24. Mimpi dan Kenyataan

1158 Words
Vania masuk ke dalam rumah dengan sangat berhati-hati. Takut kalau Raul bangun dari tidurnya. Bahkan berjalan pun dia lakukan dengan cara berjinjit. Sesekali, Vania menghela nafas panjang, seolah lega karena apa yang dilakukan membuahkan hasil. "Aku harus cepat bersiap ke kampus." Gadis itu masuk ke dalam kamar mandi, mengguyur tubuhnua dengan air shower jika dipikir kembali, hotel megah gratis yang fasilitasnya memadai terbuang percuma. "Andai saja aku bisa bangun lebih awal." Vania membayangkan mandi memakai bathub dan menikmati sensasi kenikmatan surga dunia. "Lupakan…, aku tak punya banyak waktu memikirkan hal yang tidak berguna." Vania mengambil handuk, segera keluar dari kamar mandi. Bernyanyi ria sesekali menengok sekilas ke rumah tetangga sebelah. "Dia sudah tidak ada." Setelah selesai memakai pakaian lengkap, gadis itu memasukkan segala keperluan kampusnya. "Raul…!" panggil Vania. Tidak ada sahutan dari pria itu. Lantas ia keluar kamar untuk melihat kondisi dapur. Ada makanan di atas meja seperti biasanya. "Raul…! Aku akan berangkat!" Vania minum s**u sampai tandas, melirik ke arah kamar Raul. Tidak ada tanda kehidupan di sana. "Kemana dia?" Untuk memastikan keberadaan Raul, Vania masuk ke dalam kamar pria itu. Matanya menyipit saat tidak melihat jaket yang biasa digunakan. "Jadi, dia tidak ada dirumah. Percuma aku berjalan jinjit seperti maling." Vania merasa dirinya sangat konyol, lalu menggeleng perlahan. "Dasar! Pintu pun tidak dikunci." Dia keluar rumah, melewati rumah Leo yang terlihat sepi. Biasanya pria itu sedang membaca koran di teras. Sekarang tidak ada orangnya sama sekali. "Apa yang aku pikirkan." Vania berjalan keluar kompleks perumahan menuju ke halte bus. Tidak lama menunggu, bus datang tepat waktu. Dalam perjalanan menuju kampus, gadis itu banyak terbengong karena ingatan yang tidak pernah dilakukan terlintas jelas. Tiba-tiba saja mukanya menjadi merah seperti tomat masak. "Apakah kau sakit?" tanya seorang wanita yang duduk disebelahnya. "Tidak," jawab Vania menutup sebagian wajah karena untuk menyembunyikan rasa malunya itu. Bus pun berhenti tepat di halte dekat kampus. Gadis itu langsung turun dengan berlari, segera menuju ke ruang kelas. Dia terengah-engah, lalu menyembunyikan wajah dengan kedua tangannya. "Ini gila! Aku tak mungkin melakukan itu kepada tetanggaku!" Apa jadinya jika mereka bertemu. Segala imajinasi yang seperti nyata itu kian menyelimuti otak kecilnya. Bahkan suara-suara pembicaraan antara Leo juga terdengar jelas. "Kau sudah datang," sapa Dennis duduk disamping Vania. Pria itu sudah menunggu kedatangan Vania, bahkan sampai rela tidak masuk kelas hanya untuk memastikan kehadirannya. "Itu tempat duduk Alice, lebih baik menyingkir," usir Vania terang-terang. Sayangnya Dennis tidak menggubris, malah tersenyum seperti orang gila. "Dia belum datang." Belum satu menit berlalu, Alice sudah muncul. Mau tidak mau, Dennis pun pindah posisi tempat duduk. "Apa dia mengganggumu lagi?" tanya Alice menaruh tas di atas meja. "Jika aku punya kekuatan super, maka dia akan ku kirim ke mars." Alice tertawa mendengar perkataan Vania. Sungguh dia selalu bisa membuat suasana menjadi renyah. "Alice, apakah kau yakin semalam tetanggaku tidak datang?" "Aku yakin. Kau saja selalu bersamaku," Jawab Alice. "Ada apa?" "Aku merasa kalau dia nyata. Bahkan imajinasiku kian kuat bahwa tadi malam kami bicara satu sama lain," kata Vania terheran. "Kau pasti bermimpi!" seru Alice sambil menggeleng. Faktanya apa yang dikatakan Vania benar adanya, dan ia harus menutup dengan rapat. "Ini aneh, sepertinya aku tak bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan." Vania masih kebingungan, bahkan tanpa sadar menggaruk rambut bagian belakangnya. Itu menandakan kalau dia sedang berpikir keras. Maafkan aku, Vania, batin Alice sambil menulis catatan. Sementara itu, Raul bertemu dengan seseorang yang menghubunginya. Kali ini tempat itu sangat berbeda, seperti lorong bawah tanah. "Kenapa kau mengajakku bertemu di tempat