudut ruangan dan menaruh clipboad, berisi lembaran-lembaran kertas yang berisi data kamar anak-anak panti asuhan yang butuh perbaikan. "Raspolozhen sad pozadi , igraya." [ Mereka ada di taman belakang, mereka sedang bermain. ] "I drugiye?" [ Lalu, suster Zcetieva dan suster-suster yang lain? ] "Sister Zcetieva pomogat' Irina gotovit' uzhin, pomogal Irine gotovit' uzhin, poka ostal'nyye smotreli." [ Suster Zcetieva sedang membantu suster Irina menyiapkan makan malam dan beberapa suster lain sedang mengawasi anak-anak bermain di halaman belakang. ] Jelas Shaline. "Bapa Gueldana?" "Sobirayus' v gorod krishi." [ Dia sedang ke Kirishi, kan? ] "Ya zabyl. Itak poka tam, kto glavnyy?" [ Ah, aku lupa. Jadi, selama Bapa Gueldana di sana, siapa yang bertanggung jawab? ] "Suster Irina." "Ty ostanesh'sya segodnya vecherom?" [ Kau menginap malam ini? ] "No. Mne vse yeshche nuzhno ubedit' Aramazda Gastona sdelat' obeshchannoye im pozhertvovaniye." [ Tidak. Aku masih harus membujuk Aramazd Gaston untuk donasi yang dia janjikan. ] "Utebya yego vse yeshche net?" [ Kau masih belum mendapatkannya? ] "Kak mne dobrat'sya, yesli kogda ya prikhozhu v ofis, yego tam net. i kogda yego lichnyy pomoshchnik skazal yemu, chto u nego yest' Petergofskiy dvorets. no kogda ya prishel, on otkazalsya so mnoy razgovarivat'?" [ Bagaimana bisa kudapatkan kalau pria itu sangat sulit ditemui?] Jawab Shaline terdengar marah. [ Aku datang ke kantornya pagi tadi tapi, asisten pribadinya mengatakan kalau dia ada di Peterhof Palace. Aku ke sana dan kau tahu, dia mengacuhkanku seperti dia tidak pernah berjanji apa pun padaku. Jangankan jawaban, basa-basi pun tak ada. ] Selama Shaline menjelaskan, tak sedetik pun Dhanu memalingkan wajah dari wanita berambut panjang itu. Suaranya tergolong ke dalam mezzo soprano, suara yang tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah, jenis suara yang khas dimiliki oleh wanita dewasa. Dan untuk Shaline, jenis suara yang dimiliki olehnya seolah menggambarkan kharisma wanita tersebut. Benar-benar menawan dan sangat anggun ditunjang oleh paras indah tubuh yang indah sempampai. "Astagfirullah ...." Gumam Dhanu sambil memalingkan wajahnya dari Shaline dan mengusap wajahnya karena sudah memandang sesuatu yang tidak seharusnya dia pandang. "Loh, kenapa?" Dhanu dikejutkan oleh pertanyaan Martha yang menaruh secangkir kopi panas yang baru saja selesai dibuat. Karena tidak mampu menjawab pertanyaan Martha, Dhanu hanya tersenyum canggung sambil menggeleng saat pertanyaan Martha. "Nggak usah khawatir. Aku nggak lama, aku cuma mau ambil laporan yang dibuat Shaline tadi. Nggak lama, nanti habis ini aku bakal antar kamu, kok." Ucap Martha yang sepertinya tidak paham alasan Dhanu bersikap demikian. Dan, harusnya Dhanu bersyukur karena tidak ada satu pun dari kedua wanita ini yang sadar kalau sebenarnya sejak tadi dia menahan diri untuk tidak melarikan diri dari ruangan itu. "Nggak, Mbak. Aku cuma penasaran, kalian itu kerja di sini?" Sekali lagi Dhanu bertanya hal yang sama dan rasanya sangat memalukan karena dia seolah dirinya tidak memiliki bahan lain untuk diobrolkan. Karena pertanyaan Dhanu itu, Martha kembali terkekeh. "Aku kerja di sebuah perusahaan properti. Tapi, karena dia sedang mengurus banyak hal di Indonesia dia memercayakan usaha ini padaku untuk sementara waktu," jelas Martha sambil duduk dan menyesap cangkir berisi kopi miliknya, "dan Shaline dia bekerja sebagai— " "Ya idu na zadniy dvor, chtoby uvidet' detey, yesli vy sobirayetes', prosto ukhodite." [ Aku akan pergi ke halaman