- 10 -

2205 Words
Pantai Indah Kapuk — Jakarta Utara 09:55 . . . Mentari pagi menyusup melewati celah gorden yang tidak tertutup rapat. Karena cahaya itu, beberapa kali Riandra mengerjap karena silau yang sedikit mengganggunya. Mungkin suara kicau burung tidak bisa dia dengar dari tempatnya tinggal saat ini, karena selain berada di tengah daerah perkotaan, dan populasi burung yang tidak sebanyak di pedesaan tapi, pria ini masih cukup merasa bersyukur karena tidak harus dibangunkan oleh suara bising knalpot atau klakson kendaraan yang lalu-lalang di sekitar kompleks tempatnya tinggal. Sambil mengusap wajah dan sedikit mengucek matanya yang terasa lengket, Riandra mencoba bangun. Tidurnya terasa sangat kurang malam tadi, karena selain dia baru bisa tidur pukul dua dini hari tadi, subuh pun dia kembali dibangunkan oleh adzan subuh dari speaker masjid yang berada di depan kompleks. Usai sholat subuh, pria ini kembali mencoba melanjutkan pekerjaannya yang masih tersisa tapi, entah bagaimana ceritanya dia pun kembali tertidur tepat di depan laptop yang masih menyala dan sekarang, kepalanya pun terasa sakit karena pola tidur yang benar-benar tidak teratur. “Padahal, waktu masih ada kamu di sini, aku nggak pernah ngerasain apa itu sakit kepala. Tapi, sekarang rasanya kepalaku sakit tiap waktu.” Ucap Riandra tertunduk sambil tersenyum, sementara tangannya mencoba memijit pangkal hidung, berharap bisa meringankan rasa sakit yang seolah membuat kepalanya terasa sangat berat. Riandra menyandarkan tubuhnya pada sofa yang sedang dia duduki, sementara tangannya masih sibuk memijit angka hidung dan terus hingga ke kening. Sambil berharap rasa sakit kepalanya bisa hilang, pria itu mulai menatap ke arah bingkai foto raksasa yang hanya ada satu-satunya di ruang baca tersebut. “Hai, selamat pagi.” Ucapnya, seolah wanita di dalam bingkai foto itu bisa mendengar suaranya. Kendati demikian, Riandra tetap bersikap seolah dirinya memang benar-benar bicara dengan dia yang berada di dalam bingkai foto raksasa itu. “Ah, kau tahu. Kemarin aku bertemu dengan orang-orang dari perusahaan milik Wedha Wardoyo, termasuk Wedha Wardoyo sendiri. Mereka ingin melakukan kerja sama dengan perusahaanku tapi mereka bertindak curang dan ingin merangkul pembeli hanya dari kalangan atas. Apa menurutmu, aku batalkan saja kerja sama dengan mereka?” tanya Riandra, seolah bingkai foto itu hidup dan bisa dia ajak bicara. “Zihar, aku tahu kalau perusahaan yang dibangun oleh keluargaku selama beberapa dekade terakhir ini hanya mencakup pada mengambil keuntungan dari kalangan menengah ke atas, sementara masyarakat yang berada di luar itu pun sudah terdoktrin dengan kekuatan pasar di mana kita hanya menerima pembeli yang berasal dari kalangan tersebut dan tidak untuk yang lain. Tapi, apa aku benar-benar tidak bisa mewujudkan keinginanmu untuk membuat satu saja kompleks properti perumahan yang punya taraf kelas bintang lima dengan fasilitas setara dengan peruahan elit di Jakarta namun berada di harga pasar yang bisa dijangkau siapa pun termasuk buruh harian lepas?” ucapnya bangun dari duduk, menutup laptop yang masih menyala dan mulai bergerak mendekat ke arah bingkai foto raksasa yang tepat berada di hadapannya. “Padahal, aku selalu membayangkan saat aku ‘dihajar’ oleh mereka yang tidak sepaham denganku, kau ada di sana, membantuku, menyemangatiku dan menyudutkan mereka dengan keuntungan yang mereka inginkan di tengah modalku yang membuat mereka ‘terpaksa’ mengikuti semua keinginanku. Tapi, kau sudah