23. Hotel Mewah

1112 Words
Leo membawa Vania ke hotel sangat mewah, berkelas dan juga megah. Hotel itu yang akan menjadi saksi malam pertamanya tidur dengan gadis tersebut. Sembari membaringkan Vania di atas ranjang. Leo terus memandangi wajah gadis itu. Dari kepala hingga ujung kaki, tak lepas dari matanya. "Aku tak ingin waktu cepat berlalu." Pria itu menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh Vania. Ada untungnya juga dia mabuk. Tapi bukan berarti Michael lolos dari hukuman. "Besok saja urus dia. Sekarang aku akan menghabiskan waktuku dengan Vania." Di saat tangan Leo mulai menyentuh wajah Vania, mata gadis itu terbuka dengan lebar. "Kau rupanya." Dia berkedip beberapa kali dengan pelan. Meskipun Leo kaget, tapi dia bersikap biasa. "Terkadang mimpiku seperti nyata," ujar Vania dengan wajah lembut. "Kalau mimpimu nyata, apa yang kau lakukan?" "Mengusirmu…," jawab Vania. Ah, kenapa juga Leo tanya sesuatu yang jelas jawabannya. "Apakah kau setega itu?" "Tidak, karena hatiku memang lembut." Vania menatap Leo sambil tersenyum, lalu meraih lembut pipi pria itu. "Kekasih aunty ku yang malang. Karena dia meninggal kau jadi sendirian." Haruskah Leo memarahi Vania? Kenapa gadis itu menyebut Vanya dalam keadaan mabuk. "Semoga kau bahagia." Tangan Vania jatuh ke ranjang, mendengkur halus. Artinya dia tidur dengan nyenyak. "Apa yang harus aku lakukan padamu? Sepertinya perjuangan mendapatkanmu masih panjang." Leo mengecup dahi Vania, lalu mengirim pesan kepada Ben. Tidak lama kemudian, Ben datang menghadap Leo. "Apa yang bisa saya lakukan, Tuan?" "Kabar Raul." "Tuan Anderson berkunjung ke makam untuk menemui kedua orang tuanya." "Orang yang ditemuinya?" "Kami kehilangan jejak. Sepertinya dia bukan orang sembarangan," kata Ben dengan suara pelan. "Cari sampai ketemu! Aku tak mau tahu, kau harus mendapatkannya." Ben pun undur diri meninggalkan Leo yang bersama dengan Vania. Meski tubuh gadis itu bersamanya, tapi ketakutan besar tetap bersarang di dalam hati. Jika belum menemukan orang yang bekerja dengan Raul, maka kegelisahan terus menggerogoti tubuhnya. Sementara itu, Raul pulang ke rumah. Melihat rumah dalam keadaan sepi, rasa cemas pun mendera hati dan pikirannya. Hingga akhirnya, ia memutuskan menghubungi Alice. Ternyata gadis itu sudah mengirim pesan terlebih dahulu, bahwa Vania bermalam dengannya. Hati Raul langsung melega karena kabar itu. Pria tersebut pun memilih masuk ke dalam kamar, menaggalkan jaketnya, segera berbaring di atas ranjang. "Aku lelah," gumam Raul sambil menutup kedua matanya perlahan. Pria itu sudah masuk ke alam mimpi hingga pagi menjelang matahari sudah muncul pun dia belum bangun. Bahkan Vania juga masih nyenyak dalam tidurnya. Gadis itu tidak menyadari dipeluk oleh seorang pria. Vania pun mencari kehangatan, seolah sudah menjadi candu baginya. Leo merasa senang tiada tara karena tidur bersama gadis itu. "Vania…, sepertinya kau menyukai tubuhku." Leo mengecup gadis itu dengan lembut, bangkit dari ranjang sebelum Vania menyadarinya. "Anda sudah bangun. Alice menunggu tuan keluar kamar." Leo berjalan menuju ke kamar mandi sebentar untuk membasuh wajahnya. "Biarkan dia masuk seperti rencana sebelumnya. Aku akan pergi ke kantor." "Baik, Tuan." Ben mempersilahkan Alice masuk dan tidur disamping Vania. Sedangkan Leo menatap gadisnya sebentar lalu bergegas pergi. "Tutup mulutmu dengan rapat, Alice," peringatan Leo tanpa menoleh. Pria itu pergi sesuai dengan rencananya semalam. Alice mengambil nafas panjang, merasa bersalah di dalam hatinya. Sahabat macam apa yang menjual pertemanan hanya karena uang. "Maafkan aku, Vania." Jika bukan karena rentenir yang selalu datang mengusik hidup Alice, gadis itu tak akan melakukan perbuatan rendah. Alice memejamkan mata, memeluk Vania dengan erat hingga gadis itu terusik. "Alice…," panggil Vania karena