Pantai Indah Kapuk
Jakarta Utara.
.
.
.
Riandra menguap setelah semalaman duduk di depan meja kerjanya dan menyelesaikan sisa pekerjaan yang tidak bisa dia selesaikan kemarin. Bukan hanya karena dia sudah kesal duluan dengan rekan kerjanya tapi, juga tentang bagaimana dia punya banyak sekali tempat untuk dikunjungi jadi, hal itu seperti sudah mengambil banyak waktunya dan sekarang, dia harus menghabiskan banyak sekali waktu untuk menyelesaikan semua pekerjaan yang tidak sempat dia pegang kemarin. Hingga tanpa dia sadari, dia tertidur di meja kerjanya.
Pria ini merasakan sakit yang lumayan berat menjalar di belakang leher karena posisi tidur yang tidak nyaman.
Pria berparas oriental ini melihat jam yang terpajang di sebelah layar monitor yang sudah mati entah sejak kapan. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi dan dia berdecak kesal sambil menggaruk belakang kepalanya, gemas, hingga setengah menggeram.
“Nggak sholat subuh lagi kan, gue.” Gerutu Riandra sambil bangun dari duduknya dan ke luar dari raung kerjanya di mana setelah dia membuka pintu, sebuah pemandangan yang selalu membuatnya malu. “Kenapa kamu nggak bangungin aku, sih?” tanya Riandra pada sebuah foto seorang wanita bercadar sangat besar yang terpajang memenuhi dinding ruang baca yang bersebelahan dengan ruang kerjanya.
“Gara-gara kamu nggak bangunin aku, aku jadi nggak sholat subuh lagi. Kapan kamu bisa bangunin aku lagi kayak dulu lagi, Zihar ....” ucapnya lagi sambil bergerak menjauh dari ruang kerjanya yang tidak dia tutup.
Riandra melangkahkan kakinya menuruni anak tangga, di sana, dia melihat ada Bi Entut sedang berbenah rumah. Wanita paruh baya itu terlihat sedang mengelap beberapa perabot rumah seperti vas bunga juga meja dan lemari. Melihat Riandra turun dari lantai atas, wanita yang sudah ikut bekerja di rumah itu sejak pertama kali ditinggali oleh Riandra pun menghentikan pekerjaannya dan berlari kecil menghampiri tangga untuk bisa menyapa sang majikan.
“Eh~ bapak sudah bangun?” sapa Bi Entut dengan wajah sumringah.
“Pagi Bi Entut” balas Riandra. “Sarapan apa pagi ini?” tanya Riandra mencoba mengalihkan rasa kesalnya pagi itu.
“Nasi goreng, pak.”
“Wah~ luar biasa. Minta dong, Bii. Sekalian minta tolong buatkan kopi juga, ya.”
“Siap! Laksanakan.”
Melihat bagaimana bersemangatnya Bi Entut, Riandra hanya bisa menggeleng sambil tersenyum seulas karena merasa kalau semangat wanita itu cukup berlebihan pagi ini.
Setelah Bi Entut berjalan dengan langkah cepat menuju ke dapur, Riandra melihat sekeliling rumahnya yang sedang dibersihkan oleh Bi Entut. Meski sudah sangat terlihat bersih tanpa debu setitik pun tapi, entah kenapa wanita paruh baya yang sudah dia anggap sebagai keluarganya sendiri itu selalu merasa kurang dan kurang, ketika dia membersihkan seluruh rumah. Maka, ketika dia merasa kurang itu lah, Bi Entut akan kembali membersihkan dan membersihkannya lagi.
Seperti sekarang.
Bukan tidak mungkin kalau Bi Entut sudah menyelesaikan seluruh pekerjaan rumahnya sejak pukul tujuh tadi pagi tapi, karena Riandra belum turun dan melihat bagaimana wanita itu bekerja jadi, Bi Entut terus, dan terus bekerja. Padahal, tanpa harus dilihat olehnya pun, Riandra sudah tahu bagaimana loyalnya pekerjaan wanita paruh baya itu di rumah ini.
“Pak, kopi –nya sudah siap.” Ujar Bi Entut sambil menyerahkan secangkir kopi pada Riandra usai dia selesai di dapur.
“Makasih banget loh, Bi ....” ucap Riandara tetap berusaha sesopan mungkin pada wanita yang sudah mengabdi di rumah ini, entah ketika dirinya ada atau pun tidak tidur di rumah itu.
“Um, pak ....”
“Ya?”
Bi Entut tidak langsung menjawab Riandra. Wanita asal Situbondo itu terlihat gugup dengan wajah tertunduk yang seperti ketakutan. Riandra tahu kalau Bi Entut ingin mengatakan sesuatu yang penting padanya tapi, karena wanita itu terlalu takut akan permintaannya yang mungkin saja ditolak jadi, seperti inilah Bi Entut bertingkah.
Sambil menyeruput kopi yang masih panas itu, Riandra masih mencoba menunggu hingga Bi Entut mau bicara. “Nggak apa-apa, bi. Sampai sore juga nggak masalah. Pesawat aku take off nanti malam pukul sebelas, kok.” Ujar Riandra bercanda. Tapi, bercandaan Riandra malah membuat wanita paruh baya itu terlihat panik. Sontak saja, kepanikan Bi Entut malah membuat Riandra terkekeh.
“A— anu, pak ....” Bi Entut baru bisa bersuara ringan, tentu saja dengan raut wajah yang masih terlihat sangat gugup.
“Anu na, opo toh? Kenopoh?” tanya Riandara sambil sedikit mengejek wanita paruh baya itu. Sontak saja, hal itu semakin membuat Bi Entut panik karena tidak tahu harus memulai percakapannya dari mana pagi itu pada sang majikan.
“Anu ... nanti, kalau bapak pergi ke sana, apa bapak bakal balik lagi ke sini?”
“Pasti lah, bi. Ini rumahku sama dia, nggak mungkin kalau aku nggak balik lagi.” Riandra menjawab sambil tersenyum kemudian menyeruput kembali kopi yang masih tersisa di cangkir miliknya. “Lagian, Syam juga harus tahu, di mana dia akan tumbuh nantinya.”
“Sya— Syam ...?”
Riandra mengangguk. “Syam,” Riandra mengikuti Bi Entut, mengulang nama itu berkali-kali. Merasa lucu dan dipacu oleh rasa tidak percaya, sekali lagi, Bi Entut bertigkah sedikit berlebihan. Wanita paruh baya itu terlihat sangat senang hingga dia tidak bisa menahan tawanya, sedikit berjingkrak dan mengibaskan tangannya seolah sedang melepaskan sensasi panas yang membuuncah dia alam tubuuh karena terlalu bersemangat.
“Jadi—“
“Nanti Bi Entut juga bakal ketemu, sekarang Bi Entut mending siapin dulu sarapan buat aku, tolong bawa ke atas ya, sekalian tolong bersihin ruang kerja aku yang kayaknya berantakkan bekas semalam.”
“Siap!”
Bi Entut memberi hormat pada Riandra, spontan saja pria ini terkekeh sambil menggeleng. Sementara Bi Entut langsung naik ke lantai atas sambil membawa sapu juga beberapa kain lap yang menjadi alat tempur wanita paruh baya yang terlihat masih sangat bersemangat itu.
Sementara Bi Entut naik ke lantai atas untuk membersihkan lantai atas sekaligus ruang kerjanya, Riandra hanya bisa mendengkus dan berjalan ke arah luar rumah. Pemandangan taman kecil yang terawat sangat rapi pun terlihat, di sana, Riandra melihat bagaimana sopir pribadi yang sekaligus menjadi asistennya sedang sibuk menyiram tanaman yang sebenarnya sudah sangat indah tanpa disiram pun. Tapi, karena tanaman itu butuh air untuk hidup, maka Baron pun terus menyiramnya.
“Rajin amat, Ron?” sapa Riandra sambil mendekat ke arah pria itu.
“Eh, bapak sudah bangun?” sapa Baharudin Narjo yang sibuk menyeka keringatnya usai mencabut beberapa rumput liar di antara bunga-bunga yang ada di sana. Tangan pria itu terbungkus sarung tangan wol, penuh lumpur dan sedikit basah. Kaus berwarna biru yang dipakai oleh pria itu pun terlihat sedikit kotor terkena lumpur begitu juga dengan celana panjang yang dia gulung hingga lutut.
“Kamu itu, harusnya di rumah, kalau aku nggak ke mana-mana, harusnya kamu itu istirahat. Jangan dateng ke sini, karena aku juga nggak nggak bakal ke mana-mana.” Jelas Riandra seolah pria ini punya peraturan tidak tertulis untuk setiap karyawannya. Akan tetapi tidak bagi Baron. Pria ini hanya tersenyum menanggapi.
“Nggak betah, pak. Di rumah juga istri ngomel-ngomel melulu kalau saya tidak pergi kerja.”
“Bilang saja libur. Tidak usah ada alasan lain.”
“Ah, ribet, pak. Mending saya pergi ke sini saja.”
Seperti itulah Baron. Setiap kali di kantor, pria itu akan menunjukkan sikap kalem yang profesional tapi, ketika mereka tidak berada di lingkungan kerja dan hanya seperti ini, maka beginilah mereka. Tanpa ada alasan untuk terlalu saling menghormati seperti ketika mereka berada di lingkungan kantor. Terlebih, Riandra juga bukan orang yang kaku dan hanya berpikir hanya untuk pada aturan.
"Pak Herman ke mana?" tanya Dhanu sambil melihat kanan kiri, di sana dia tidak melihat sopirnya itu.
"Pak He -nya lagi ke pasar, disuruh Bi Entut buat beli sayuran buat siang, katanya."
"Loh, gantian sekarang Pak Herman yang ke pasar?" Dhanu terkekeh, begitu juga Baron yang hanya bisa tersenyum sambil menggeleng tidak paham. Namun, detik kemudian suasana berubah drastis.
“Pak,” panggil Baron sambil terus bekerja. Mencabuti rumput-rumput liar yang masih tersisa di sana.
“Kenapa, Ron?”
“Bapak mau pergi ke Rusia berapa lama?”
“Lihat keadaan dulu, kalau sudah memungkinkan, mungkin aku di sana cuma beberapa hari, bisa juga beberapa minggu. Tergantung kondisi dia seperti apa, Ron." Jawab Riandra terdengar tidak bersemangat cenderung sedih.
“Jadi, udah bisa dibawa pulang, pak?”
Riandra menggeleng. “Belum tahu aku, Ron. Pihak sana belum ada yang konfirmasi untuk itu, cuma kan, bulan ini waktunya aku kontrol ke sana.”
Narjo hanya mengangguk-angguk dengan jawaban yang diberikan oleh Riandra, baginya, jawaban pria itu seperti sebuah jawaban yang terdengar menyakitkan. Sesekali, Baron melirik Riandra yang kali itu sudah duduk di bangku yang ada di teras, masih dengan cangkir yang dipegangnya, Baron melihat Riandra menyesap sisa kopi itu perlahan dengan wajah yang terlihat sedikit tidak bisa dia jelaskan.
“Maaf pak, saya nggak bermaksud buat bertanya perihal sesuatu yang buat suasana hati bapak berantakkan pagi-pagi.”
Mendengar ucapan Baron, Riandra hanya tersenyum. “Nggak masalah, Ron. Harusnya ... aku emang sudah harus lebih memikirkan Syam daripada terus seperti ini.”
Baron hanya tertunduk dengan tangan yang terus bekerja. Rumput-rumput liar yang ada di hadapannya.
"Pak," tanya Baron lagi. "Bapak nggak ada niatan buat datang ke kampung Batu Jaya dulu sebelum pergi ke Rusia?"
Pertanyaan Baron yang terdengar sederhana seperti menimbulkan sejuta hening. Riandra yang sejak tadi memegang cangkir kopi yang bahkan isinya masih tersisa setrngah pun, langsung menaruh cangkir itu di meja dan mengela napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan.
"Aku masih belum bisa buang rasa bersalahku, Ron." Jawab Riandra dengan nada yang terdengar sangat sesak. Bukan karena pria itu kesulitan bernapas tapi, karena seperti ada sejuta kesedihan yang coba pria ini tahan.
Wajah yang tadi terlihat sumringah pun perlahan berubah muram dengan punggung kokoh yang mulai lunglai, tersandar pada kursi. Mungkin sedikit banyak Baron menyesal sudah bertanya pada majikannya mengenai hal yang tidak pantas atau mungkin, membawa kesedihan yang sedang coba dikubur dalam-dalam dari ingatan tapi, begitu mudahnya dia bawa kembali ke permukaan. Merasa bersalah, Baron akhirnya menghentikan pekerjaannya dan meminta maaf pada Riandra untuk pertanyaan yang jelas menggores luka baru di atas luka kering sanga majikan.
"Maaf pak, saya udah nggak sopan sama bapak. Bapak, boleh pecat saya."
"Nggak usah samapai segitunya, Ron. Lagian ini bukan masalah." Jawab Riandra setengah tertawa tapi, sebuah tawa yang tentu saja tidak ingin pria itu keluarkan tentu saja. Dan ketika Baron melihat itu, dia benar-benar merasa bersalah untuk apa yang baru saja dia lakukan.
"Aku emang harusnya ke sana tapi, Pak Laihab sama Bu Ameena pasti belum bisa maafin apa yang udah lakuin sama mereka, Ron. Dosa yang udah aku buat ke mereka itu sangat besar dan mungkin nggak layak buat dimaafkan. Jadi, ada banyak alasan buat aku nggak pergi ke sana sebelum aku ke Rusia."
Jawaban yang diberikan oleh Riandra terdengar sangat menyedihkan. Bukan karena tentang kesalahan yang seolah tidak bisa termaafkan, melainkan tentang rasa bersalah yang mungkin tidak akan pernah hilang sampai pria itu mati.
Baron hanya bisa meneguk ludahnya sudah payah usai mendengar jawaban sang majikan. Pria yang sudah bekerja cukup lama dengan Riandra ini pun mendengkus lantas kembali melanjutkan pekerjaannya, mencabuti rumput liat yang ada di sela-sela tanaman hias yang terpajang apik di taman berukuran kecil tapi sangat terawat itu.
"Bapak mau berangkat jam berapa besok?" Baron kembali bertanya. Namun, ketika dia melihat ke arah Riandra, Baron melihat pria yang menjadi bos -nya tersebut sedang menyeka air mata. Buru-buru Baron menundukkan kepalanya lagi, dia tidak ingin melihat kelemahan seorang Riandra. Karena bagi seorang pria, air mata adalah sebuah hal yang sangat rendah. Dan ketika seorang pria berada di titik terendah itu, tidak ada siapa pun yang boleh melihatnya, kecuali dia dan Tuhannya. Dan Baron, berusaha untuk melupakan bahwa dia baru saja melihat sesuatu yang baru saja dia lihat.
"Baron," kali ini Riandra yang memanggil dengan suara serak yang khas orang yang baru saja menangis.
Masih dengan wajah tertunduk, Baron menyahut tapi, pria ini sama sekali tidak mengangkat wajahnya meski dia harus mengedepankan sopan santun.
"I— iya, pak."
"Seperti yang aku bilang kemarin, kalau kerja sama kita sama Wedha Wardhoyo itu batal. Jadi, aku yakin kalau mereka akan melakukan segala cara untuk menjatuhkan reputasi perusahaan kita. Jadi, selama aku nggak di Indonesia, tolong bantu aku handle semua kelakarnya kaki tangan orang itu. Karena ... bukan nggak mungkin, kalau Wedha Wardhoyo akan melakukan banyak cara buat bisa jatuhkan harga saham kita di pasar."
"Sejak bapak bilang kalau kita sudah selesai dengan Wedha Wardhoyo, saya sudah antisipasi, Pak. Ada banyak anak buah kita yang sudah saya minta untuk lebih waspada dan mngecek seluruh orang-orang dalam aset kita berkala setiap tiga jam sekali. Bukan hanya itu, saya juga sudah meminta mereka untuk lebih fokus pada proyek kita di Batam." Jelas Baron dan Riandra hanya mengangguk. "Saya juga akan mengirimkan semua laporannya setiap hari ke email bapak sesuai waktu yang berlaku di sana." Tambah pria itu. Sontak saja, Riandra tidak bisa untuk tidak memuji sopir yang sekaligus adalah asisten pribadinya tersebut.
"Kamu benar-benar bisa kuandalkan, Ron."
Mendengar pujian dari seorang Riandra, Baron hanya bisa tersipu karena malu, sementara tangannya terus bekerja, mereka kembali melanjutkan percakapan pagi yang sedikit berbobot.
_