Semua terasa sulit bagi Vania karena akhir-akhir ini mengalami banyak kejadian di luar dugaan.
Entah keberapa kalinya, gadis itu menghela nafas sampai tak terhitung jumlahnya. Jika dipikir, hidup Vania mulai berubah karena kehadiran Leo.
"Yang jelas aku harus menghindarinya. Tapi, bagaimana caranya?"
Otaknya buntu, tak bisa berpikir jernih untuk menemukan ide bagus.
Tidak lama kemudian, Alice datang dengan membawa sesuatu di tangan kanannya.
"Apakah harimu menyenangkan tanpaku hari ini?"
"Kenapa kau lama sekali, Alice?" tanya Vania dengan wajah manja.
"Maaf…, profesor ku masih membahas sesuatu mengenai penelitian."
Alice mengeluarkan beberapa snack untuk Vania.
"Seharusnya kau mengambil mata kuliah sama sepertiku," kata Vania.
"Aku tidak sepintar dirimu." Alice pun pergi ke ruang ganti, sesekali ia melihat ke arah ponsel.
Tiba-tiba bunyi ketukan pintu dari luar ruangan membuatnya kaget.
"Ini aku," kata orang yang suaranya sangat familiar. Alice pun bergegas membuka pintu dengan buru-buru.
"Bos…, akhirnya kau kembali juga!" pekik Alice tertahan.
Michael menerobos masuk ke dalam ruangan. "Sepertinya kau merasa kesusahan."
"Tidak," dusta Alice sambil membuang muka ke arah lain.
"Kita sama-sama terjebak, Alice. Penuhi saja tugasmu," bisik Michael dengan suara serak. "Jangan mencoba untuk membuat kesalahan jika kau ingin selamat."
"Aku tahu diri, Bos."
Alice memang orang yang cocok untuk mengawasi Vania. Namun kasihan juga dia harus mempertaruhkan persahabat demi uang.
"Nanti malam akan ada pesta kecil. Aku akan mentraktir seluruh karyawan ku minum."
Michael menatap Alice dari atas sampai bawah.
"Tugasmu menutup kafe lebih awal, Alice."
"Aku mengerti, Bos."
Michael menepuk rambut Alice dengan lembut, "Kerja bagus." Dia bersiul senang lantas keluar dari ruangan.
Sekarang tinggal mengundang Leo untuk ikut serta merayakan pesta.
"Aku ingin melihat sejauh mana mereka menjalin hubungan."
Dengan senang, Michael mengirim pesan kepada Leo. Tentu pesan itu langsung sampai padanya.
"Apa yang akan dilakukan bocah itu?" Jari Leo mengetuk pelan, tidak membalas pesan itu. "Vania tidak mungkin datang."
Perkataan Leo didengar oleh Raya yang berdiri cukup lama. Kaki wanita itu sangat pegal dan juga kram.
Aku sangat tersiksa, batin Raya berteriak sekeras mungkin.
"Raya, siapkan beberapa berkas untuk rapat dengan Petrucci."
Dengan adanya Raya, pekerjaan Ben sedikit berkurang. Tapi bukan berarti dia bersantai ria.
"Baik, Tuan."
Raya sangat lega, bisa keluar ruangan yang sangat sesak itu.
"Apakah kau kesulitan bernafas?" tanya Ben membuat Raya terlonjak kaget.
"Jantungku!" gumam Raya dengan wajah lemas.
"Aku hanya bicara pelan. Kau sampai kaget seperti itu."
Jelas kaget, karena Ben berjalan tidak bersuara, layaknya hantu.
"Tuan Ben, aku harus kerja."
"Kau memang pilihan yang tepat. Semoga kau betah bersama Tuan Leo Zang."
Ben membuka pintu lalu masuk ke dalam ruangan.
"Tuan, apakah saya mengganggu istirahat anda?"
"Tidak…," kata Leo sambil membuka mata. "Ada informasi apa?"
"Saya belum bisa mengakses berkas Keluarga Durrent."
"Sepertinya mereka menyembunyikan masa lalu dengan rapat. Kali ini, lawanku tidaklah mudah."
Leo bangkit dari kursi. "Aku akan tenang untuk sementara waktu, kau tetap cari info mengenai Durrent."
Ben pun pergi untuk melaksanakan tugasnya. Sekarang Leo mulai memikirkan rencana demi rencana untuk nanti malam.
Kembali ke Vania yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Para pengunjung mulai berkurang karena hari mulai sore.
Karena kafe sudah sepi, Alice segera menutup tempat itu lebih awal.
"Ini masih sore," kata Vania tak mengerti.
"Bos akan mengadakan pesta. Kita semuanya di undang."
Mereka bersorak gembira, kecuali Vania. Melihat wajah murung temannya, Alice pun angkat suara.
"Vania, apa kau tak senang?"
"Bukan seperti itu, aku belum pamit Raul."
Alice tersenyum, "Serahkan padaku, aku yang akan minta izin kepadanya."
Pesta, sudah lama Vania tidak merasakannya. Pesta seperti apa yang di adakan oleh bos kafe itu?
Melihat Michael duduk dari jauh, mata Vania menatap penuh selidik. Gadis itu mulai berkecamuk dengan pikirannya.
Dilihat saja, bos kafe itu bukan orang biasa. Dia terlihat kaya dan juga punya pakaian mahal. Kenapa dia memilih bisnis kecil yang mempunyai keuntungan tidak tinggi?
Ada yang aneh, batin Vania tidak berhenti menatap Michael.
Perasaan pria itu kita, langsung mendongak ke atas sehingga kedua mata mereka bertemu satu sama lain.
Vania tidak enggan terus bertatap dengan Michael, begitu juga sebaliknya.
"Apa yang dipikirkan gadis itu," gumam Michael sambil menyeruput kopinya.
Sudah lama Vania menatap ke arahnya. Michael tidak mempermasalahkan hal itu. . Jujur saja, ia penasaran dengan isi otak Vania.
"Bos!" panggil Alice untuk sekian kalinya.
Karena terlalu menikmati adu pandang dengan Vania, Michael jadi tak menyadari Alice telah memanggilnya beberapa kali.
"Sialan!" geram Michael membuat Alice terkejut.
"Kau mengumpatiku, Bos," ujarnya tak percaya.
"No!"
Michael hanya kaget karena Alice membuyarkan lamunannya. Sungguh ia tidak bermaksud untuk mengumpat gadis itu.
"Yang jelas aku tidak melakukan itu," kata Michael sambil menggeser kursi. Lebih baik segera bergegas keluar kafe. "Aku sudah mengirim alamat tempat untuk pesta kita ke nomormu, giring mereka kesana!"
Bahkan Michael bicara tanpa menoleh. Terus terang saja Alice kesal dengan tingkah bosnya itu.
"Ada apa?" tanya Vania.
"Kita pergi sekarang. Sepertinya bos sudah tidak sabar."
"Eh…, bagaimana dengan Raul?"
"Dia sudah memberi izin. Kau tenang saja."
Raul memang memberi izin karena pria itu ingin melakukan sesuatu yang penting. Dengan tidak adanya Vania dirumah, ia bisa bergerak bebas.
Seperti sekarang, Raul sedang bertemu dengan seorang pria.
"Bagaimana, apakah kau sudah berhasil?"
"Bertahanlah sebentar lagi, berkasnya sedang diurus," kata pria itu. "... tapi, aku tak bisa bergerak bebas untuk sementara waktu. Ada orang yang mencariku."
"Sepertinya, dia mulai curiga," tebak Raul.
"Orang yang kau hadapi bukan orang sembarang. Aku akan menghubungimu jika semuanya sudah beres."
Dia pergi begitu saja meninggalkan Raul sendirian. Kenapa sangat sulit?
"Aku harus bertahan sebisa mungkin."
Raul akan bersikap tenang dengan cara menunggu temannya itu. Ia yakin kalau dia bisa di andalkan.
Melawan Leo harus dengan taktik. Jika gegabah, maka semuanya akan sia-sia.
Raul pun mulai melangkahkan kakinya untuk meninggalkan gang itu. Berlama-lama disana membuat perasaan tak nyaman menyerbu.
Sampai dijalan besar, Raul berhenti menatap lalu lalang kendaraan. Lalu kakinya berjalan menuju ke suatu tempat, hingga akhirnya sampai di pemakaman.
Susana tampak tenang. Ada beberapa orang yang berkunjung ke tempat itu. Hingga akhirnya, kakinya berhenti pada dua makam.
"Apa kabar?" tanya Raul sambil jongkok.
"Harusnya aku membawa Vania kemari. Apa yang harus aku lakukan? Dia datang mengusik hidup kami."
Raul bukan orang yang kuat menghadapi permasalahan kalau bukan karena Vania. Bagi pria itu, adiknya adalah penerang hidup untuk bertahan kerasnya dunia.
"Berkati kami untuk melewatinya."
Raul menatap dia nisan itu saling bergantian satu sama lain. Kebahagian dulu di masa lampau mulai terlintas kembali di otaknya. Segala kenangan yang melibatkan kedua orang tua muncul. Tanpa sadar, air mata pria itu menetes.