seperti ini?" "Itu karena keberadaanku sudah diketahui oleh orang yang berurusan denganmu," jawab pria yang memakai hoodie hitam. "Aku kira kau akan memberiku berkas itu." "Raul, tidak mudah melakukannya, tapi aku akan berusaha. Hanya saja butuh waktu lama. Sementara aku akan menghilang dulu." Sialan, ingin rasanya Raul mengumpat keras, tapi apalah daya. Hanya dia satu-satunya orang yang dapat membantu untuk pergi dari hidup pria itu. "Sampai kapan?" "Sampai semuanya aman. Bertahanlah…, aku akan menghubungimu dengan nomor baru." Pria itu menepuk bahu Raul sambil menghela nafas panjang. "Faktanya orang yang kau hadapai jauh lebih kuat, Raul." "Aku tahu. Aku dan Vania akan bertahan sampai kau kembali." "Yakinlah aku akan kembali dengan berkas itu," ujar pria itu, lalu bergegas pergi meninggalkan tempat tersebut. Raul merasa kecewa hari ini. Ternyata ia harus menunggu lebih lama lagi dari yang dikira. Tidak mungkin dirinya harus mengeluarkan uang banyak lagi untuk mencari orang lain yang lebih profesional. Saat hendak keluar dari lorong, beberapa orang berjas hitam sedang berlarian. "Kejar pria yang memakai jaket hitam!" teriak salah satu dari mereka. Raul bersembunyi dibalik tembok. Ternyata orang itu telah mengerahkan beberapa anak buah untuk menangkap temannya itu. "Sialan! Situasinya benar-benar tidak menguntungkan." Raul berjalan memutar untuk cari aman, hingga dia keluar gang menuju ke jalan utama. Banyak para pengemis yang dilewatinya. Pria itu tak peduli dan terus berjalan menjauh dari tempat itu. Sampai di gang besar, banyak orang berjalan kaki. Raul pun berbaur dengan mereka. Wajahnya tampak lega karena tidak ada yang mengikuti. Faktanya pemikirannya salah. Meski dia mencari jalan aman, tetap saja anak buah Leo bisa menemukannya. Hanya saja, mereka diminta untuk mengawasi bukan menangkap. "Sepertinya dia kembali ke rumah. Kita lapor tuan," kata pria yang menggunakan kaca maya hitam. Keduanya berjalan masuk gang lagi, bertemu dengan beberapa orang yang mengejar teman Raul. "Apakah dapat hasil?" "Dia kabur." Pria berkaca mata hitam itu mendesah karena kesulitan menangkap orang yang dicari. "Kita kembali ke markas." Akhirnya mereka memilih pergi. Dan si teman Raul keluar dari persembunyiannya dengan gaya pakaian yang berbeda. "Kalau aku tidak menyamar menjadi perempuan. Kalian pasti bisa menemukanku dengan mudah." Pria itu pun angkat kaki masih dalam mode penyamaran. Dimasa depan nanti, dia akan berpakaian seperti itu untuk mencari aman. "Siapa orang yang di usik oleh Raul? Hais…, aku harus repot." Diwaktu yang sama, Vania bersama Alice segera angkat kaki dari kelas karena pelajaran sudah usai. Tentu saja mereka buru-buru pergi sebab ada sesuatu yang harus dikerjakan. "Waktu kita tak banyak sebelum pergantian sift," kata Alice merangkul bahu Vania. "Kita ke perpustakaan segera." Mereka memutuskan untuk pergi ke perpustakaan mencari bahan kelompok. Namun tiba-tiba ponsel Alice berbunyi. "Kau pergilah dulu, aku akan mengangkat panggilan." Alice menghentikan langkahnya, berjalan menjauh dari Vania yang masih berada di depan lift. "Kenapa harus bersembunyi seperti itu?" Jawabannya karena Leo yang menghubungi Alice. "Saya masih bersama Vania, Tuan. Saya akan melakukannya sesuai perintah." Alice melihat ke sekelilingnya, takut ada orang yang menguping pembicaraan. "Saya tahu." Tanpa salam penutup, Leo memutus panggilannya sepihak. Jelas dia merasakan tidak tenang meski meminta Alice menjadi pengawal Vania. "Tuan," panggil Ben sambil menyerahkan berkas. "Apakah masih banyak berkas yang harus aku tanda tangani?" "Sudah selesai." "Bagus…," kata Leo semangat. Pria itu bangkit dari kursi. "Aku akan menemui Vania." Leo tak bosan menemui gadis itu. Meski ditolak nanti, ia tak peduli sama sekali. "Kau urus sisanya, Ben." Padahal tadi pagi mereka sudha bertemu, bahkan tidur seranjang berdua semalaman. Tapi Leo tak puas juga, ingin terus berada disamping gadis itu. "Aku sangat merindukannya," gumam Leo tersenyum tipis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD