Oblast Leningrad
St. Petersburg — Rusia.
.
.
.
Dhanu duduk di sedikit lekukan tembok yang sedikit menjorok ke luar, bersebelahan dengan beberapa pot bunga yang tidak ditaruh pot, entah karena sudah pecah atau memang tidak ditaruh oleh pemiliknya. Karena tidak tahu harus pergi ke mana, Dhanu memilih untuk menenangkan pikirannya sejenak.
Dia benar-benar sudah kehilangan jejak gadis ber -coat merun itu setelah tiba di persimpangan jalan di ujung tanjakan. Seandainya saja dia tidak terlalu jauh dengan gadis itu, mungkin mereka tidak akan terpisah dan Dhanu, tidak akan tersesat seperti ini.
Dia meraih ponselnya yang sejak meninggalkan Handi di Peterhof Palace tadi, terus berdering. Ada banyak sekali miss call yang masuk dan pesan yang berisi tentang kepanikan sahabatnya itu ketika tidak menemukan Dhanu di mana pun, disekitarnya.
Dhanu tahu kalau Handi sangat khawatir, terlebih ini adalah tempat terasing untuknya. Dia mungkin pernah tinggal di Turkey cukup lama, paham bahasanya dan bisa membaca tulisannya tapi, ketika dia berada di St Petersburg, dia benar-benar buta. Sekarang, dia hanya harus mencari tahu di mana dirinya berada, mencoba mencari jadwal bus tadi dan menaikinya hingga ke tempat awal di mana dia datang.
Berbekal ponselnya, Dhanu terlebih dahulu mengirim pesan pada Handi bahwa dirinya tersesat dan akan menghubungi sahabatnya tersebut ketika dia bisa mendapatkan petunjuj jalan untuk bisa pulang.
[ "Yakin nggak mau dijemput?" ]
"Nggak usah, Han. Insha Allah aku bisa ketemu jalannya, kok." Balas Dhanu untuk pesan yang dikirimkan Handi sebagai balasan pesan pertamanya.
[ "Yakin, loh Yo, ndak nyasar lagi? Wis, aku tunggu di rumah kalau begitu." ]
"Iya, aku mau tanya-tanya jalan dulu kalau gitu ya, Han." Itu ketikan terakhir yang ditulis Dhanu untuk Handi.
Sebenarnya Dhanu sedikit pesimis mengenai warga sekitar yang mungkin fasih atau setidaknya bisa berbahasa Inggris. Karena jika dia tidak menemukan orang seperti itu, maka matilah dia. Tersesat di tempat yang dia bahkan dia tidak tahu apa. Usai ke luar dari aplikasi perpesanan, Dhanu mencoba menemukan titik koordinat dirinya berdiri menggunakan sebuah aplikasi mapping. Dan berkat itu, Dhanu tahu kalau sekarang dia berada di Volsovo, sebuah tempat di wilayah Oblas Leningrad sebelah selatan St Petersburg.
Oblast atau dalam bahasa harfiah adalah wilayah ini memiliki luas sekitar 84.500 km². Di setiap Oblast, memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.669.205 jiwa. Dan jarak tempuh menuju kemari adalah dua jam atau sekitar 129, 5KM dari St Petersburg. Waktu yang sangat lama tapi, Dhanu seolah hanya manaiki bus lalu turun begitu saja. Dan setelah sejauh itu, dia baru sadar kalau dia ternyata sudah tersesat.
"Gimana caranya aku balik, sekarang ...." Gumam Dhanu kebingungan. Dia mungkin saja bisa menelepon layanan taksi hanya saja pria ini tidak tahu apakah uangnya akan cukup atau tidak untuk membayar ongkos taksi yang nanti dia pesan.
"Udahlah, mending aku balik lagi ke halte, mungkin jadwal bus selanjutnya nggak lama." Ucap Dhanu pada dirinya sendiri, berharap kalau dia bisa kembali ke St. Petersburg sesegera mungkin, karena bagaimana pun, dengan kepergiannya sekarang sudah membuat sahabatnya panik.
Sambil menyusuri kembali jalan yang dia lalui untuk datang ke tempat itu, sepasang mata Dhanu mencoba menikmati pemandangan rumah-rumah yang berjejer di sepanjang jalanan menanjak itu. Bangunan-bangunan rumah itu terlihat sama dengan warna-warni yang indah, terutama di bagian balkon yang dihiasi oleh jajaran pot bunga yang mekar serempak yang membuat pemandangan rumah-rumah itu terlihat semakin cantik. Beberapa kali Dhanu hanya bisa tersenyum melihat pemandangan yang cukup tidak biasa. Sebenarnya pria ini tersesat tapi, sepertinya Dhanu benar-benar menikmati pengalaman tersesatnya kali ini.
Puas melihat, Dhanu akhirnya memutuskan untuk terus berjalan menuju ke halte bus dan berharap kalau dia bisa menemukan bus yang akan membawanya kembali ke tempat terakhir dia tinggalkan. Namun, harapan Dhanu ternyata tidak bisa dapatkan dengan mudah. Karena, ketika pria ini dia sama sekali tidak bisa membaca huruf sirilik yang tertera di papan pengumuman jadwal bus yang berada di halte tersebut.
“Gawat ....” guma Dhanu sambil menggaruk belakang kepalanya karena tidak punya cara lain untuk kembali ke tempat dia meninggalkan Handi. “Tunggu orang lewat aja dulu kali, ya? Baru tanya tulisan ini apa artinya.” Tanyanya pada diri sendiri. Karena itu, sambil menunggu Dhanu memutuskan untuk duduk di bangku halte sambil menunggu ada orang yang datang ke halte tersebut atau mungkin menunggu bus yang tiba.
Hanya saja, satu jam Dhanu menunggu tidak ada satu orang pun yang datang atau bus pun yang melintas dan berhenti di halte tersebut. Sekarang, mencari jalan pulang seolah adalah hal yang mustahil untuk pria ini, karena dia tidak bisa menemukan siapa pun untuk dimintai tolong membantunya menemukan jalan pulang. Namun, Dhanu masih mencoba untuk menunggu kembali, hanya saja, dua puluh menit selanjutnya dia habiskan, tetap tidak ada bus yang datang hingga hari semakin sore dan pria ini mulai kehabisan kesabarannya.
“Nggak beres, nih ....” gumam Dhanu sambil menepuk pahanya karena terlalu lama menunggu, sementara waktu terus berjalan bahkan sore pun sudah menjelang. Dhanu pun tidak mungkin kalau dia harus terus berada di sana, sementara Handi juga pasti sudah menunggunya di apartemen.
Karena tidak tahu harus bertanya pada siapa di tempat yang cukup sepi dan tidak terlihat ada siapa pun yang datang atau lewat ke arah sana, membuat Dhanu benar-benar tidak tahu harus berbuat apa mengingat dirinya yang sama sekali tidak bisa membaca tulisan sirilik tanpa terjemahan bahasa Inggris. Namun, ketika Dhanu berdiri dan berniat untuk kembali ke perumahan di jalan menanjak itu, mengetuk salah satu pintu di sana untuk bertanya, tiba-tiba sebuah mobil dari arah seberang membunyikan klaksonnya beberapa kali kemudian berhenti di halte bus. Awalnya Dhanu yang tidak merasa kena dengan mobil itu mencoba mengabaikan bunyi klaksonnya dan lebih memedulikan tentang orang yang berada di dalam mobil itu yang bisa dia tanyai.
Buru-buru Dhanu menghampiri mobil jenis SUV berwarna putih itu dan mengetuk jendela di samping kursi pengemudi. Benar saja, ketika Dhanu baru mengetuk sekali, seorang wanita berambut cokelat terang langsung menurunkan kaca jendelanya. Wajah wanita itu terlihat tidak terlihat seperti wanita Rusia, bahkan garis wajahnya lebih mirip dengan orang Asia jika diperhatikan dengan seksama.
Wajah wanita itu terlihat sedikit bulat dengan rambut sebahu berwarna cokelat yang dia kuncir asal, sepasang matanya terlihat sedikit sipit degan riasan wajah yang sedikit tebal. Namun, masih terlihat cocok untuk kulitnya yang putih bersih.️️ Dia mengenakan jaket tebal berwarna hitam mengkilap, terlihat hangat di cuaca sedingin ini.
“Sorry, can you help me?” tanya Dhanu tergesa-gesa. Tapi, beberapa detik kemudian dia tersadar kalau mungkin saja kalau wanita itu bisa saja tidak mengerti bahasa Inggris, karena itu dia mencoba mengulangi pertanyaannya dengan satu kalimat tambahan, “can you speak english?”
“Yes, i can. What can i do for you?”
“I— i got lost and couldn’t find way to go home, can you help me?”
“Wait, where you came from?”
“What?”
“Afghanistan? Korea? China? Singapore? Or Malaysia?”
“Umn ... Indonesia.”
“Ah, Indonesia. Pantas garis wajahnya nggak asing.”
Dhanu terperanjat ketika wanita itu bicara menggunakan bahasa Indonesia dengan sangat fasih. “Loh, Mbak –nya bisa bahasa Indonesia?”
“Aku juga dari Indonesia, Jakarta.” Jawab wanita itu sambil tersenyum ke arah Dhanu. “Terus, ngapain di halte ini jam segini?”
“Aku nyasar, Mbak. Ini aku lagi tunggu bus, udah berjam-jam aku di sini tapi, nggak ada satu pun bus yang datang.”
“Aduh, memangnya kamu nggak bisa baca? Itu kan ada tulisannya, di dinding halte itu?” tunjuknya ke arah papan pemberitahuan yang sejak awal dibaca oleh Dhanu tapi sama sekali tidak dia mengerti sedikit pun.
“Kalau ada translate dalam bahasa Inggris –nya sih, aku bisa baca, Mbak. Tapi, itu semuanya tulisan sirilik, aku nggak bisa baca bahasa silirik.”
“O— kamu bukan orang sini?”
Dhanu menggeleng. “Aku di sini cuma turis, terus nggak sengaja salah naik bus dan sekarang malah terdampar di sini.”
“Duh, tinggal di mana emangnya?”
“Sekitar Bukharestskaya Ulista. Apartemen Ratoval nomor 227. Umn, sebenarnya itu flat temen aku, aku lagi nginep di tempat temen aku itu dan baru kemarin tiba di sini." Mendengar Dhanu menjelaskan tempat tinggalnya saat ini, di apartemen Handi, sahabatnya, membuat wanita itu mendesah sambil terlihat berpikir sejenak, sebelum akhirnya meminta Dhanu untuk naik ke dalam mobilnya.
“Dari sini ke Bukharestskaya Ulista lumayan jauh. Tapi, aku bisa kok antar kamu ke sana,” ucap wanita itu dan jujur saja, ucapan wanita tersebut benar-benar membuat Dhanu seperti baru saja menemukan oasis indah yang memanjakan mata setelah dia berjalan di gurun selama berhari-hari.
“M— Mbak beneran mau ngantar aku ke sana?”
“Mau gimana lagi, kamu bilang kan barusan kalau kamu bukan orang sini dan nggak bisa baca sirilik. Padahal, kalau kamu bisa baca tulisan di halte itu, kamu nggak bakal planga-plongo kayak tadi cuma buat tungguin bus yang jadwalnya cuma sampai pukul tiga sore tadi.”
Mendengar wanita itu menjelaskan demikian, tentu saja Dhanu terkejut bukan kepalang. Pantas saja, sejak tadi dia tidak menemukan siapa pun datang atau berjalan melewati halte bus itu seorang pun. Ternyata, jam operasional bus memang sudah berakhir dan betapa sialnya dia jika dia tidak bisa kembali ke tempat tinggalnya Handi seperti yang sudah dia janjikan pada sahabatnya itu tadi di telepon.
“Mbak orang sini?” tanya Dhanu penasaran. Karena baru saja wanita itu mengatakan padanya kalau tempat tinggal Handi sangat jauh, itu artinya bukan tidak mungkin kalau wanita yang juga adalah orang Indonesia ini memang bertempat tinggal di sekitar sini. Namun, dia menggeleng usai Dhanu bertanya.
“Aku juga tinggal di sekitar Bukharestskaya Ulista. Tapi, aku ada urusan di sekitar sini. Tadinya mau menginap karena udah sore tapi, karena ada kamu, mau nggak mau, aku harus balik lagi ke sana, kan.” Dhanu terdiam. Karena secara tidak langsung, ucapan wanita itu seolah mengatakan kalau dirinya sudah merepotkan. Namun, detik selanjutnya wanita itu tersenyum, memperlihatkan jejeran giginya yang sangat rapi, “nggak usah ngerasa nggak enak, kita ini berasal dari negara yang sama jadi, harus saling bantu kalau ada masalah. Oh iya, namaku Martha kamu?”
“Dhanu.”
“Okay Dhanu, pakai seat belt –nya, kamu nggak apa-apa kan, kalau kamu aku bawa ke tempat tujuan awal aku dulu? Aku ada sedikit urusan di sana, setelah selesai, aku antar kamu ke Bukharestskaya Ulista.”
“Mbak mau bantu antar aku balik ke sana saja, aku sudah terima kasih banyak.”
“Okay, kita jalan sekarang, ya.” Ucap Martha sambil menurunkan persneling mobilnya, kemudian mobil berjenis SUV dari brand Mercedes itu mulai berjalan perlahan meninggalkan halte bus yang sejak tadi Dhanu duduk di sana hanya untuk menunggu bus selanjutnya datang.
Karena asing dengan tempat itu, Dhanu hanya diam ketika Martha dengan cekatan memainkan kemudi, berbelok ke kanan dan kiri, melewati jalanan yang terlihat cukup sepi, karena selain sudah sore, jumlah kendaraan di wilayah itu pun tidak terlalu banyak dengan rumah-rumah warga yang juga terlihat rapi seperti tidak berpenghuni.
“Kamu di sini lagi cari kerja?” Martha kembali memecah keheningan perjalanan mereka.
“Nggak, Mbak. Aku cuma sedang berkunjung ke rumah teman lama yang kuliah di sini.”
“Kuliah? Kamu juga masih kuliah?”
“O— nggak, nggak, aku sedang cuti kerja. Kemarin, aku kerja di Turkey, setelah menyelesaikan Tesis di sana, aku langsung bekerja dan baru sekarang aku bisa ambil cuti.”
“Berapa lama di Turkey?”
“Tiga tahun.”
“Fasih berbahasa sana, huh?”
“Karena aku bekerja di sana, mau tidak mau aku harus bisa.” Jawab Dhanu, hingga, ketika mereka tiba di tempat tujuan Martha, Dhanu kembali dikejutkan dengan papan nama sebuah bangunan yang terlihat sedikit kuno dengan sebuah pohon besar yang tumbuh tepat di belakang dinding gerbang tempat itu.
Tempat yang papan namanya tidak bisa dibaca oleh Dhanu itu memiliki bentuk bangunan yang seperti sebuah bangunan asrama, dua tingkat, dengan pilar-pilar kecil sebagai penyangga dan beberapa lorong terbuka yang jika dilihat-lihat mirip bangunan Belanda yang berada di Indonesia. Kendati demikian, tempat yang hampir diribuni pepohonan besar yang sekarang dedaunnya sudah rontok karena pergantian musim. Namun, tak sedikit pun menghilangkan kesan hangat di tempat tersebut.
“Mau tunggu di mobil, atau ikut aku ke dalam, Dhan? Soalnya aku lumayan lama di sini.” tanya Martha mengalihkan perhatian Dhanu dari bangunan yang menjadi tempat pemberhentian mereka.
“Memangnya ini tempat apa, Mbak?”
“Panti asuhan.” Jawab Martha sambil tersenyum sumringah.
“Eh?” sekali lagi Dhanu dibuat terkejut. Karena selain dia tidak menemukan simbol kristiani di bangunan yang katanya adalah panti asuhan itu, Dhanu juga dikejutkan oleh Martha yang ternyata memiliki urusan di tempat seperti ini.
Karena niat Dhanu datang ke St. Petersburg untuk berjalan-jalan dan melihat-lihat keindahan kota tersebut. Sekarang, ketika dia memiliki kesempatan untuk melihat sisi lain dari sebuah kota, tidak mungkin dilewatkan begitu saja oleh Dhanu. Ketika Martha menawarinya untuk ikut turun dan masuk ke dalam panti asuhan itu, tentu saja Dhanu langsung mengiakan dan segera turun, mengekor Martha untuk masuk ke dalam bangunan panti asuhan itu.
_