tidak bisa kuganggu lagi untuk semua keluhanku yang terdengar sangat melelahkan ini ...,” Riandra menghentikan kalimatnya. Pria ini terkekeh, mengingat bagaimana konyolnya dia ketika mengingat tingkahnya sendiri yang sangat memalukan dulu Dengan semua kenangan tidak nyaman untuk diingat itu, Riandra pun terkekeh. “padahal, aku hanya orang kurang ajar dan menyebalkan tapi diberikan jodoh seindah dirimu.” Riandra mengangkat tangannya dan menyentuh wajah yang terbingkai oleh frame raksasa itu. “Untuk semua kebodohan yang sudah kulakukan. Aku benar-benar minta maaf.” Ucap Riandra lirih, seolah ada jutaan kesedihan yang tidak bisa dia luapkan hanya dari sebuah kalimat yang disebut ‘maaf’. “Seandainya aku bisa mengulang waktu, aku ingin kau tetap bersamaku, agar aku bisa terus menghirup aroma tubuhmu dan melakukan semua yang tidak pernah kulakukan sebelumnya untukmu, juga menghabiskan sisa hidup kita dan menua bersama. Tapi ... itu malah terdengar seperti omong kosong saat kukatakan sekarang.” Riandra menyudahi kalimatnya dengan sebuah senyum yang jika siapa pun dapat melihat senyum itu, maka semua orang akan mengatakan kalau itu adalah sebuah senyum yang penuh dengan keputusasaan. Menyedihkan. Meski sebenarnya dia sama sekali belum puas menyentuh dan memandang wajah di bingkai foto raksasa itu, Riandra tetap memilih untuk berbalik dan turun ke lantai bawah, meninggalkan sepasang mata indah dengan bulu mata lentik yang memesona dengan warna kecokelatannya yang terang, di dalam bingkai kaca raksasa itu. Rumah itu memang sangat sepi, karena selain hanya ada dirinya dan Bi Entut, Riandra juga terhitung sangat jarang menerima tamu di sana atau mungkin tidak pernah. Karena selain jadwal pekerjaannya yang terbilang sangat padat, Riandra juga lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah bahkan tidur pun dia lebih sering lakukan di kamar-kamar hotel daripada di kamar rumahnya yang mampu membangkitkan sejuta kenangan indah. “Loh, bapak sudah bangun?” tanya Bi Entut yang muncul dari salah satu kamar di lantai bawah. Rumah itu memiliki lima kamar tidur. Satu kamar utama di lantai atas dan empat lainnya berada di latai bawah, dua di bagian depan dan dua lagi di belakang menghadap tepat ke kolam renang. Dan dua lagi kamar asisten rumah tangga yang sekarang dipakai oleh Bi Entut juga Pak Herman yang menajdi sopir sekaligus merangkap sebagai satpam yang menjaga rumah besar milik Riandra yang seolah tidak ada penghuninya tersebut. “Ngapain, Bi?” tanya Riandra pada Bi Entut yang baru saja ke luar dari kamar yang selalu kosong tersebut. “Bibi habis ganti seprei, pak.” Jawab wanita paruh baya itu. Meski pun Bi Entut hanya seorang asisten rumah tangga yang terlihat renta dengan tubuh keriput yang terus menua setiap harinya, tapi hubungan Riandra dan Bi Entut sudah lebih dari itu. Meski pun di rumah ini Bi Entut baru bekerja sejak rumah ini berdiri tapi Bi Entut sudah mengenal Riandra sejak masih pria itu masih bayi merah. Ya, Bi Entut pernah bekerja dengan orang tua Riandra dengan menjadi pengasuh pria itu hingga akhirnya Riandra memiliki rumahnya sendiri, Bi Entut memilih untuk ikut bekerja di rumah itu. Riandra terkekeh. “Kenapa harus diganti. Nggak usah lah, Bi. Di rumah ini nggak ada siapa-siapa selain kita, nggak usah terlalu ribet lah. Bibi santai aja.” Mendengar Riandra bicara demikian, spontan membuat Bi Entut berkacak pinggang dengan wajah marah dan sedikit tersinggung. “Loh, bapak ini gimana, toh? Meski pun rumah ini sepi, siapa tahu nanti bakal rame