Alice membuka ponsel di pagi hari untuk melihat notifikasi pesan. Ternyata, Leo tak menghubunginya. Gadis itu bernafas dengan sangat lega.
Meskipun begitu, bukan berarti hidupnya akan baik-baik saja. Inilah harga yang harus dibayar oleh Alice.
"Aku semakin merasa bersalah dengan Vania," rumahnya dengan lirih.
Alice pun keluar rumah dengan wajah ditekuk. Siapa yang mengira kalau ada mobil mewah terparkir di depan rumahnya.
Langkah kaki Alice berhenti, tenggorokannya sudah kering duluan. Bahkan, suaranya tidak mau keluar. Haruskah dia kembali masuk ke dalam rumah? Pasalnya, orang yang dihadapi adalah seorang Zang. Jelas ia syok melihat mobilnya saja.
Leo yang berada di dalam mobil, meminta Ben untuk menemui Alice.
Ben keluar dari dalam mobil, menghampiri Alice begitu saja setelah mendapatkan perintah dari Leo.
Bagaimana reaksi Alice? Dia terlihat gemetar ketakutan, karena dihampiri oleh Ben. Meskipun pria itu tersenyum pun, perasaan gelisah masih terus bersarang di hati Alice.
" Masuklah ke dalam mobil. Tuanku ingin bertemu denganmu."
Alice tampak ragu, tapi ia tak bisa berkelas sedikitpun di hadapan Ben.
Inilah rasanya berada di kelas rendah? Gadis itu tak berkata apapun, berjalan mendekati mobil Leo meski rasa takut menyerang.
Alice masuk mobil, duduk disamping Leo dengan menundukkan kepala.
"Kenapa kau tak melapor padaku? Kau adalah Anjingku, Alice. Seorang anjing harus menuruti majikannya."
Suasana di dalam mobil semakin dingin kala Alice tak segera menjawab pertanyaan dari Leo.
"Katakan sesuatu! Apakah kau bisu?"
Alice tersentak kaget mendengar nada tinggi dari Leo. Padahal ia ingin mengeluarkan suara, tapi mendengar bentakan itu nyalinya jadi ciut.
"T-tuan, ponsel saya sedang dalam perbaikan. Baru pagi ini selesai."
Hanya itu alasan yang keluar dari otak Alice agar selamat. Leo tidak berekspresi sama sekali ketika mendengar jawaban dari gadis itu.
"Untuk beberapa hari kedepan, jangan menemani Vania." titahnya dingin.
Alice mengangguk patuh, tak berani selak.
"Jangan bermain dibelakangku, Alice. Aku bisa menghancurkan semuanya. Jika kau ingin hidup normal, ketahuilah posisimu."
Alice menggigit bibir bawahnya, meremas kemeja yang dikenakan.
"Keluar!"
Tidak menunggu waktu, Alice keluar dari mobil mewah yang membuatnya sesak. Ben melihat kalau gadis itu sedang menahan rasa takutnya.
"Alice, jangan sekali-kali kau berkhianat. Ingatlah kontrak yang kau tanda tangani."
Ben masuk mobil setelah memberi peringatan kepada Alice. Begitu mereka pergi, gadis itu langsung bersimpuh di tanah.
Kakinya tidak bisa menampung berat badan sendiri karena kehabisan tenaga.
"Aku salah terlibat dengannya. Hidupku, hidup Vania dalam bahaya. Apa yang harus aku lakukan?"
Alice menangis tersedu-sedu karena tidak bisa lepas dari bayang-bayang Leo. Seharusnya dari awal dia memberontak, tapi kalau menjadi pemberontak dirinya juga tak akan selamat.
Jalan depan belakang adalah jurang. Artinya dia terjebak dan dikelilingi jurang yang curam.
"Maafkan aku, Vania," katanya sambil mengirim pesan.
Pesan itu sampai di ponsel Vania dalam waktu singkat. Terlihat jelas raut wajah kecewa ketika melihat isi pesan itu.
"Arggghhh! Aku harus berangkat dan pulang sendirian."
Untuk pertama kali, Alice izin tidak masuk kelas dan kerja secara bersamaan.
"Dia tak pernah seperti ini."
Vania keluar kamar dengan wajah ditekuk. Raul yang melihat itu menghalangi langkahnya.
"Ada apa dengan wajahmu itu?"
"Alice sakit."
"Aku akan mengantarmu ke kampus."
"No…!" tolak Vania mentah-mentah.
Raul menyugar rambutnya. "Hanya sampai halte."
Gadis itu langsung setuju dengan usul dari Raul. Dia segera menenteng tas setelah makan roti yang ada di meja.
Raul menggeleng kepala, mengikuti gadis itu dari belakang. Sungguh waktu berjalan dengan cepat mengingat masa sekolah dasar Vania.
Setiap hari, pria itu akan mengantar kepergian Vania.
"Apakah kau ingat saat aku mengambil rapotmu?"
Vania mencibir, "Jika bukan karena kau tampan, guruku tak akan pingsan."
Tawa Raul pecah, sehingga menyita perhatian banyak orang.
"Hais…! Bisa tidak kau diam!" peringat Vania kepada Raul.
Raul malah tertawa menggelegar, bak orang gila. Vania pun langsung lari karena malu. Pria itu pun menatapnya dari jauh, sampai bus sampai ke halte.
Bus yang ditumpangi gadis itu pergi, Raul segera pergi ke proyek untuk bekerja. Dia tak menyadari kalau sedang di intai.
"Nona itu sangat peka," gumam Willy sambil mengirim pesan.
Ben menerima pesan dari Willy. Matanya menatap ke arah Leo yang sedang rapat dengan dewan direksi lainnya.
"Anda tak bisa memecat puluhan karyawan tanpa sebab!" kata orang berambut putih.
"Benar sekali! Kami tak bisa menyerahkan perusahaan kepada anda."
Beberapa orang memojokkannya, tapi Leo tetap tak bergeming sama sekali. Meskipun mereka pemilik saham, tapi saham yang dimiliki lebih dari lima puluh persen.
"Haruskah aku membeli saham kalian?" tanya Leo sambil tersenyum.
Mereka semua tercengang, tak berani berkata apapun.
"Kenapa diam? Kalian memakiku tiada henti sampai telingaku panas."
Rumor beredar kalau Leo sangat tidak berperasaan. Mereka baru saja bertemu untuk pertama kali.
"Tetua Zang tak pernah seperti ini," kata seorang pria muda di ujung pintu. Dia juga pemilik saham. Umurnya masih muda.
"Apa Kabar, Tuan Zang?" tanyanya sambil menundukkan kepala.
Leo menatap pria itu dari atas sampai bawah, lalu tersenyum mengejek. Well, bocah bau kencur yang sok berkuasa telah muncul di depannya.
Melihat gaya arrogant Leo, pria muda itu sangat kesal.
"Saya pemilik saham dua puluh persen, Edgar Lim."
Pria itu berjalan menuju ke kursi kosong, duduk dengan elegan.
"Selamat datang, Tuan Edgar," sambut mereka semua, kecuali Leo.
"Terimakasih," jawab Edgar dengan ramah.
Leo tersenyum mengejek karena pria itu memasang wajah penuh kepalsuan.
"Aku tak bisa berlama-lama disini," kata Leo sambil bangkit.
"Tapi, Tuan Lim baru sampai. Dan juga pembahasan kita belum selesai."
Leo mendekati pria yang berani bicara padanya. Mata pria itu menajam dengan tubuh sedikit dicondongkan.
"Bonekah sepertimu tidak berhak mengaturku," ucap Leo sambil melirik ke arah Edgar yang tampak syok.
Bermain bersama anjing sedikit menyenangkan. Mau menyingkirkan Leo, jangan harap.
"Aku akan membuat tontonan yang menarik!" teriaknya sambil meninggalkan tempat itu.
Ben mengikuti Leo dari belakang, sampai masuk ke dalam ruangannya.
"Ben…, cari tahu kelemahan si Lim itu. Dan juga, buat dua anjing yang banyak bicara kehilangan kekayaannya!" titah Leo.
"Saya akan melakukannya,Tuan." Tanpa disuruh pun, Ben akan bertindak. Karena ahli waris semua perusahaan hanya untuk keturunan Zang saja.
"Kau sangat bisa diandalkan, Ben."
Tentu saja, Ben adalah pria pengalaman yang bisa melakukan apa saja.
"Tuan…," panggil Ben dengan rasa takut. Leo melirik sekilas, lalu berjalan menuju jendela.
Ben pun memilih angkat bicara, "Nona di antar oleh Tuan Anderson."
Tawa Leo pecah, "Aku ingin bicara dengan ketua proyek. Raul memang over protektif terhadap Vania."
"Saya akan membuat janji dengannya." Ben pun undur diri. Setelah dia pergi, Leo tersenyum seperti iblis.
"Mau menggeser ku, maka kau yang akan tergeser. Jangan coba melawan, Edgar," kata Leo. Pria itu tahu bahwa semua orang mendukung Edgar untuk menduduki posisi saat ini. Haiya, jangan harap karena tidak semudah itu karena semua dibawah kuasanya.