belakang untuk melihat anak-anak, kalau kau mau pulang dan mengantar dia, pergi saja. Aku pulang nanti malam. ] "Tidak ada bus yang lewat setelah pukul empat sore, Shaline~ " "Aku bisa pesan taksi." Jawab Shaline ketus sambil berlalu meninggalkan ruangan tersebut. Sementara Martha hanya bisa menggeleng maklum dengan kelakuan wanita berparas indah dengan rambut panjang indah sepinggangnya itu. "Maafkan aku, dia memang sedikit keras." "Ortodoks?" Martha menggeleng. "Atheis. Dia nggak percaya sama Tuhan, tapi, kamu atau aku nggak bisa judge dia untuk pilihan itu. Karena terkadang, pilihan seseorang diambil setelah sebuah tragedi atau rasa sakit yang sudah terlalu mengerak di hati orang tersebut." Jelas Martha dan tentu saja Dhanu tidak mungkin melakukan hal yang baru saja disebutkan oleh Martha. Karena selain mereka baru saja bertemu muka, mereka memang terlahir di negara dan kebudayaan yang berbeda. Jadi, rasanya wajar jika di lingkungan tertentu seseorang mengambil pilihan tertentu. "Kamu habiskan dulu kopinya, pasti dingin banget tadi di luar, kan? Habis ngopi, kita langsung jalan." Ucap Martha. Sungguh, sikap Martha dan Shaline sangat bertolakbelakang, yang satu hangat dan ramah yang satunya dingin seperti salju yang turun di bulan Desember. Salju yang selalu terlihat indah, dengan rasa dinginnya yang menusuk. Sebuah keindahan yang membawa rasa dingin yang membunuh. Begitu pun dengan Shaline yang sangat cantik dengan semua sikap kasar yang membungkus sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Sama seperti salju yang membungkus tanah di bawahnya, menyembunyikan hangat dan menguburnya dalam. Mungkin, begitu juga dengan Shaline. Sementara Dhanu menyesap kopi panas yang disuguhkan oleh Martha, wanita berambut cokelat itu mulai disibukkan dengan lembaran-lembaran kertas yang taruh di atas meja kerjanya oleh shaline. Mencoba untuk tidak terlalu ikut campur dalam urusan orang yang baru saja dia kenal, Dhanu memilih diam sambil terus menyesap kopi yang disuguhkan untuknya. Hingga setelah beberapa menit, Martha membaca lembaran kertas itu, wanita ini pun bangkit dan menaruh cangkirnya yang sudah kosong ke meja yang dia gunakan untuk menaruh termos juga cangkir cangkir utuk membuat kopi tadi. "Sudah selesai, Dhan?" "Eh, iya, Mbak." "Mau pulang sekarang?" "Kalau boleh, iya." "Ya udah, ayo. Aku juga harus pulang dan memeriksa apakah barang-barang ini ada di toko atau tidak." Ucap Martha sambil melipat kertas itu dan memasukannya ke dalam saku jaket tebal yang sekarang sudah dia ambil dari gantungan. Melihat Martha yang sudah bersiap dengan pakaiannya, menatap Dhanu yang juga sudah ikut berdiri dengan membawa cangkir bekasnya untuk ditaruh di tempat yang sama dengan Martha. Namun, Martha menahan dengan meminta Dhanu untuk membiarkan cangkir itu di sana. "Nggak apa-apa, di sana aja. Nanti dibereskan sama Shaline." "Tapi, Mbak?" "Udah, biarin. Ayo kita ke luar, ini sudah mau malam, aku takut kalau terlalu malam temanmu akan semakin khawatir." Ucap Martha dan yang dikhawatirkan oleh wanita itu memang ada benarnya karena sejak Dhanu memutuskan untuk mengikuti Shaline hingga sampai ke Leningrad seperti ini. Sambil mengangguk Dhanu kembali menaruh cangkir itu di meja dan mulai mengikuti Martha kenluar dari ruangan tersebut. Seluruh lorong koridor masih terlihat sepi, tidak ada satu orang pun terlihat di sana kecuali hari semakin lama semakin gelap dan meninggalkan lampu-lampu di seluruh sisi bangunan itu yang mulai dinyalakan. _
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD