Chapter 2 : Aermagh

1563 Words
Hingga usianya dua puluh satu tahun Kai Griffin tak pernah mendengar kisah itu sekalipun, apalagi Uncle Blair, tak pernah sekalipun bahkan setitikpun membawa-bawa kisah itu. Hingga sebulan yang lalu ia tak sengaja mendengar pembicaraan Bibi Whitney dan Shanie, dua asisten rumah tangga di kediaman keluarga griffin sedang mengobrol ini dan itu dan pada akhirnya tanpa sengaja  membahas-bahas tragedi itu, tanpa menyadari keberadaan Kai Griffin di dekat mereka.  Bibi Whitney dan Shanie sudah terkenal sebagai duo chatterbox di kediaman Griffin, sekali mereka berdua membahas sesuatu maka akan dikupas tuntas hingga ke akarnya, hal itu membuat Kai bisa dengan jelas mendengarkan segala hal yang terjadi pada orang tuanya. Kendati tak mengingat apa yang terjadi sebelas tahun lalu, namun ingatan Kai Griffin tentang sosok kedua orang tuanya masih teringat jelas, Keluarga yang Bahagia, Mom yang sangat  lembut dan penyayang serta Dad yang humoris dan sangat bertanggung jawab. Gambaran sebuah keluarga ideal. Setidaknya itu yang terjadi sebelum tragedi itu terjadi. Depresi, kesedihan, kemarahan nyaris tak ada dalam kamus keluarga Griffin . Jadi bagaimana bisa ia percaya dengan segala rumor-rumor tentang keluarganya? Atau…. Barangkali mom dan dad terlalu terampil untuk menyembunyikan segalanya dari putra semata wayangnya? Entahlah tak ada untungnya menebak-nebak, selain rasa sakit yang akan semakin menghujam, bagai menabur garam di atas luka. Setelah mengumpulkan informasi mengenai kasus itu diam-diam, hasilnya tetap sama saja, ia tak pernah mendapatkan jawaban mengapa, karena jawaban atas pertanyaan itu ada pada ingatannya, selama ia sendiri tak bisa mengingatnya maka tragedi itu akan terus menjadi misteri. Mom… Dad…. I Miss you so much… Rasa rindu itu kembali menyeruak. Kai mengambil ponselnya dan menyalakannya, sudah seharian ia menonaktifkan ponsel itu untuk menghemat baterai, begitu dinyalakan tertera tulisan di layar: ‘My Dear Uncle 26 missed call ‘ Merasa bersalah, Kai buru-buru menuliskan pesan untuk Uncle Blair bahwa dirinya baik baik saja. ****  Sejak Kai mengatakan akan mendaki puncak Aermagh, Uncle Blair langsung melarangnya dengan keras, padahal selama ini tak peduli gunung manapun yang ia daki, pria paruh baya itu selalu mengijinkannya. Kai Griffin tahu betul alasannya, jadi ia tak ingin membahas lebih jauh. Dan pada akhirnya ia tetap mendaki gunung ini. Seorang diri. Kai tetap keras kepala sementara Uncle Blair juga tetap dengan pendiriannya. Seharian mereka tak saling bertegur sapa, sebuah pemandangan yang tidak biasa. Blair Griffin, adik Mark Griffin. Pria paruh baya itu usianya tahun ini lima puluh tiga tahun, ia adalah sosok yang merawat Kai sejak usia sepuluh tahun, pria itu tak mempunyai anak, sementara istrinya sudah meninggal tujuh tahun yang lalu.  Kai Griffin adalah sosok yang penurut sementara disisi lain Uncle Blair adalah sosok yang selalu mensupport apapun yang ingin dilakukan oleh keponakannya itu, nyaris tak pernah ada konflik di antara mereka. Karenanya ketika mereka saling memalingkan badan satu sama lain semua yang ada di kediaman griffin merasa terheran-heran.  “Kai..,” Uncle Blair memanggilnya lirih sore itu saat Kai sedang mengemasi peralatan mendakinya, “mengapa kau sangat ingin mendaki gunung itu?” Kai Griffin menatap Uncle Blair beberapa saat, “ Seharusnya aku yang bertanya, mengapa uncle begitu melarangku kali ini?” “Kai apa jangan-jangan…kau…” Suara pria paruh baya itu tercekat. Wajah Kai berubah mendung, ia tahu apa yang akan dikatakan pria di depannya, “Uncle, aku sudah dewasa…sudah waktunya aku mengetahui segalanya.” Ujar Kai menyela pembicaraan. Pria itu menunjukkan ekspresi terkejut, ia tak bisa menyembunyikan perasaannya,”Kau….kau sudah tahu segalanya? Kau sudah mengingatnya?” Kai Griffin menggeleng, “Tidak aku tak ingat apapun uncle, tapi aku sudah mendengar segala yang terjadi saat itu.”   “Siapa yang memberitahukan nya padamu?” “Tak penting bagaimana aku bisa tahu, lagipula kisah itu sudah menjadi rahasia umum bukan? Aku saja yang terlalu lamban.” Kai berkata sambal menertawakan dirinya sendiri. “Lalu mengapa kau masih nekat pergi ke gunung itu Kai? Uncle khawatir kalau…” Kai Griffin tau apa yang ada di benak pamannya itu. “Jangan khawatir uncle, aku tak akan melakukan hal aneh-aneh, aku hanya ingin mendaki seperti biasa dan juga siapa tahu….siapa tahu ingatanku bisa kembali jika aku kesana.” **** Fajar di ufuk timur baru saja menyingsing, Kai Griffin sudah bangun, ia berjalan ke tepi danau untuk mencuci muka merasakan sejuknya air pagi itu, sembari menunggu cantiknya sunrise yang terbit dari balik Breisie Lake. Saat pagi air danau nampak kemilauan terbius oleh sorotan sang mentari yang perlahan mulai menampakkan diri. Buru-buru ia mengambil ponsel dari dalam sakunya dan mengambil foto sepasang burung bangau yang ada di atas danau. Lima orang anggota videography itu juga buru buru keluar dari tenda mereka berlari-lari kecil sembari menenteng-nenteng kamera DSLR lengkap dengan tripod dan stabilizer. Mereka sudah luar kepala dengan pembagian tugas masing masing, ada yang merekam, menata alat, dan seorang lagi berbicara di depan kamera layaknya seorang vlogger profesional. Kai Griffin tersenyum melihat pemandangan itu, di saat-saat seperti ini ia benar-benar merindukan teman-temannya.  Puas menikmati dan mengabadikan pemandangan sunrise dari Breisie Lake, termasuk foto Bersama-sama, Kai Griffin dan kawan-kawan barunya kembali ke tenda untuk menyiapkan sarapan pagi, dalam sekejap semua makanan sudah tersaji,  ham & Cheese Hot Sandwiches yang baru saja di hangatkan di atas api, Quinoa paella, daging kaleng dan tak lupa hot milk sebagai penambah energi. Selesai ramai-ramai melahap semua masakan pagi itu mereka mengobrol sebentar dan kemudian Kai Griffin kembali ke tenda untuk berkemas,  dengan cekatan ia melipat tenda dome-nya dan memasukkannya kembali dengan rapi ke dalam backpack-nya, tak lupa mereka juga saling bertukar nomor ponsel. “Kai, kau yakin mau melanjutkan perjalanan sendirian dan tak ikut bersama dengan rombongan kami?” tanya Anne siang itu saat Kai berpamitan hendak melanjutkan perjalanannya, “Kami sudah beberapa kali mendaki Puncak Aermagh jadi kupikir akan lebih aman jika kau naik Bersama kami”, lanjut gadis bermata sipit itu, ada kekhawatiran terpancar dari matanya. “Iya benar naiklah bersama kami esok hari, malam ini kami masih harus mengambil gambar di tempat ini saat malam hari, dan paginya kami baru akan melanjutkan perjalanan, lebih baik kita ke puncak bersama-sama saja.” Ujar Robert McCartney berusaha membujuk Kai. “Ha ha ha tenang saja, aku sudah biasa, lagipula setelah mencapai puncak aku harus buru-buru kembali karena ada tugas kuliah yang sudah menanti.” Jawab kai sambal tersenyum. Sebuah kebohongan, karena jelas-jelas tak ada satupun tugas kuliah yang menantinya. Kai Griffin pada dasarnya suka mendaki bersama-sama. Namun dari awal memang Kai sudah memutuskan mendaki ke puncak Aermagh sendirian, dan yang paling penting ia butuh kesunyian untuk menenangkan pikirannya dan mencari memori yang hilang. Mendengar penjelasan Kai mereka akhirnya menyerah untuk membujuk kai Griffin agar ikut Bersama rombongan mereka. “Baiklah kalau begitu, kalau kau naik bersama kami, aku khawatir perjalananmu akan menjadi jauh lebih lama karena kami pasti akan sebentar-sebentar berhenti ha ha ha.”   “Kai!!!!! hati-hati di jalan, See you next time.” Seru Lima orang itu dengan serempak saat Kai hendak melangkahkan kaki meninggalkan area camp itu. “Kalau kau melihat bangunan aneh pergilah menjauh. Oh ya, jangan lupa kalau kau bertemu dengan gadis misterius, berlarilah sejauh mungkin,” Kata Anne Xia sambal diiringi gelak tawa oleh teman-teman di sekelilingnya.  Kai Griffin membalasnya dengan senyuman dan lambaian tangan, setelah cukup berpamitan ia segera berbalik meninggalkan area camp Breisie Lake dan melanjutkan perjalanannya. Jika dihitung dari pos awal hingga ke puncak maka Ia sudah menempuh tiga per empat perjalanan, berarti kurang seperempat perjalanan lagi, paling cepat ia bisa menempuhnya dalam waktu empat jam, jika ia bergegas sekarang maka bisa sampai di puncak sore hari, setidaknya ia masih bisa mendirikan tenda di puncak sebelum hari gelap. **** Sebentar-sebentar ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, pukul satu dini hari, sudah sejak sore ia berjalan di antara kabut tebal ini tanpa tau arah, membuatnya harus berjalan ekstra hati-hati jika tak ingin terperosok dan mati konyol. Lagipula siapa yang akan menolongnya? sudah sedari tadi  ia belum menemui seorang pun sepanjang perjalanan. Hal itu membuatnya mulai was-was dan berpikir kalau-kalau ia sudah salah jalan,  Jika jalan yang ditempuh sesuai seharusnya ia sudah sampai sejak tadi sore cuaca tak kunjung membaik, badai itu membawa udara dingin, yang membuat Kai Griffin semakin kedinginan, jaket tebal berlapis yang ia gunakan nampaknya masih belum cukup, ia lalu melihat sekeliling kendati ada beberapa area luas yang tak ditumbuhi pohon namun kemiringan tanah terlalu curam, membangun tenda di tanah seperti itu  dan ditambah angin yang bertiup kencang hanya akan sia-sia. Udara dingin serasa menusuk-nusuk hingga ke tulang, ia berkali-kali ia menggosok-gosokkan tangannya untuk mencari sedikit kehangatan, giginya saling beradu menimbulkan bunyi gemeretak. Sudah berkali-kali mendaki nyatanya itu tak membuat dirinya kebal akan kondisi seperti ini alam selalu punya rahasia dan ceritanya sendiri, karena pijakan yang kurang stabil kaki pemuda itu terpeleset pijakannya membuatnya jatuh terpeleset beberapa meter untungnya ia sempat berpegangan pada batu yang ada di depannya, susah payah ia mencoba naik apalagi dengan backpack di punggungnya yang membuat gaya gravitasi semakin besar. Kai Griffin mencari cerukan di antara bebatuan dan menyandarkan badannya yang kelelahan dan rasanya sudah tak karuan, jika terus-terusan seperti ini kai khawatir dirinya akan terkena Hipotermia, karenanya ia berusaha untuk membuat dirinya tetap terbangun. Ia mengeluarkan sleeping bag yang ada di dalam backpacknya, setidaknya benda itu bisa sedikit menghalau cuaca dingin. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, belum sempat ia mengeluarkan sleeping bag, itu tiba-tiba langit dengan serta-merta menumpahkan airnya. Alam sepertinya sedang mempermainkannya hari ini. =============  

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD