Suasana hati Vania tampak kacau, bahkan konsentrasinya buyar begitu saja. Bukan tanpa alasan, itu semua berkat dua pria yang duduk bersamanya.
Alice pun yang peka melirik ke arah Arthur dan Dennis. Keduanya terlihat tak akur, terlebih lagi Arthur seolah mencegah Dennis menggoda Vania.
"Jangan mengusiknya!" peringatan Arthur terang-terangan.
"Apa yang kau bicarakan? Vania saja tidak terganggu."
Jujur saja, Vania malah risih dengan sikap mereka berdua.
"Alice, kita pergi sekarang!" ajak Vania tanpa ragu.
"Tunggu!" Dengan lancang Dennis mencekal lengan Vania.
Arthur segera bertindak, "Tindakanmu sungguh tak sopan." Pria itu melepas tangan Dennis dengan paksa. "Biarkan Vania pergi."
Ada apa dengan Arthur? Dia seolah menjadi orang lain, seperti seorang oengawal.
"Sialan!" Dennis kesal, menarik kerah Arthur untuk menjauh dari tempat itu tanpa memperdulikan semua orang kasak-kusuk padanya.
Dengan kasar, Dennis mendorong tubuh Arthur ke tembok. "Apa masalahmu? Hah…!"
"Jauhi Vania," jawab Arthur dengan wajah sayu.
"Omong kosong! Aku ingin menjadikan dia kekasihku!"
"Dennis…!" bentak Arthur dengan kesal. "Kau dan dia tak bisa bersama!"
"Atas dasar apa?" Sebuah tinju melayang pada pipi Arthur cukup keras hingga lebam.
Arthur pun tidak tinggal diam, membalas perbuatan Dennis. Mereka pun saling pukul satu sama lain hingga terkapar di lantai.
"Jangan mendekatinya!" peringat Arthur sekian lagi.
"Bukankah kau dulu mengejarnya? Apa semua ini berkaitan dengan rumor kemarin? Katanya keluargamu bangkrut."
"Aku menyudahinya. Dan kau juga harus melakukan hal yang sama."
Arthur bangkit sambil menyeka sudut bibirnya yang berdarah. Pria itu mengambil tas, lalu meninggalkan Dennis begitu saja.
"Ada apa dengannya? Sangat aneh."
Dennis tak peduli dengan omongan Arthur, memilih mengejar Vania lagi dan lagi. Pria itu melihat gadis tersebut sedang berada di taman depan kampus.
"Aku menemukanmu," ujar Dennis sambil tersenyum. Vania malas menanggapinya, bersikap aduh karena itu lebih baik.
Saat hendak pergi lagi, tangan Dennis mencekal lengan Vania, tatapan mata melirik sekilas ke wajah yang lebam.
"Jangan menghindariku." Wajah Dennis memelas, tapi Vania tidak peduli sama sekali, bahkan menatapnya pun enggan.
Semua adegan itu dilihat oleh Leo. Dia sedang berada di dalam mobil mengamati dari jauh. Kenapa Dennis selalu saja berada disekitar gadisnya?
"Kemana Alice pergi?" geram Leo memegang stang mobil kuat-kuat.
Harusnya Alice bersama Vania untuk melaporkan setiap gerak-gerik orang yang selalu mengganggu.
Terlihat jelas Leo sedang menahan amarahnya. Wajah pria itu sudah mengeras ditambah aura gelap dan dingin menjadi satu.
"f**k…!"
Leo ingin sekali menghajar bocah itu sekarang, tapi jika tanpa pikir panjang pasti Vania tambah marah padanya.
Pria itu pun terus menatap mereka berdua. Vania menghempas tangan Dennis cukup kasar, lalu pergi meninggalkannya begitu saja.
Dennis tidak kehilangan akal, terus mengejar gadis itu hingga langkah kaki berhenti tepat di depan mobil Leo.
Karena tidak ingin Dennis berbuat lebih, Leo akhirnya turun dari mobil. Namun sebelum itu, ia mengubah segala bentuk ekspresi wajahnya menjadi selembut mungkin.
Saat Leo keluar mobil, para gadis berteriak histeris. Pria matang dengan gaya yang sangat hot menyita perhatian mereka.
Dalam waktu relatif singkat, Leo pun menjadi pusat perhatian semua orang.
"Kau!" tunjuk Vania tidak mengira bahwa mobil yang ada di depannya itu milik Leo.
"Yes…, ini aku." Leo tersenyum dengan lembut, menampilkan ketampanan yang begitu sempurna.
Sementara Dennis menghentikan langkahnya karena melihat Leo berada di dekat Vania. Dia memilih pergi tak ingin terlihat dengan pria itu di depan publik.
Vania memutuskan untuk pergi begitu saja, tapi Leo berusaha mengejarnya.
"Apakah kau marah padaku?"
"Tidak!" jawab Vania singkat.
"Lalu, kenapa kau menghindariku?"
Vania hanya tidak ingin menjadi pusat perhatian. Lihat para gadis itu, mereka tampak kesal kepadanya.
"Berhenti mengikutiku," kata Vania terus berjalan menjauh.
"Aku akan terus mengejarmu, Vania."
Leo menarik lengan gadis itu hingga tubuh bagian belakang bertumpu dengan tubuh Leo.
Sontak Vania berusaha menjauh, tapi tangan Leo dengan lancang melingkar di pinggangnya.
"Maafkan aku untuk yang semalam," bisik Leo membuat bulu kuduk gadis itu meremang.
Vania hanya diam, langsung menginjak kaki Leo cukup keras. Dia bergegas kabur meninggalkan pria itu.
Ah, Leo tak bisa berkata apapun lagi. Yang dipikirkan hanya kesenangan bersama dengan Vania.
"Semakin kau menjauh, aku akan semakin mengejarmu," gumam Leo terus menatap punggung Vania yang mulai menghilang.
Ia berdiri cukup lama di area sepi itu. Sampai akhirnya Dennis datang menghadangnya ketika hendak pergi.
"Kau terlalu tua untuk Vania," kata Dennis dengan berani.
Leo hanya melewati pria itu, Dennis yang merasa diabaikan sangat kesal setengah mati.
"Hey…! Kau mau mati!"
Dennis hendak melayangkan tinju ke arah Leo. Namun ada hal yang tidak terduga, Arthur langsung menyeretnya menjauh dari tempat itu.
"Kau gila!" teriak Arthur cukup keras.
"Kau yang gila! Aku hampir memukulnya untuk melampiaskan kekesalanku!"
"Ingat posisimu, Den!"
Arthur frustasi dengan tingkah Dennis. Ia mengusap wajahnya cukup kasar.
"Jangan mengusik Vania dan pria itu," peringatan Arthur.
"Kenapa? Kau pasti cemburu. Cih, kau itu selalu dibawahku…!" ejek Dennis dengan sombong.
"Aku memperingati mu, bukan hanya sekedar omong kosong belaka."
Arthur hanya tak ingin hidup Dennis menderita seperti hidupnya meski hanya sehari.
"Minggir…! Aku bisa mendapatkannya!" Dennis menyenggol bahu Arthur cukup kasar.
"Terserah…, aku sudah berbaik hati memberitahumu."
Arthur pun memilih pergi, tapi ternyata Leo muncul di depannya.
"Usaha yang bagus."
Pria itu bertepuk tangan memuji Arthur yang sangat mengkhawatirkan temannya itu.
"Tuan…," panggil Arthur dengan wajah menunduk. Leo belum mendekat, tapi tubuhnya sudah gemetar.
"Jika Alice tidak di tempat, seharusnya kau menjaganya."
Leo kira dua orang cukup untuk membuat kumbang itu pergi menjauh. Faktanya kumbang tersebut bersikeras terus mendekati gadisnya.
"B-baik, Tuan," kata Arthur masih menundukkan kepala dengan takut.
"Buktikan, Arthur. Jangan membuatku kecewa," bisik Leo lalu melangkahkan kakinya.
Kali ini, pria itu akan mengikat orang-orang yang ada disekitar Vania. Suatu hari nanti, Dennis juga akan dalam genggamannya, tapi tidak sekarang.
Leo mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seseorang.
"Kau, kerjakan tugas dengan baik. Jangan membuatku marah!"
Orang yang dihubungi adalah Michael. Dengan enggan, pria itu kembali ke kafe. Tentu untuk melaksanakan tugas dari Leo.
"Hais…, rambutku bisa rontok!"
Sangat jelas bahwa Michael sedang frustasi. Seperti sekarang, ia hanya berada di kantornya menunggu kedatangan Vania.
"Aku tidak tahan berada di ruangan sempit."
Akhirnya Michael keluar ruangan. Kafe terlihat ramai. Semua bawahannya sedang sibuk. Tidak lama setelahnya, Vania membuka pintu masuk kafe.
Michael tertegun karena dari segi manapun dia memang persis dengan Vanya. Di dunia ini, apakah ada reinkarnasi? Pikiran pria itu mengarah pada hal fantasi.
"Bos…," panggil salah seorang pegawainya.
Michael kaget seketika, terlihat canggung tapi sedetik. Kemudian mengubah ekspresinya.
"Apa Alice belum datang juga?"
"Belum…, dia akan datang terlambat. Sudah ada Vania. Pekerjaan kasir di ambil alih olehnya."
Michael mengangguk, "Kau mau pulang sekarang?"
"Iya bos…, aku pamit." Dia pergi karena jam kerjanya sudah habis. Tapi sebelum keluar kafe, gadis pelayan itu bicara sesuatu dengan Vania.
Vania pun tersenyum kepada Michael, membuat pria itu salah tingkah.
"Sialan! Aku tidak boleh terpesona."
Pantas saja kafe rame, karena ada satu orang yang membuat para pengunjung betah. Lihat, mereka selalu melirik malu ke arah Vania.
"Andai saja Leo tahu yang sesungguhnya yang terjadi dilokasi," kata Michael sambil bergidik ngeri bercampur merinding.