Vania merasa bosan karena Alice tidak masuk kelas. Setelah usai pelajaran, gadis itu pergi ke ruang dosen menyerahkan tugas kelompok.
Karena shift kafe masih belum berganti, Vania memutuskan pergi ke taman.
"Baru kali ini aku pergi tanpa Alice," gumam gadis itu sambil duduk dengan santai.
Dari jauh, ia melihat Dennis bersama beberapa cewek sedang bersenda gurau.
Vania dari awal sudah mengira kalau Dennis bukan sosok yang baik, alias pria bebas. Bukan seperti dirinya yang merupakan gadis rumahan.
Lama menatap ke asikan mereka, tanpa sadar Vania didekati oleh seseorang.
"Kau iri."
Suara itu sangat familiar, dan Vania malas menanggapi.
"Jika diam berarti iya," ujarnya sambil memberikan buku di tangan gadis itu.
"Adam…, moodku tambah rusak karena kedatanganmu," ucap Vania sambil mendengus kesal.
"Aku kasihan melihatmu sendirian, jadi aku menghampirimu agar tidak kesepian."
Adam menatap ke arah Dennis yang masih bercanda dengan beberapa gadis.
"Tapi aku tak senang dengan mulut pedasmu itu!" kesal Vania sambil menoleh. Gadis itu kaget melihat sudut bibir yang membiru.
"Kau…!" tunjuk Vania dengan heboh. "Berkelahi dengan siapa?"
"Bukan apa-apa," selak Adam menyentuh luka itu.
Vania tersenyum,"Jangan berkelahi karena tak cocok untukmu."
Adam tertegun sejenak, menatap Vania dari atas sampai bawah. Beberapa kali, ia mendesah ringan, karena merasa sayang ada iblis yang menjerat gadis itu.
"Aku pergi!" pamit Adam sambil bangkit.
"Secepat itu," ucap Vania sambil mendongak.
Adam mengangguk, lalu pergi begitu saja. Setelah ini, ia tak akan bertemu lagi dengan Vania. Mungkin jika bertemu dengan status yang berbeda.
Pria itu berjalan menuju ke parkiran eksklusif. Siapa yang mengira ia melihat mobil familiar. Jelas mobil itu milik Leo.
Ben membuka kaca mobilnya, "Kemari…! Ada perintah dari tuanku."
Langkah kaki Adam enggan menuju ke tempat mobil Leo berhenti. Begitu berat rasanya masuk ke sarang iblis. Sampai sesuatu tak kasat mata mengikat talinya. mungkin itu sifat alami manusia.
"Ada apa, Tuan?"
Niatnya hanya baik untuk menemani Vania sebentar, tapi malah ketahuan oleh Leo.
"Ben, berikan berkas ini kepadanya. Suruh dia pergi!"
"Baik, Tuan," jawab Ben menerima berkas dari Leo, lalu menyerahkan kepada Adam. "Pergilah sekarang!"
Karena perintah, Adam segera masuk ke dalam mobilnya. Mobil itu pun pergi meninggalkan parkiran.
"Seharusnya aku tidak datang kemari."
Leo rindu dengan Vania, makanya ia datang berkunjung ke kampus untuk melihat wajah gadis itu. Yang ada malah dia bersama Adam. Meski tak spesial, melihat mereka berbincang perasaan kesal muncul. Dia mulai cemburu tanpa disadari.
"Haruskan kita pergi sekarang, Tuan?"
"Hubungi Willy untuk bersiap. Kita pergi bertemu dengan ketua proyek. Dan juga, besok atur jadwal dengan Durent."
Terkadang, Ben sulit menebak jalan pikiran Leo. Untuk itu, ia hanya mengikuti dan mengamati dari jauh.
Mobil Leo berjalan melewati pintu utama menuju ke tempat kepala proyek berada. Leo ingin memangkas jalan Raul agar tidak terlibat oleh rencananya.
Dengan adanya Raul di sisi gadis itu, rencana yang disusun tidak akan berjalan sempurna.
Saat mobil berhenti, Ben bergegas turun dari mobil untuk membuka pintu. Leo turun sambil membenahi jasnya.
Mereka berada di depan rumah makan mewah bintang lima. Semua orang yang ada di ruangan segera mengalihkan pandangan ke sang casanova.
Banyak yang membicarakan sosok Leo yang sangat sempurna, dari cara berjalan, gaya dan juga apa yang dikenakan.
Namun pandangan dingin itulah yang membuat para perempuan enggan untuk mendekat, seolah Leo memasang tembok besi kuat dan kokoh.
Seorang pelayan pria pun datang menjemput mereka. Dia sudah tahu sosok Leo, segera menggiring ke tempat yang sudah dipesan.
Begitu pintu terbuka, ada seorang pria gendut duduk dengan wajah tegang. Sontak ia langsung berdiri seketika.
"Selamat datang, Tuan."
Leo acuh, memilih duduk dengan santai. "Aku tak akan lama."
Ekspresi wajah kepala proyek terlihat pias, tak berani mengangkat wajahnya. Leo memberi isyarat kepada Ben untuk mendekati sambil memberikan uang.
Ketika segepok uang beramplop coklat berada di atas meja, pria itu sangat terkejut.
"Buat Raul sibuk sampai dia tak bisa berkutik sama sekali."
"Tapi, proyek hampir selesai," kata pria itu dengan lirih.
"Kalau begitu, aku akan memberi proyek baru padamu."
Leo menjentikkan jari, lalu Ben angkat suara. Tuannya memang pintar karena telah mengantisipasi masa depan jika rencana pertama tidak berhasil.
"Tuanku ingin membuat Vila di atas bukit." Ben menyodorkan gambar yang telah dibuat oleh arsitek terkenal.
"Aku harap kau mau menerima pekerjaan besar ini."
Mata si kepala proyek berbinar cerah, "Saya akan melakukannya. Meskipun berada di tempat terpencil sekalipun."
Leo yakin kalau Raul butuh uang. Dia tak akan pilih-pilih pekerjaan. Tapi sebelum itu, Willy harus diperingati agar tidak bekerja terlebih dahulu.
"Ben…, hubungi Willy untuk berhenti dari kerjanya sementara waktu. Aku tak ingin Raul menolak pekerjaan itu."
"Baik, Tuan."
Harusnya dari awal, ia tak gegabah meminta Willy bergerak. Itu karena emosi yang menyelimuti dirinya sampai tidak bisa berpikir jernih.
"Baik, Tuan. Saya akan melakukannya." Ben menjauh, segera menghubungi Willy. Sedangkan Leo masih bicara dengan kepala proyek. Mereka berdua saling berjabat tangan untuk meresmikan kerja sama mereka. apapun itu, uang selalu nomer satu. Terbukti kepala proyek juga sama.
"Kita pergi sekarang!" ajak Leo kepada Ben.
"Terimakasih karena sudah memberi saya proyek, Tuan Zang," kata kepala proyek itu.
"Bekerjalah dengan baik. Aku ingin hasil yang memuaskan."
"Baik."
Leo dan Ben pergi meninggalkan ruangan itu. Satu demi satu, rencananya berjalan dengan sempurna. Nanti setelah Raul mengerjakan proyek itu, maka Vania akan sendirian.
Lebih mudah melakukan sesuatu jika gadis itu tidak ada yang menemani.
"Ben, apakah kau sudah membuat janji dengan Durent?"
"Saya sudah menghubungi asistennya. Beliau sedang ada di Dubai."
Sungguh sangat disayangkan, karena rencana untuk bertemu dengan Durent harus ditunda. Sebenarnya, apa rencana Leo? Ben sendiri juga tidak tahu sama sekali.
Kemungkinan besar, Leo akan bekerjasama dengan pria itu. Tapi, bekerja sama dalam bentuk apa? Karena selama ini, mereka sudah menjalin kerja sama di berbagai bidang untuk keuntungan perusahaan.
Leo pun masuk ke dalam mobil, duduk dengan tenang. Rasa hausnya untuk bertemu Vania masih kurang.
"Ben, aku sudah tak bisa menahannya lagi." Baru kali ini, Leo curhat tentang isi hatinya. Dia terlihat galau di mata Ben. Pemandangan itu sangat jarang sekali.
"Tidak ada cinta yang didapat dengan mudah, Tuan." Pria tua itu melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Cinta, Leo sendiri sudah memendam perasaan itu. Dia lupa bagaimana indahnya rasa yang membuat manusia hidup bahagia.
Karena baginya, cinta sudah pergi sejak sepuluh tahun lalu, dimana Vanya memutuskan hubungan sepihak. Meskipun akhirnya ia tahu tujuan gadis tersebut.
Tapi tetap saja, fakta yang terlambat tidak bisa mengubah hati beku itu.
"Ben, pergi ke makam Vanya!"
Leo ingin berziarah ke makam Vanya dan kembali mengingat perasaan cinta yang pernah terjalin. Mungkin dengan begitu, ia mengetahui perasaannya kepada Vania.