Di dalam bangunan yang disebut sebagai panti asuhan itu terlihat jelas sekali kalau tempat itu sangat sepi, bahkan ketika Dhanu tiba di tempat yang mungkin saja aula tengah dengan sepasang tangga yang melingkar di sisi kanan dan kirinya itu, dia belum menemukan satu orang pun di bangunan yang cukup besar itu.
Bangunan yang sepenuhnya berlantai dua dengan pilar-pilar kecil itu terlihat cukup estetik dan kesan bangunan lama yang sangat terawat benar-benar terlihat di tempat itu. meski pun bangunan itu terlihat tua tapi warna cat yang digunakan untuk memoles bangunan itu agar tetap terlihat menarik dan nyaman untuk anak-anak. Terlihat dari warna-warna cerah yang juga lukisan-lukisan tangan yang dibuat oleh tangan-tangan kreatif khas anak-anak kecil pun terlihat menghias dinding ruangan depan bangunan tersebut.
“Kamu bekerja di sini, Martha?” tanya Dhanu, sementara Martha terlihat berjalan ke arah sebuah pintu tak jauh dari salah satu anak tangga di sana, kemudian membukanya namun seperti tidak menemukan apa pun di sana.
“Nggak, cuma beberapa minggu sekali aku sering datang kemari untuk memberikan bahan makanan dan berapa obat-obatan untuk anak-anak yang ada di sini.” jawab Martha masih sambil mencari sesuatu di sekitar sana.
“Oh, begitu. Jadi semua anak-anak di sini sudah tidak asing lagi dengan kamu, Mbak?" tanya Dhanu lagi.
“Tempat ini sudah jadi semacam rumah kedua aku. Jadi, aku udah nggak bakal asing lagi dengan mereka, mereka juga udah nganggep aku keluarga mereka sendiri.” Jawab Martha dan ketika dia tidak menemukan siapa pun di sekitar ruangan tengah itu, Martha langsung berjalan menuju ke anak tangga. “Mereka mungkin ada di atas, ayo kita naik, aku kenalkan kamu sama teman-teman di sini.”
Dhanu hanya bisa mengangguk mendapat ajakan Martha untuk naik ke lantai atas di mana wanita itu yakin kalau orang-orang yang dia cari di tempat itu memang berada di sana. maka dari itu, Dhanu langsung mengiakan ketika Marth mengajaknya naik ke lantai dua di mana ada lebih banyak lukisan tangan dan coretan-coretan di dinding khas anak-anak, dengan gambar bunga-bunga dengan warna-warni yang cerah, gambar hewan dan pemandangan juga beberapa gambar abstrak yang entah itu apa dan mungkin hanya bisa dimengerti oleh si pelukis itu sendiri.
“Anak-anak di sini yang membuat semua lukisan itu.” ucap Martha sambil tersenyum, mengikuti Dhanu yang seolah terpesona oleh lukisan-lukisan dinding yang dibuat oleh anak-anak panti di dinding-dinding bangunan panti asuhan tersebut. Mendapat pertanyaan dari Dhanu, Martha hanya tersenyum bangga karena secara tidak langsung dia sudah menunjukan satu sisi yang luar biasa dari anak-anak yatim piatu yang tinggal di bangunan itu.
“Mereka pasti anak-anak yang luar biasa.” puji Dhanu sekali lagi.
“Mereka semua luar biasa, karena bisa bertahan di kondisi yang sangat 'luar biasa' untuk anak-anak seusia mereka. Karena, jika aku ada di posisi mereka pun di usia seperti ini, belum tentu aku bisa punya hati selapang mereka.” Jawab Martha terdengar sangat bangga. Ketika Dhanu dan Martha masih sibuk memerhatikan lukisan-lukisan di dinding itu, dari arah berlawanan, terdengar suara langkah seseorang yang mendekat ke arah mereka.
"Vy prishli ran'she, chem ozhidalos'. Kak prodelana tvoya rabota?"
[ Kau datang lebih cepat dari perkiraan. Bagaimana pekerjaanmu, sudah selesai? ] tanya orang yang datang ke arah mereka itu. dan ketika mereka berbalik, betapa terkejutnya Dhanu saat melihat siapa orang yang datang itu adalah wanita dengan coat merah marun yang dia ikuti hingga dia tersesat dan nyaris tidak bisa kembali pulang ke tempat dia meninggalkan temannya, Handi.
Coat merah marun yang tadi Dhanu lihat dipakai olehnya tidak ada di sana, hanya sebuah kaus yang terlihat sedikit longgar berbahan rajutan saja dengan kerah tinggi yang melekat di tubuh indah wanita dengan rambut panjang sepinggang itu.
"Ey, ya dumal, ty ne pridesh'. Ya iskal tebya v podvale, ya nashel tebya zdes'."
[ Hei, kupikir kau tidak akan datang. Aku mencarimu di ruangan bawah, ternyata kau ada di sini. ] Tanya Martha sambil tersenyum dan bersikap seolah dia terkejut kalau ada wanita itu di sana. Sementara Dhanu hanya bisa memperhatikan percakapan dua wanita ini dengan tenang tanpa berani menginterupsi.
"Ya tol'ko chto proveril nekotoryye veshchi, kotoryye nuzhno izmenit' v konechnoy komnate."
[ Aku baru saja mengecek beberapa barang yang harus diganti di kamar ujung. ] Ujar wanita berambut hitam panjang itu sambil memperlihatkan sebuah papan klip berisi beberapa lembar kertas dengan catatan yang terlihat rapi.
Melihat laporan yang dibawa oleh wanita berambut hitam panjang itu, Martha langsung meminta dan membacanya perlahan sebelum dia mulai mengomentari isi dari laporan yang ditulis oleh wanita itu. Meski Martha membacanya seksama tapi, tetap saja Martha akhirnya bertanya pada wanita itu tentang beberapa hal yang harusnya tidak dia lewatkan.
"Deystvitel'no? Skol'ko matrasov nuzhno zamenit'?"
[ Benarkah? Ada berapa kasur yang harus diganti? ]
"Tri, vklyuchaya shkaf Belly i rabochiy stol, takzhe dolzhny byt' zameneny."
[ Tiga, termasuk lemari dan meja belajar milik Bella juga harus diganti. ]
"Pochemu?"
[ Kenapa? ]
"Termit. I kazhetsya, vy vchera prinesli novuyu energiyu?"
[ Rayap. ] jawab wanita berambut panjang itu pada Martha.
[ Dan sepertinya, kau membawa tenaga baru kemari? ]
Dhanu tersentak ketika wanita itu berkata demikian. Meski tidak terlalu fasih berbahasa Rusia tapi, Dhanu cukup mengerti ketika wanita berambut hitam panjang sepinggang itu mengira kalau dirinya adalah orang yang akan ikut bekerja di panti asuhan tersebut bersama dengan Martha. Namun, beruntungnya dia ketika wanita itu berkata demikian, Martha langsung melambaikan tangan dan mengatakan kalau Dhanu tidak datang untuk itu.
“Dia ini sepertinya ikut turun denganmu di halte tadi.” Jelas Martha menggunakan bahasa Indonesia pada wanita berambut panjang itu.
Merasa terkejut, wanita yang entah namanya siapa itu terlihat menatap Dhanu sedikit menelisik. Dhanu bahkan tidak kuasa menahan rasa gugupnya, karena jika saja wanita itu tahu alasan Dhanu sampai di tempat ini adalah karena mengikutinya, bukan tidak mungkin kalau wanita itu akan langsung menganggap Dhanu sebagai orang m***m dan itu akan sangat memalukan.
“E— Mbak, memangnya dia bisa ngomong bahasa Indonesia?” tanya Dhanu gugup. Tapi, pertanyaan yang harusnya dijawab Martha, dijawab langsung oleh dia si wanita dengan coat merah marun yang sudah memesona Dhanu sejak awal.
“Aku pernah tinggal di Indonesia. Jadi, sedikit banyak aku bisa bicara bahasa kalian." Ucapnya dengan logat Rusia yang masih terdengar sedikit kental meski pun harus Dhanu akui kalau tata bahasa yang digunakannya sangat halus, tidak ada cacat sedikit pun. Dan sialnya, hal itu membuat Dhanu sangat malu.
“Oh, maafkan aku.”