mencium aroma tubuh temannya itu. "Tidurlah lagi, karena hari masih pagi." Bohong, matahari sudah begitu tinggi, sementara mereka sedang berasik ria hingga suara alarm dari ponsel berbunyi. "Jam berapa sekarang?" Vania mencari ponselnya. Kebetulan ponsel itu berada di atas nakas. Dengan mata yang masih terpejam, ia meraih benda itu. Saat membuka mata, Vania terkejut karena sudah jam delapan pagi. "Astaga…! Aku kesiangan!" Gadis itu bangun dari berbaringnya. Kali ini ia terkejut bukan main melihat gaya bangunan yang ada di dalam ruangan. "Tempat apa ini?" Alice mengusap kedua matanya, "Hotel." "Apa? Kenapa kau tak membawaku pulang? Kenapa malah ke hotel mahal?" Wajah Vania terlihat panik dan juga cemas melihat berapa megahnya hotel yang ditinggali semalam. "Tenang…, bos yang bayar," dusta Alice dengan lancar. Faktanya bukan Michael yang membayarnya, melainkan Leo. "Tapi tetap saja. Aku tak enak hati." Vania bangkit dari ranjang, menatap ke penjuru arah. Sungguh tempat yang di pijaki benar-benar kelas atas, berbeda dengan motel. "Apakah aku melakukan sesuatu yang buruk saat mabuk?" "Tidak…, kau sangat tenang." Alice bahkan tidak tahu apa yang dilakukan Vania. "Di masa depan nanti, aku tak akan minum lagi." Toleransi alkoholnya begitu rendah, sampai tak ingat kejadian saat mabuk. Namun begitu rasa pusing mendera, beberapa ingatan terlintas di benaknya. "Astaga…!" pekik Vania tertahan. Tidak mungkin ia melakukan hal konyol kepada Leo. "Alice," panggil Vania. "Jawab pertanyaanku dengan jujur, apakah tetanggaku datang tadi malam?" "Tidak, kau selalu bersamaku," jawab Alice sambil menggigit bibirnya cemas. "Syukurlah…," kata Vania lega. Mungkin tadi malam ia bermimpi mengenai Leo. Tidak mungkin pria itu datang dan bicara dengannya. Jika itu fakta, maka seratus persen Vania akan dirundung malu yang tak terkira. Sayang sekali hotel mewah itu hanya untuk tidur semalam saja. Jika punya waktu banyak, Vania akan menggunakan fasilitas sepuasnya. "Kita pulang sekarang. Raul pasti marah besar karena aku belum pulang." Marah besar? Salah, karena Raul belum bangun sama sekali. Dia mendengkur tanpa memperdulikan matahari yang kian meninggi. Suara burung yang saling bersahutan pun diabaikan begitu saja. Karena Raul masih betah berada di alam mimpi, hingga tidak menyadari ada orang yang masuk rumah dengan lancang. "Sepertinya memang tidak ada orang." Dia adalah Dennis. Kebetulan pria itu sedang lewat komplek perumahan yang dihuni oleh Vania. Makanya ia mampir untuk menjemput gadis itu. Pemuda itu memang tebal muka. Sudah di usir banyak kali, tetap saja datang tanpa rasa malu sedikitpun. Melihat rumah yang kosong melompong, Dennis memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Rasa kecewa pun datang kala tidak mendapati Vania berada di rumah. "Sialan!" Padahal Dennis sudah berdandan maksimal supaya Vania bertekuk lutut dihadapannya. Namun apa yang dilakukan hanya sia-sia saja. "Tenang…, masih ada waktu." Dennis mengendarai mogenya keluar dari halaman rumah Vania. Mendengar deru mesin berbunyi, Raul pun bangun dari tidurnya. "Kesiangan!" Raul segera bergegas ke kamar mandi seperti biasa. Lalu segera menuju ke dapur. "Vania…!" teriak Raul cukup keras. Karena tidak ada tanda kehidupan, pria itu masuk ke dalam kamar Vania. Tapi yang didapat tempat itu kosong melompong. "Aku lupa kalau dia menginap." Raul menutup pintu kamarnya. Tiba-tiba ponsel yang ada di kamar berbunyi. "Aku datang…!" Raul masih menggunakan apron. "Halo…," jawab Raul dengan wajah serius. "Aku akan datang sekarang." Pria itu melepas apron dengan kasar, menyambar jaket yang ada di atas ranjang segera bergegas keluar rumah. Siapa yang mengira kalau temannya dengan cepat melakukan panggilan. "Tunggu saja. Kita akan segera bebas, Vania," gumam Raul dengan wajah senang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD