Sudah berhari-hari Malani mengurung diri di apartemennya, dia sesekali keluar hanya untuk membeli beberapa keperluan sehari-hari, setelah yakin semuanya sudah masuk ke dalam keranjang belanjaan, dia kembali lagi ke apartemennya.
Menurut Kinanti, biasanya lamaran kerja itu seminggu sudah mendapatkan balasannya, namun bahkan sudah sepuluh hari Melani tak kunjung menerima pemberitahuan email. Atau jangan-jangan email yang dia kirimkan salah, Melani memeriksa kembali emailnya, dari pesan yang terkirim Melani yakin ia tidak salah.
Melani kembali membayangkan penyebab dirinya di PHK, mungkin dengan terus mengingat itu, dia akan lebih berhati-hati ketika ditempat kerja yang baru. Masalahnya terlalu sederhana, tetapi laki-laki itu terlalu membesar-besarkan. Terlintas dalam benaknya untuk mencari tahu siapa sebenarnya Farhan Maulana melalui internet. Jika dia orang yang terkenal sudah pasti namanya setidaknya seminggu sekali tercatat dalam koran harian. Melani tak pernah ketinggalan berita, setiap malam dia menonton ulasan berita yang terlewatkan di pagi hari.
Ketika dia mengetikkan nama itu pada pencarian, pesan emailnya berbunyi. Seketika Melani lupa akan pencariannya, itu pesan dari Rumah Sakit di Kota M. Melani melompat dengan gembira, dia diterima, dua hari ke depan dia diminta untuk datang melapor langsung ke Direktur Rumah Sakit.
Secepatnya Melani menekan nomor kontak Kinanti, "Hai Kinan, aku diterima. Terima kasih ..mmmuacchh..bye."
"Hei..hei tunggu, bagus dong kita se kantor. Di sini banyak dokter-dokter tampan yang jomblo lho, kapan berangkat?"
"Aku nanti dengan penerbangan kedua besok sore, bantu cariin apartemen yang murah dan dekat Rumah Sakit dong."
"Iya..iya, kalau sudah tiba, ke rumahku dulu. Besok akan kucari kan apartemen untukmu, oke selamat beristirahat. Jaga kesehatan, sampai ketemu besok."
Melani menutup teleponnya. Dia tak lupa bersujud sebagai bentuk rasa syukurnya akibat mendapatkan pekerjaan baru. Lalu mulai membenahi seluruh pakaiannya di dalam koper, dua koper sudah cukup. Nanti dia sewaktu-waktu ambil cuti dan kembali ke apartemennya untuk mengambil beberapa barang yang tertinggal. Namun dia sudah memastikan semua barang-barang yang dia butuhkan masuk ke dalam koper seluruhnya. Motor maticnya dibiarkan di basement, dia akan menjual motornya nanti.
Tak lupa pula dia mengambil sebuah foto, dimana terdapat gambar ayah dan ibunya. "Ayah, ibu, aku kini diterima bekerja di Rumah Sakit kota M, terima kasih untuk semua upaya ayah dan ibu selama ini, bantu aku dari alam sana agar aku bisa memberikan sesuatu yang bermanfaat untuk orang banyak."
Air mata Melani menetes di pipi, diciumnya foto itu dengan penuh haru. Bayangan ibunya yang terus menyemangatinya untuk belajar, mempelajari berbagai macam jenis tumbuhan dihalaman rumahnya lalu membuka beberapa buku, setelah itu mempraktekannya, terus terbayang dimatanya. Kebersamaannya bersama kedua orang tuanya rasanya terlalu singkat. Sayang sekali ketika upayanya membuat obat untuk kanker berhasil, ibunya pergi untuk selama-lamanya.
Kota M merupakan kota yang sangat besar, terdapat gedung-gedung bertingkat di kiri kanan jalan, sepanjang jalan yang dilewati, Melani tak melihat rumah-rumah penduduk, yang ada hanyalah gedung-gedung bertingkat, mall, ruko, restoran dan hotel hotel bintang lima. Dari bangunan yang dilalui Melani dari bandara menuju rumah Kinanti, dia sudah bisa menyimpulkan jika Kota M merupakan kota besar.
Rumah Kinanti dari bandara bisa ditempuh selama dua jam perjalanan dengan mobil.
Kinanti dalam pandangan Melani adalah sosok yang periang, dia dan Kinanti mengambil spesialis yang berbeda, jika Melani spesialis onkologi, maka Kinanti spesial bedah urologi. Diluar dari itu semua, keduanya tetap saling berkirim kabar melalui telepon. Keduanya berbeda ilmu namun keduanya saling mempercayai satu sama lain, saling memberi dan menerima.
Melani tak akan melupakan bantuan Kinanti saat ini, mungkin Tuhan sudah mengaturnya begitu, melalui Kinanti Tuhan menyediakan pekerjaan untuknya. Dia yang kebingungan tak tahu akan melakukan apa setelah di PHK, akhirnya bisa bernafas lega.
Dia disambut hangat orang tua Kinanti, tadi dia sengaja tidak mengabari jam keberangkatan agar tidak merepotkan Kinanti untuk menjemputnya. Kedua orang tua Kinanti sangat baik, pantas saja anaknya juga baik, menurun dari orang tuanya. Wajah Kinanti menurun dari garis wajah ibunya bagai pinang dibelah dua.
karena ini hari libur, berdua dengan Kinanti mencari apartemen yang tak jauh dari Rumah Sakit. Tak butuh berapa lama bagi mereka berdua menemukan apartemennya, ternyata di deretan apartemen itu terdapat pula sepasang suami isteri yang berprofesi dokter namun di Rumah Sakit yang berbeda. Tak apalah, bertetangga dengan sesama profesi bisa saling mengingatkan.
Dengan penuh rasa terima kasih dan permohonan maaf kepada kedua orang tua Kinanti, Melani mohon diri untuk pindah malam ini ke apartemen yang disewanya. Lumayan murah walau hanya satu kamar tidur, tapi cukup bersih. Dengan sangat menyesal, Melani menolak tawaran Kinanti untuk menginap semalam di rumahnya. Alasan Melani ingin langsung membersihkan apartemen agar besok pagi sudah bisa bekerja.
Malam ini Melani menghabiskan waktu membenahi apartemennya, saat ini dia belum membeli peralatan dapur, sementara untuk makan malam dipesan online. Uang pesangonnya masih cukup untuk kebutuhannya. Melani mengamati sekeliling dari jendela kamarnya, suasana baru yang nyaman. Jarak antara apartemen dan Rumah Sakit tidak terlalu jauh, dia bisa naik becak selama lima menit dan cukup membayar lima ribuan saja, begitu petunjuk yang diberikan Kinanti padanya.
Melani tak sabar menunggu waktu pagi, sepuluh hari tak bekerja membuatnya harus kembali membuka-buka buku, walau semuanya sudah dihafalnya diluar kepala, namun apa salahnya membaca kembali jangan sampai ada yang terlewatkan. Merawat pasien kanker tidak hanya merawat penyakitnya namun merawat pula mentalnya. Terutama anak-anak, mereka yang memiliki penyakit mematikan itu harus selalu mendapat sentuhan rohani, agar mentalnya selalu kuat mengahadapi penyakitnya.
Dia teringat cerita temannya yang punya saudara penderita kanker, dokter sudah memberikan vonis jika hidupnya hanya sebulan lagi, namun ternyata dia masih bisa hidup sekitar sepuluh tahun lamanya. Dan mirisnya dia tidak meninggal akibat penyakit kanker namun meninggal akibat kecelakaan lalu lintas.
Hidup dan mati itu tak ada yang tahu, manusia hanya bisa menduga tetapi Tuhanlah yang menentukan. Bahkan ada yang tidak punya penyakit apapun tiba-tiba mati. Bahkan dokter yang memvonis pasiennya akan mati, malah dokternya yang mati lebih dulu. Itulah kehidupan.
Satu hal yang disesali Melani adalah dia tak bisa mendampingi ibunya, dia tak mampu memberikan motivasi pada ibunya karena jarak. Mengingat hal itu tak terasa ia terisak. Dia tak bisa membahagiakan kedua orang tuanya, maka dia harus bisa membahagiakan orang-orang disekelilingnya. Melani menutup buku yang sedang dibacanya, mematikan lampu kamarnya dan menggantinya dengan lampu tidur. Dia mengistirahatkan tubuhnya, berharap ketika dia bangun besok hari tubuhnya terasa segar dan dia bisa beraktifitas kembali seperti biasa.