“Tidak masalah. Aku Shaline, senang bisa ketemu sama orang Indonesia di sini.” ujar wanita berambut hitam panjang itu sambil mengulurkan tangan, berharap bisa menjabat tangan Dhanu. Namun, Dhanu hanya menangkupkan tangannya di d**a, membalas jabatan tangan itu hanya dengan salam dan seulas senyum.
“Saya Dhanu.” Ujar Dhanu sambil tersenyum-senyum. Melihat tigkah Dhanu, Shaline hanya bisa mengangguk-angguk kecil.
"Muslim?" Tanya Shaline dengan nada sedikit rendah. Kendati demikian, Dhanu masih dapat mendengarnya dan mengangguk untuk kembali menjawab pertanyaan tersebut sambil menarik tangannya turun dari niat awal ingin menjabat tangan Dhanu. "Okay, tidak masalah."
"Memangnya, orang Indonesia di sini langka, ya?" Dhanu kembali memulai percakapan. Meski seharusnya dia tidak bayak bicara tapi karena rasa senang yang sedikit berlebihan membuat Dhanu jadi sedikit cerewet dan bertanya untuk hal yang sebenarnya tidak layak dia tanyakan di saat seperti ini.
"Aku jarang melihat orang Indonesia di yang bisa jauh-jauh datang ke Leningrad. Biasanya mereka ada di sekitar St. Petersburg dan tempat-tempat wisata lainnya." Ucap wanita bernama Shaline itu, terdengar menghakimi namun Dhanu tahu, kalau apa yang dikatakan Shaline memang benar. Tidak ada orang yang bepergian sejauh Leningrad hanya untuk berwisata, sekali lagi, hal tersebut membuatnya sangat gugup.
"Umn, itu ...,"
"Sudahlah, tidak perlu dijelaskan." Shaline memotong kalimat Dhanu yang sama sekali tidak sempurna.
Martha yang menangkap kecanggungan di antara mereka mencoba mencairkan suasana. Karena bagaimana pun, Dhanu adalah tamu mereka sekarang, dia yang membawanya dan dia tidak ingin kalau tamu dan 'tuan rumah' ini, malah bertengkar karena sesuatu yang bisa dibilang sepele. "Hei, bukannya Leningrad ini tempat bagus untuk melepas lelah dari hiruk pikuk kehidupan perkotaan di Petersburg, misalnya?"
"Ya, tapi bukan untuk turis dari Indonesia yang biasanya cuma akan menikmati keindahan Peterhof Palace. Dan jalanan dekat kanal sambil lihat matahari terbenam bersama pejalan kaki lainnya." Nada bicara Shaline terdengar seperti menyindir dan Martha yang sadar dengan hal itu langsung menengahi percakapan mereka.
“Ah, bicara soal kanal, Dhanu berasal dari Bukharestkaya Ulista. Jadi, sepertinya aku nggak lama juga di sini, aku harus bantu dia pulang." Ujar Martha sambil melirik ke arah Dhanu diikuti oleh Shaline.
"Bukharestkaya? Kau datang sejauh itu hingga ke tempat ini?" Shaline penasaran.
"A— sebenarnya aku sedang berkeliling dengan bus, turun di satu halte dan naik di halte lainnya tapi, ketika kupikir aku sudah pergi terlalu jauh, aku turun di halte depan dan tidak tahu kalau itu adalah bus terakhir yang lewat ke sekitar sini." Bohong Dhanu untuk menjawab pertanyaan Shaline.
Sementara wanita itu, hanya menatap Dhanu diam. Namun, ketika Martha yang melihat kejanggalan sikap Shaline, Martha mulai bertanya;
"Kenapa?"
"Nggak, nggak apa-apa. Unik sekali saat aku mendengar ada seorsn turis yang berkeliling menggunakan bus kemudian tersesat sejauh 129 kilometer." Jawabnya dengan suara datar. Namun, wajah wanita cantik ini sama sekali tidak bisa menyembunyikan kalau dia merasa tidak nyaman berada di dekat Dhanu.
Martha mendengkus kesal dengan sikap Shaline. Namun, wanita ini tidak bisa berbuat apa pun kecuali mengusap wajahnya sambil berharap kalau tidak akan ada keributan kecuali adu mulut semata.
_