lagi, bahkan lebih rame kalau Mas Syam balik ke Indonesia lagi.” Ucap Bi Entut seolah hubungan mereka bukan asisten rumah tangga dan majikan. Melihat bagaimana respons Bi Entut yang sedemikian kesalnya ketika dirinya mengatakan kalau Bi Entut tidak usah terlalu bekerja keras hanya karena rumah yang kosong dan jarang ditinggali oleh pemiliknya, Riandra malah terkekeh dan kekehan itu berubah tawa ketika Bi Entut yang semakin tersinggung dan terus mengoceh karena sudah terlalu kesal memukul-mukul tubuh tinggi Riandra menggunakan lap dan gagang sapu yang wanita paruh baya itu bawa. Gemas, kesal dan gregetan benar-benar membuat wanita paruh baya ini kalap. “Udah, Bi. Udah ... hahaha.” Tawa Riandra pecah saat Bi Entut masih saja terus memukulinya menggunakan gagang sapu. “Makanya, bapak itu harus lebih sering pulang, biar bibi ndak kebanyakan nganggur.” Cerca Bi Entut masih terus mencoba memukul Riandra yang kali ini menghindar. Namun, karena terlalu banyak menertawakan orang yang sudah bekerja di rumahnya itu, membuat Riandra tidak bisa untuk tidak memeluk tubuh kurus dan pendek Bi Entut dari belakang. “Emang kenapa kalau aku mau bibi? Bibi itu sempurna. Keibuan, rajin bersih-bersih dan penyayang. Di mana lagi aku bisa dapat orang kayak bibi?” goda Riandra sambil tertawa dengan Bi Entut dalam pelukannya. Namun, beberapa kali wanita paruh baya itu, terus saja berusaha menyingkirkan Riandra darinya dengan menggerakkan gagang sapu yang masih dia pegang. “Ih, ini apa? Pak, bibi nggak mau ya, kalau bapak jatuh cinta sama bibi. Mending bapak cari yang lebih muda, lebih cantik. Bibi nggak mau sama bapak, udah! Lepasin, bibi pukul nih.” Ucap Bi Entut dan sekali lagi, sambil mengacungkan sapu yang masih digenggam erat oleh Bi Entut. Sialnya, hal itu malah membuat Riandra tertawa dan semakin mengeratkan pelukannya pada wanita paruh baya tersebut. “Udah dong, Bi. Nanti itu sapunya patah.” “Biarin, biar bapak kapok!” “Iya deh, iya ... nggak lagi godain bibi.” Kali ini Riandra melepaskan pelukannya. “Tapi beneran, bibi nggak usah sering-sering ganti seprei di semua kamar. Mending nanti aja gantinya, sebulan sekali kek gitu. Lagian, nggak akan ada yang ngomelin bibi di rumah ini.” Mendengar ucapan Riandra, Bi Entut hanya bisa menggeleng. “Yang bapak bilang, persis sama yang selalu ibu bilang sama bibi.” Riandra berhenti tertawa, dan tawa itu tergantikan oleh senyum lembut yang terlihat penuh dengan kelabu. “Ya, karena aku yang ngewanti dia buat nggak terlalu bikin bibi capek selama kerja di rumah ini.” Sepasang mata Bi Entut terlihat bekaca-kaca. Namun, menangis bukan hal yang baik dilakukan sekarang, jadi, Bi Entut memilih untuk mengusap tangan kokoh Riandra ambil tersenyum lembut ke arah pria itu. “Bibi siapkan sarapan dulu ya, pak.” Ujar Bi Entut dan dijawab anggukan oleh Riandra. Usai Bi Entut pergi dari hadapannya dan menuju ke dapur untuk membuat sarapan seperti yang dibilang padanya, Riandra pun terus berjalan ke luar menuju ke teras dan dia melihat ada seorang karyawan lain di rumah itu tengah mencuci mobil miliknya. Itu adalah Pak Herman, sopir sekaligus penjaga rumah ini. Namun, karena Riandra lebih sering disopiri oleh Baron yang adalah asisten pribadinya di kantor, pak Herman jadi lebih sering di rumah dan menemani Bi Entut, yang hanya sendirian ketika dirinya pergi bekerja. Padahal, kemarin Baron masih melakukan pekerjaan itu tapi sekarang, Pak Herman yang terlihat sudah mengambil alih pekerjaannya sendiri. Pak Herman adalah pro berusia empat puluh lima tahunan, seorang pria yang terlihat masih gagah dengan tubuh yang tidak terlalu tinggi. Meski badannya sedikit kurus tapi tidak bisa menyembunyikan sedikit pun perut buncitnya yang khas bapak-bapak. Dengan tangannya yang cekatan, Pak Herman terus menggosok mobil dengan busa spons sambil bernyanyi-nyanyi ringan. “Wuih, rajin banget. Padahal nggak kotor tuh, Pak.” “Loh, bapak sudah bangun?” tanya pak Herman terkejut karena disapa tiba-tiba oleh Riandra. “Ini sudah siang, pegel kalau tidur terus.” Jawab Riandra sambil berjalan mendekat ke arah pak Herman. “Ini kenapa dicuci. Padahal biarin aja, pak. Lagian, besok juga dipake lagi.” “Saya jarang nyuci mobil ini sejak bapak sering nggak pulang. Padahal, dulu saya hampir tiap hari nyuci ini mobil sampai kinclong.” Riandra hanya terkekeh mendengar penjelasan pak Herman. Padahal, Riandra ingat jelas kalau mobil itu sudah dicuci oleh Baron kemarin. Memang benar, jauh sebelum dia lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah seperti ini, Riandra lebih senang membiarkan pak Herman mengendarai mobil itu untuk mengantarnya ke mana pun dia mau. Entah itu hanya ke taman depan kompleks atau ke tempat yang jauh sekali pun. Tapi, sejak Riandra lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah dan menginap di hotel-hotel yang menjadi tempat pertemuannya dengan klien, pekerjaan pak Herman hanya menjadi tukang jaga rumah dan orang yang membantunya menjaga Bi Entut selama dia tidak berada di sana. “Maaf ya pak, aku malah jadiin bapak kayak centeng rumah, begini.” “Loh, ngapain minta maaf segala. Saya tuh seneng kerja sama bapak, saya ridho dunia akhirat buat ngelakuin pekerjaan begini, asal sama bapak.” “Nggak usah seperti itu, Pak. Saya yang harusnya terima kasih. Karena, walau pun nggak ada orang di rumah ini, bapak sama Bi Entut masih mau bekerja dan merawat rumah ini dengan baik.” Mendengar ucapan Riandra, Pak Herman menghentikan tangannya yang masih menggosok badan mobil menggunakan busa spons. Dengan senyum yang terlihat sedikit canggung, pak Herman mencoba untuk tersenyum dan menatap majikannya itu. “Mungkin, rumah ini sepi sekarang tapi, ketika bapak kembali dari Rusia nanti, saya yakin kalau bapak akan bawa kebahagiaan lagi ke rumah ini. Jadi, rumah ini nggak akan kerasa sepi lagi kayak yang udah-udah.” “Aku malah takut kalau dia tidak akan bisa bertahan.” “Bapak harus yakin, kalau keajaiban itu pasti ada. Saya sama si Mbok juga nggak pernah berhenti berdoa.” Riandra tersenyum dengan tatapan nanar yang akan membuat siapa pun ikut merasa miris ketika melihatnya. Namun, Pak Hendrik tidak punya keberanian sedikit pun untuk menginterupsi hal tersebut dan memilih untuk tetap diam dengan kembali mencuci mobil milik majikannya tersebut. “Bapak sudah sarapan?” tanya pria itu lagi pada Riandra. “Bentar lagi pak, saya juga belum mandi. Ini, boleh saya bantuin?” “Ish, nggak boleh. Ini kerjaan saya, bapak jangan ikut-ikut.” “Hahaha ... iya, iya, kalau begitu monggo dilanjut, saya mau mandi dulu kalau begitu.” “Siap, Pak.” Meninggalkan pak Herman dengan pekerjaannya. Riandra kembali masuk dan naik ke kamarnya di lantai atas untuk sekedar membersihkan diri. Namun, sebelum pria ini masuk ke dalam kamar mandi, dia melihat ke meja yang ada di nakas samping tempat tidurnya, di dalam laci nakas itu ada sebuah paspor dan tiket pesawat dengan tanggal yang sudah terkonfirmasi besok dengan tujuan Bandara Pulkovo — Rusia. “Bisakah aku menginjakkan kakiku lagi di sana ...?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD