Betapa malunya Vania karena menjadi pusat perhatian di kampus. Gadis itu mendesah sambil terus bergumam tidak jelas.
Karena sudah terlanjur, Vania membawa Leo menjauh ke tempat yang sepi.
"Tetangga, aku sudah bilang menolak tawaranmu," kata Vania terlihat kesal.
Leo diam, terus menatap gadis itu. Entah marah atau kesal, yang jelas Vania tidak tahu.
"Bisakah kau berhenti mengusikku?"
"Tidak," tolak Leo dengan santai.
Bagaimana mengusir orang yang ada dihadapannya?
"Kau terlalu menyita perhatian."
Dari atas sampai bawah, apa yang dikenakan Leo sangat mahal. Harga jasnya mungkin lebih mahal dari apapun.
"Kau harus pergi."
"Aku menolak," jawab Leo. Pria itu melipat kedua tangannya, tak memperdulikan sekitar.
"Ah…, aku bisa gila."
Vania menyeret Leo lagi ke tempat yang sepi untuk menghindari semua orang.
"Aku mohon…, jangan mengusikku."
"Aku akan terus datang," kata Leo sambil menyentuh anak rambut Vania dengan lembut.
Pria itu pun balik badan meninggalkan gadis tersebut seorang diri.
"Kau mau menantangku. Maka aku akan melayanimu."
Kalau Leo datang, maka yang dilakukan adalah menghindar. Memang dasar tetangga aneh, bisa-bisanya muncul di kampus hampir setiap hari.
Vania terus saja menggerutu meski Leo sudah tidak terlihat punggungnya. Sungguh ia tak akan membiarkan pria itu melakukan semua yang di inginkan.
Kesal dengan situasi, gadis itu pun berjalan dengan wajah cemberut. Matanya membulat saat melihat Alice sedang menikmati minumnya di bangku taman.
"Alice!" teriak Vania membuat gadis itu tersentak kaget. Buru-buru ia membuang minuman itu. "Kau teman yang membuangku ke kandang singa!"
Alice mengangkat kedua tangan, "Aku takut dengan tetanggamu." Faktanya memang dia takut.
"Tapi setidaknya kau terus berada di sisiku." Terus terang Vania kesal dengan Alice yang kabur begitu saja.
"Vania…," bujuk Alice seraya bersikap manis. Mereka berdua pun berjalan menuju ke kafe. "Tetanggamu itu benar-benar menakutkan."
Kepala Vania miring kekanan, "Sepertinya kau salah. Dia bukan menakutkan, tapi menyebalkan."
Seberapa pintar Leo menyembunyikan wajah aslinya di depan Vania? Alice mengacungi jempol.
Siapapun yang melihat Leo untuk pertama kali, dia pasti akan lari terbirit-b***t. Pasalnya aura pria itu tak main-main. Berada di sekitarnya saja membuat sesak nafas.
"Oke, maafkan aku. Lain kali aku berada di sampingmu. Jangan marah padaku, Vania."
Alice menaruh kepalanya di pundak gadis itu untuk meminta maaf bersikap manja seperti binatang peliharaan memang pilihan terbaik.
"Baiklah…, aku memaafkanmu."
Begitulah Vania, terlalu baik hingga Alice tambah merasa bersalah. Sampai kapan dia harus menjadi bayang-bayang hitam disekitar Leo.
Sementara itu, Leo mengendarai mobil dengan pelan di belakang mereka berdua. Mata emangnya terus menatap Vania tiada henti. Hingga akhirnya keduanya belok ke gang.
"Aku akan terus mendekatimu." Senyum Leo mengembang, lalu menginjak pedal gasnya menuju ke kantor.
Ditengah perjalanan, pria itu melihat Raul sedang menyeberang jalan.
"Raul, apa yang dilakukan olehnya?"
Karena penasaran, Leo memarkir mobilnya di pinggir jalan. Ia melihat Raul masuk ke tempat aksesoris kaum perempuan. Tidak lama kemudian, dia keluar dengan membawa sebuah tas.
"Apa yang dia beli?" Leo mengetuk stang mobil beberapa kali. Setelah Raul pergi, ia pun masuk ke dalam toko.
"Selamat datang!" sapa pelayan wanita. Banyak kaum hawa disana yang terperangah atas penampilan Leo. Mereka sampai berebutan untuk melayani.
"Kau," tunjuk Leo ke gadis yang ada dipojokan. Dia terlihat pendiam.
"Saya, Tuan." Gadis itu berjalan mendekat.
"Apa yang dibeli pria barusan?"
Tiba-tiba manager datang dengan wajah paniknya. "Tuan Zang!" sapanya tergopoh-gopoh. Para pelayan toko saling pandang satu sama lain. Siapa yang tak kenal marga Zang? Semua orang tahu bahwa mereka adalah konglomerat.
"Kau kembali ke tempat," usir manager kepada gadis tadi. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"
"Pria yang barusan keluar beli apa?"
Seorang pelayan yang bertugas langsung angkat suara. "Dia beli kosmetik untuk adiknya sebagai hadiah ulang tahun."
Ternyata seperti itu, Leo lupa kalau Vania sebentar lagi ulang tahun.
"Bisakah kau membungkus satu set peralatan yang bagus? Kirim ke kantorku."
"Bisa, Tuan. Kami akan melakukannya."
Leo mengeluarkan kartu hitamnya, lalu sang manager bergegas untuk melakukan aktivitas p********n lewat kartu itu.
"Terimakasih, Tuan. Silahkan datang kembali!"
Leo balik badan, kemudian berjalan menuju ke mobilnya. Satu set alat make up lengkap untuk Vania, tapi bukan hadiah ulang tahun.
"Bagaimana reaksi Vania jika aku memberikan hadiah itu?"
Selain bunga, Leo ingin memberikan sesuatu yang membuat gadis itu puas.
Sayang sekali, Vania bukan tipe gadis yang suka berdandan. Dia selalu memakai sesuatu ala kadarnya. Kecantikan alami itulah yang membuat beberapa pria melirik gadis itu.
Mobil Leo terus berjalan hingga sampai di kantor. Ben yang baru saja keluar langsung menyambutnya.
"Kenapa kau gelisah, Ben?"
"Asisten Tuan Durent datang membawa kontrak."
"Berapa lama dia menunggu."
"Cukup lama, Tuan."
Karena ponsel Leo dimatikan, Ben jadi tidak bisa menghubunginya.
"Aku akan menemui asisten itu sendiri."
Leo pun masuk ke dalam lift menuju ke lantai lima, tempat di mana bawahan Durent berada.
Saat pintu terbuka, asisten itu mendongak. Wajahnya tanpa ekspresi sama sekali. Ternyata dia terlatih. Durent cukup pintar mengirim orang seperti dia.
"Waktu adalah uang, Tuan Zang. Anda sangat tidak kompeten."
Asisten itu adalah seorang wanita. Penampilannya cukup menawan. Hanya saja Leo tidak tertarik.
"Mana berkasnya!" pinta Leo sambil duduk dengan tenang. Wanita itu menyodorkan berkas sambil melirik sekilas ke arah pria itu.
Namanya juga wanita, pasti terpesona oleh sosok Leo. Hanya saja karena harus profesional, segala emosinya dibuang untuk pekerjaan.
"Oke…, aku akan menandatanganinya. Tapi, tinggalkan kontrak di sini."
"Tuan Durent ingin kontrak itu diserahkan hari ini juga."
Wanita itu bersikeras dengan pendiriannya. Sayang sekali Leo tak akan menyerahkan kontrak sebelum dibaca dengan teliti.
"Kau bisa kembali dengan kontrak kosong itu."
Wanita itu tampak tercengang, tapi sedetik kemudian ekspresi wajahnya diubah sedia kala.
"Oke. Saya akan meninggalkan kontrak ini." Wanita itu bangkit, membungkuk hormat. Leo bersemirik saat melihat dia pergi tanpa pilihan.
Tidak lama kemudian, Ben datang membawa tas ditangannya.
"Ini dari toko kosmetik."
"Ternyata kerja mereka cepat juga." Leo bangkit memberikan berkas kepada Ben. "Periksa kontrak itu, Ben. Aku akan pergi ke tempat Vania kerja."
Begitulah Leo, jarang ada di kursi kepemimpinan. Menyerahkan segala urusan kepada Raya dan Ben. Dia tidak tahu kalau kedua orang itu kelabakan dengan beberapa berkas yang menumpuk.
"Oiya…, bawa berkas yang ada di atas meja ke rumah. Aku akan memeriksanya."
Ben bisa bernafas lega karena Leo telah mengambil pekerjaannya kembali. Pasalnya banyak proyek yang harus disetujui oleh pria itu.
"Saya akan mengurusnya, Tuan," kata Ben sambil tersenyum. Akhirnya ia bisa bernafas lega, lalu kembali ke ruangan untuk menemui Raya.
"Raya…, kau boleh pulang sekarang."
"Tapi, bagaimana dengan berkas ini?"
"Tuan meminta berkas dibawa pulang. Jadi, kau bebas dari lembur."
Raya bersorak senang karena acara malamnya tidak batal.
"Kalau begitu, aku pulang!"
Dengan senang, dia bergegas pergi meninggalkan Ben. Memang masa muda sangat menyenangkan. Terkadang pria tua itu ingin kembali ke masa indah tersebut.