Rumah sakit yang dituju Melani ternyata sangat luas, terdiri dari lima lantai, lantai pertama terdiri dari ruang tunggu pasien, ruang informasi, ruang resepsionis, terdapat apotik, cafe, minimarket, disebelah lorong terdapat ruang praktek dan ruang pemeriksaan labotatorium. Dilantai dua ruang operasi dan ruang perawatan berbagai penderita, lantai tiga khusus pasien kanker, jantung dan ginjal, lantai empat tempat menerima pasien rujukan jaminan kesehatan dan lantai lima barulah ruang kantor para medis.
Untuk menemui direktur, Melani harus naik lift sampai ke lantai lima. Melani melihat tampilannya lewat pantulan kaca di dalam lift. Lumayan rapi, ia menekan tombol lantai yang dituju. Di dalam lift hanya dirinya dan seorang perawat yang menyapanya ramah. 1, 2,3,4, dan pada angka lima lift berhenti, lalu dia keluar disusul perawat yang menuju keruang perawat.
Melani melangkah perlahan, dia melihat deretan ruangan yang berjejer, dan didepan ruangan yang cukup besar bertuliskan Direktur, dia berhenti dan mengetuknya perlahan.
Seorang wanita cantik mempersilahkannya masuk.
Direkturnya ternyata seorang pria paruh baya bertubuh agak gelap, rambutnya sedikit beruban namun gurat wajahnya terlihat tampan dan berkelas bagaikan wajah pria timur tengah.
"Selamat pagi, saya Melani," sapa Melani dan masih terus berdiri dihadapannya.
"Silahkan duduk," direktur mempersilahkannya duduk tanpa memandang wajahnya.
Huft! Melani menghela nafas lalu menggeser kursi di hadapan direktur.
"Saya hendak melapor, " ucap Melani pelan.
"Anda terhitung bekerja mulai hari ini, sekretaris akan menunjukkan ruangan anda. Selamat bergabung dengan tim kami."
Setelah mengatakan itu barulah direktur menatapnya. Dari papan nama, Melani melihat namanya. Direktur yang tanpa ekspresi dan tanpa tanya itu bernama Richard Mansur.
Setelah direktur menekan interkom, seorang sekretaris masuk dengan tak lupa mengetuk pintu lebih dahulu.
"Iya dok."
"Tunjukan ruangan dokter Melani."
"Baik, mari ikut saya."
Melani berdiri mengikuti sekretaris dengan sebelumnya berpamitan pada direktur yang terlihat menganggukkan kepalanya tanpa senyum.
Sekretaris memasuki sebuah ruangan yang cukup rapi, jendela menghadap ke sebuah taman, terdapat sebuah meja dan kursi, diatas meja terdapat sebuah telepon, disudut kiri terdapat pula sebuah lemari kaca dua pintu.
Setelah menunjukan ruangan pada Melani, sekretaris yang bernama Linda segera bergegas keluar.
Melani ingin menanyakan dimana ruang Kinanti tapi sekretaris keburu pergi.
Kriing...! Baru saja Melani menyeka kursi yang akan didudukinya, telepon berdering.
"Hello dokter Melani, kenalkan saya dokter Thomas spesialis bedah saraf, bisakah anda ke aula sekarang? Empat ruang sebelah kiri dari ruangan anda."
"Baik dok."
Melani bergegas ke ruang pertemuan, di sana sudah berkumpul sepuluh orang dokter termasuk direktur Rumah Sakit.
Melani mengambil tempat duduk disebelah dokter Kinanti. Terdapat tiga orang dokter wanita termasuk dirinya, sisanya laki-laki.
"Selamat datang dokter Melani, selamat bergabung, " direktur Rumah Sakit menyapanya kemudian melanjutkan membuka pertemuan pagi ini.
"Karena masih banyak urusan yang saya harus selesaikan pagi ini, pertemuan ini akan dilanjutkan oleh dokter Thomas selaku wakil direktur, apapun hasil pertemuan pagi ini harap disampaikan kepada saya, selamat pagi."
Dokter Richard meninggalkan ruangan, rapat kemudian diambil alih oleh dokter Thomas.
Melani mengamatinya sesaat, lumayan gagah gumamnya dalam hati. Lalu dia melirik para dokter yang ada disebelahnya, rata-rata mereka berusia muda hanya dokter Thomas yang sedikit berumur.
"Pertemuan kita kali ini membahas tentang pasien rujukan dari Negeri Jiran Timor Leste. Dari rekam medisnya pasien yang bernama Fauzan Latif menderita tumor otak berusia 28 tahun, sekarang kondisi pasien dalam keadaan koma sehingga kita perlu menjadwalkan kembali operasinya, berhubung dokter spesialis onkologi sudah bersama kita maka kita perlu mempelajarinya bersama-sama, sampai disini ada pertanyaan ?"
Para dokter saling berbisik lalu dokter Melani angkat bicara.
"Mohon maaf sebelumnya dok, karena saya belum tahu pasiennya, kiranya saya diberikan catatan medisnya, dengan begitu saya bisa mengambil beberapa kesimpulan. Karena tumor otak ini ada yang jenisnya ringan dan ada yang sudah stadium lanjut. Untuk itu saya mohon petunjuknya dok."
"Terima kasih dokter Melani, baiklah saya akan menayangkan beberapa hasil rontgen dan St-scan, ini bisa dilihat bagaimana sel kanker yang sudah menyebar di otak tampak tidak normal, saya tidak bisa menyimpulkan stadiumnya, saya kira anda yang tahu lebih banyak mengenai hal ini, kita akan membicarakan prosedur operasinya, masih ada pertanyaan ?"
Dokter Thomas menatap satu persatu dokter yang hadir di ruangan itu. Lalu dokter spesialis jantung angkat bicara.
"Sudah disampaikan sebelumnya jika pasien ini tidak memiliki penyakit bawaan lainnya sehingga saat ini kami hanya bisa memantau, dan akan tetap bersama-sama dengan dokter onkologi dan dokter bedah saraf, untuk menentukan kapan waktu terbaik bagi penderita tumor untuk dilakukan operasi tentu tidak hanya dilakukan dengan menilai status kesadarannya saja (apakah sadar penuh, apatis, somnolen, delirium, stupor, atau koma), melainkan juga harus dilakukan dengan mempertimbangkan beragam aspek lain."
Melani manggut manggut, dia nampak sedang memperhatikan gambar otak pasien yang berada dilayar, sesekali tangannya mencoret-coret kertas. Dia belum bisa menyimpulkan apapun sebelum melihat kondisi pasien secara langsung.
"Dokter, izinkan saya bertemu dengan pasien dan juga saya ingin mempelajari hasil ST-Scan, semoga sel yang nampak bukanlah tumor, melainkan benda asing yang bisa saja terjadi saat pasien mengalami kecelakaan. Maaf saya bukannya meragukan hasil ST-Scan yang ada, tapi kita perlu melakukan pemeriksaan kembali."
Saran Melani sepertinya diterima dokter bedah saraf, dia manggut-manggut. Hasil CT-Scan yang ada adalah hasil yang di bawa keluarga pasien dan bukan hasil pemeriksaan di Rumah Sakit ini.
"Jika kita perlu melakukan pemeriksaan kembali terhadap pasien, maka kita perlu menghubungi pihak keluarga, " ujar salah seorang dokter bedah di ruangan itu.
Pertemuan pagi ini diakhiri dengan saling berjabat tangan dan saling mengenal sesama dokter.
Dokter Thomas ketika keluar dari ruang pertemuan segera menghubungi keluarga pasien.
Wanita yang sangat cantik berusia dua puluh delapan tahun menemui dokter Thomas di ruangannya, terlihat kesedihan diwajahnya, terdapat lingkaran hitam dibawah mata pertanda dia kurang tidur.
"Selamat siang dok, apakah ini terkait perkembangan suami saya?" tanya wanita cantik ini sambil menggeser kursi di depan dokter Thomas.
"Tepat sekali nyonya, kami perlu menyampaikan jika kami akan melakukan pemeriksaan ST-Scan terhadap suami anda."
Wanita cantik ini mengernyit, "Apakah anda ragu dengan Rumah Sakit yang telah merekomendasikan suami saya ?"
"Sama sekali tidak nyonya, ini hanya prosedur yang harus dijalani di Rumah Sakit ini, berhubung dokter spesialis kanker sudah ada di Rumah Sakit ini, maka kami harus melakukannya, siapa tau sesuatu yang nampak di otak suami anda hanyalah benda asing."
Wanita cantik ini pucat seketika, perubahan wajahnya membuat dokter Thomas curiga, seharusnya isterinya ini senang tapi kenapa terlihat pucat ? Dokter Thomas menatapnya.
"Saya akan mempertimbangkan dulu bersama keluarga lain dokter, saya tidak bisa mengambil keputusan. Hasil ST-Scan yang kami bawa sudah jelas. Suami saya sudah lama menderita kanker otak stadium IV."
"Bukankah itu hanya pernyataan anda nyonya, kami perlu memastikannya."
Kegigihan Nyonya Fauzan semakin membuat dokter Thomas curiga, lalu dia mengetik satu nama di layar laptop dan muncullah nama seorang pengusaha terkaya bernama Fauzan Latif yang mengalami kecelakaan dua minggu yang lalu di salah satu distrik.