Euthanasia

1037 Words
Zaskia mengumpulkan keberaniannya untuk menemui dokter Melani. Dia sudah menyuruh seseorang mencari tahu identitas dokter cantik itu, dari informasi yang diterimanya jika dokter yang satu ini akan bisa membantunya menyelesaikan permasalahannya. Gadis yatim piatu dan hanya mengontrak apartemen kecil, dengan gaji pas-pasan pastilah akan mau berbuat apa saja jika ditawari uang yang cukup banyak. Bahkan dengan uang yang dia tawarkan Melani tak perlu lagi menjadi seorang dokter, kompensasi yang akan dia berikan bisa menghidupi Melani sampai tujuh turunan. Sementara itu, asisten Fauzan yang bernama Roy yang mengalami kecelakaan yang sama dengan pimpinannya telah sembuh dan diizinkan keluar dari Rumah Sakit di kota L. Saat mendengar bosnya dirujuk ke kota M di Indonesia, dia segera memesan tiket pesawat komersil. Bosnya tak bisa dibiarkan seorang diri, dia tahu apa yang harus dia lakukan, walau tubuh masih penuh dengan beberapa goresan tapi tidak menyurutkan langkahnya untuk segera ke bandara. Roy segera menghubungi beberapa orang yang berada di Kota M, "Tolong pantau perkembangan bos Fauzan, awasi setiap gerak gerik yang mencurigakan, sore nanti aku akan tiba di sana." Melani bersandar pada kursi yang ada di ruangannya, besok pasien VVIP Fauzan Latif akan menjalani CT-Scan. Entah apa keinginan isterinya sehingga ingin bertemu berdua dengannya. Jika dilihat sepintas, kedua pasangan itu sangat serasi, yang satu berwajah sangat tampan dan yang satu berwajah cantik. Keduanya bagaikan Raja dan Ratu, pasangan berkelas dan memiliki semua yang diimpikan banyak orang. Tok...tok...!! Terdengar ketukan di pintu ruangan Melani. "Masuk!" Zaskia berdiri di depan pintu dengan mata sembab, Melani mempersilahkannya duduk, lalu dia menggeser kursi dan menatap Melani dengan sayu. Dokter wanita di depannya ini jika diperhatikan dengan seksama, bagaikan seorang remaja belasan tahun, cantik dan imut, belum lagi wajahnya yang putih bersih tanpa goresan maupun setitik noda atau bekas jerawat di wajahnya. "Besok suami anda perlu menjalani CT-Scan," Melani mengawali pembicaraan. "Aku tau dok, tapi tujuanku kesini tidak berkaitan dengan itu." Suara wanita ini terdengar pelan namun angkuh. Melani menatapnya dengan tajam. "Suamiku sudah lama mengidap kanker otak, dan sudah lama pula dia ingin mengakhiri hidupnya," Zaskia mengatakan ini dengan susah payah, suaranya seakan tercekat di tenggorokan. Melani berusaha mencerna kata-kata wanita ini, dia menunggu kata-kata selanjutnya, saat ini dia belum bisa menduga apa maksudnya, mungkin saja wanita ini berharap dia bisa menyelamatkan suaminya. Tapi dia bukan Tuhan yang bisa menyembuhkan manusia dalam sekejap. "Mungkin inilah saatnya memenuhi keinginan terakhirnya, bisakah dokter membantuku mewujudkannya?" Ucapan Zaskia masih berupa teka teki, tapi Melani waspada. "Apa yang anda inginkan?" Kalimat ini yang ditunggu Zaskia, dia menggenggam tangan Melani, mereka saling berhadapan bagaikan sepasang kekasih yang hendak mengucapkan kata cinta. "Dokter, Euthanasia tidak berlaku di negara ini, tapi..." Zaskia belum sempat melanjutkan kata-katanya, Melani sudah langsung berdiri dan menolak. "Tidak, jangan bilang jika anda menginginkan aku menyuntik mati suami anda." "Dengarkan dulu penjelasanku dok," pinta Zaskia dengan suara serak memelas. Tapi bagi Melani, suara itu bagaikan deru lebah yang hendak menyengatnya. Dia melihat sesaat ke balik jendela lalu duduk kembali menatap Zaskia tak berkedip. Melani terbayang beberapa bulan yang lalu seorang pria memohon hal yang sama padanya. "Aku sedih membayangkan suamiku harus menahan kesakitan yang lama, dulu dia berusaha mengakhiri hidupnya, namun aku yang menggagalkannya, namun kini melihatnya terbujur kaku dalam kesakitan membuatku tak tega. Aku ikhlas melepaskannya," airmata Zaskia mengalir deras. Melani tak bisa menilai, ini air mata sungguhan atau air mata palsu. Yang dia lihat Zaskia benar-benar menangis sampai sesenggukan. "Maaf aku tidak bisa." Zaskia mengamati Melani lalu mengambil tisu dari dalam tasnya, menyeka ingusnya yang meleleh saking mendalami tangisnya sehingga dia harus menggunakan tisu yang banyak. "Aku bersedia membayar berapapun yang kau minta, apa sepuluh milyar cukup?" Tawaran uang cukup fantastis, siapapun yang mendengarnya pasti akan tergiur. Tak perlu bersusah payah mengais rezeki, kini uang itu berada di hadapannya. Zaskia menyodorkan selembar cek ke hadapannya, "Silahkan tulis nominalnya dok, aku mencintai suamiku, makanya aku rela memberikan berapa pun banyaknya yang penting suamiku tak perlu merasakan penderitaan lagi." "Dengar nyonya, aku dokter bukan pembunuh bayaran, silahkan anda keluar dari ruanganku." Melani berdiri membuka pintu dan mempersilahkan Zaskia untuk keluar. Zaskia keluar dengan raut wajah penuh amarah, dia meminta Melani melakukan apa yang dia inginkan karena dokter muda itu terlihat mudah di manfaatkan, tapi ternyata dia salah perhitungan. Semakin kuat dugaan Melani jika pasien VVIP itu tidak menderita tumor otak. Dia mencoba mempelajari laporan medis pasien, dia teringat pernah punya seorang teman di kota L, teman sekelasnya sesama dokter. Melani mencoba mencari nomor kontaknya namun tak juga di temukan. Lalu dia menghubungi pihak universitas, berharap mereka bisa memberikannya informasi tentang teman kuliahnya yang bernama Peter. Sementara menunggu informasi yang dibutuhkan, Melani membuka laptop mencari tahu sosok Fauzan Latif melalui internet. Jika isterinya sanggup menawarkan uang yang tak sedikit jumlahnya, berarti keluarga ini sangatlah kaya. Pencarian tentang sosok itu terpampang dilayar kaca, membuat matanya terbelalak lebar. Pria terkaya mengalami kecelakaan dua minggu yang lalu, diperkirakan sopir yang mengemudikan mobil pria tampan terkaya se Asia itu hilang kendali akibat mengantuk. Melani tak melanjutkan lagi pencariannya, dia sudah bisa menyimpulkan jika kecelakaan itu disengaja. Tapi dia tidak ingin mencampuri sesuatu yang menjadi ranah kepolisian. Dia hanya bisa menyimpulkan jika pasien yang sedang koma itu sebenarnya segar bugar. Penyebab komanya akibat kecelakaan saja. Ponselnya berdering, itu dari pihak Universitas. Nomor yang diinginkannya akhirnya ketemu juga, tak butuh waktu lama, setelah menutup panggilan itu dia segera menghubungi nomor Peter. "Selamat sore, apakah benar ini nomornya dokter Peter?" "Sore, benar sekali, maaf siapa ya, sepertinya suara ini tidak asing," terdengar suara Peter diseberang telepon. "Aku Melani Prasetyo" "Apa kabar dokter cantik, pantas saja aku tidak asing dengan suaramu. Tumben menghubungiku, ada yang bisa aku bantu?" "Kita nanti akan bernostalgia tentang masa-masa kita dulu. Saat ini aku membutuhkan bantuanmu." "Oke cantik, selama aku bisa, aku akan membantumu sebisaku." "Sekarang dinas dimana?" "Aku dinas di Rumah Sakit Swasta disini." "Oh baiklah, bisakah kau memberiku informasi tentang pasien yang dirujuk dari Rumah Sakit mu, namanya Fauzan Latif." Bagai tersengat listrik mendengar nama itu, dokter Peter terdiam sangat lama. Siapa yang tidak tahu pengusaha tampan yang kaya raya itu. Kucing saja yang mendengar namanya disebut, pasti akan bersembunyi di bawah meja. Kini wanita cantik ini ingin tahu tentangnya, Peter sangat khawatir, dia mengkhawatirkan dokter yang dikenalnya cerdas dan sangat cantik ini. Tetapi apapun itu, Peter berniat akan membantu Melani.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD