"Seneng banget, udah lama nggak keluar bareng sama kamu rasanya beda." ucap Dita saat mereka berdua sampai di kafe Amanda, tempat biasa mereka bersantai.
"Iya, ya. Udah sebulanan kayaknya kita nggak ke sini, Dit. Maaf, ya ... aku belakangan ini lagi males keluar," balas Dita yang memasukkan satu sendok es krim ke dalam mulutnya.
"Santai. Aku juga belakangan ini nggak boleh kemana-mana sama mamaku. Kamu tahu sendiri, kan ... mama baru aja buka restoran baru, jadi mau nggak mau aku harus bantuin mama buat dekorasi resto. Ya memang ada jasa design, tapi kata mama enakan atur-atur sendiri."
"Eh, baru tahu. Kamu baru cerita kalau mamamu buka restoran baru. Kapan-kapan aku ke sana, deh. Pengen cobain menu andalan di restoran mama kamu apa aja."
"Datang aja, Nay. Nanti pasti dikasih diskonan sama mama. Mama juga sempet nanyain kamu, udah lama kamu nggak main ke rumah soalnya."
"Gampang lah entaran. Aku lagi mager, Dit."
Dita mengalihkan pandangannya ke sekeliling ruangan kafe yang mereka kunjungi. Kemudian gadis itu menghentikan tatapannya pada sepasang remaja yang tengah duduk tidak jauh dari mereka.
"Nay, itu bukannya kak Ardan dan kak Reva, ya?" tanyanya setengah berbisik.
Naira tidak langsung menjawab, dia langsung mengarahkan pandangannya ke kursi di mana dagu Dita menunjuk. Apa yang sahabatnya lihat memang benar, di sana ada Ardan dan Reva yang tengah memilih menu.
"Iya, itu mereka, Dit. Kenapa mereka harus ke sini, sih? Padahal kan masih banyak kafe lain yang bisa mereka kunjungi selain kafe ini." Raut wajah Naira berubah. Gadis itu terlihat sangat kesal. Dita maklum, Naira memang belum bisa melupakan Ardan.
"Ya wajar, kan, Nay. Kafe Amanda emang udah terkenal ke mana-mana, jadi mereka dateng ke sini. Aku tahu ini nggak mudah buat kamu, tapi emang sudah saatnya kamu ngelupain perasaan kamu itu ke kak Ardan. Masih banyak cowok keren di kampus kita yang bisa kamu gebet." Dita menyarankan.
Perasaan tidak bisa dipaksa, bukan? Seharusnya mudah saja bagi seseorang jatuh cinta pada siapa saja, tetapi tidak untuk berpindah hati. Naira sangat tertarik pada Ardan. Dia tidak pernah menyangka lelaki itu akan memiliki kekasih sebelum dia menyatakan perasaan yang dia rasakan selama ini.
"Untuk saat ini aku belum bisa, Dit. Aku masih ingin tetap bertahan di tempatku berada. Sadar, sih ... kak Ardan tidak akan pernah jadi milikku, tapi untuk suka sama orang lain kayaknya bakalan sulit buat aku."
Sementara itu di kubu Ardan.
"Rev, Naira kayaknya sadar aku ada di sini. Kalau ini buat dia semakin menjauh dari aku gimana? Dia udah berubah total ke aku, Reva. Kemarin aku belum selesai jelasin ke dia kamu malah muncul. Dia semakin salah paham kayaknya sama aku," protes Ardan.
"Ck, lemah. Udah dibilang ini tuh cara buat kita bisa tau apakah Naira itu beneran suka sama kamu atau pura-pura aja. Semakin dia cemburu, itu artinya dia emang beneran suka sama kamu, Ardan. Kita tunggu reaksi dia gimana, oke?"
"Kalau sampai dia semakin menjauh dari aki, iris semua salah kamu, Va." Ardan terlihat kesal.
"Masih banyak yang lain yang lebih kece. Dia cuma mahasiswi biasa, bisa-bisanya kamu bucin sama dia." Reva mengucapkan itu dengan santai. Maksudnya bercanda, tetapi itu sangat sensitif bagi Ardan.
"Maksud kamu apa? Dari dulu aku selalu ngikutin standar kamu sama mama, lama-lama aku cuma punya teman itu-itu saja. Kamu tidak pernah tahu bagaimana Naira selalu memberikan dukungan buat aku. Dia selalu berusaha hadir di setiap kegiatan yang menyertakan aku di dalamnya. Di mataku dia bukan hanya mahasiswi biasa, tapi lebih dari itu."
Reva tidak menyangka kalau sepupunya akan total marah hanya karena seorang Naira. Selama ini Ardan memang hidup dengan memenuhi standar semua keluarganya yang rata-rata sempurna dalam bidang akademik. Mereka tidak ingin Ardan membuka diri untuk mahasiswa yang memiliki kecerdasan biasa. Setiap Ardan bertanya mengapa, mereka selalu menjawab kalau Ardan membutuhkan teman-teman jenius untuk mempertahankan prestasinya.
Hal itu yang membuat Ardan menutup diri dari mahasiswa lain dan mengubah dirinya menjadi seorang yang angkuh. Walau tidak sepenuhnya, sesekali Ardan masih menjawab panggilan dan sapaan dari beberapa orang, termasuk Naira. Dia bahkan selalu menantikan sapaan dari gadis satu itu . Di mata Ardan, Naira merupakan sosok yang spesial.
Apapun itu, percuma saja. Naira tidak tahu bagaimana pandangan Ardan terhadapnya. Hal yang gadis itu tahu tentu saja sikap Ardan yang dingin dan hangat hanya kepada orang-orang tertentu. Ardan juga kerap dikabarkan berganti pacar dengan orang-orang yang terpilih. Semua wanita yang dikabarkan dekat dengan Ardan pasti memiliki segudang prestasi. Membuat Naira merasa Ardan sangat jauh dari jangkauannya yang notabene hanya mahasiswi biasa.
"Ardan, aku sama tante selalu pilihin teman-teman yang jenius buat kamu itu supaya prestasi kamu tidak turun. Coba bayangkan kalau semua orang bisa dekat sama kamu, lama-lama kamu akan terpengaruh dengan mereka dan melupakan belajar. Aku kuliah di tempat yang sama dengan kamu ya tujuannya buat ngawasin kamu. Seharusnya kamu berterima kasih karena aku sudah melakukan tugasku dengan baik."
Ardan tertawa. Dia bukan senang, tetapi merasa hidupnya begitu lucu. Sejak kecil dia tidak pernah diizinkan untuk memilih apa yang dia inginkan. Lalu sekarang? Dia harus mengikuti kemauan keluarganya untuk menjadi mahasiswa sempurna. Ardan bukan keturunan dewa, tetapi dia dituntut untuk bergaul dengan manusia-manusia pilihan.
"Berterima kasih untuk pengekangan ini? Tidak akan pernah. Mulai sekarang aku mau pilih jalan hidupku sendiri. Setidaknya di akhir semester ini, sebelum aku lulus kuliah, biarkan aku menjadi diriku sendiri. Akan aku buktikan ke kalian semua kalau tidak akan berubah dengan diriku walau aku bergaul dengan semua orang."
"Terserah kamu, Ardan. Aku capek. Terserah kalau kamu mau melanggar keinginan tante dan om. Tapi nanti kalau ada apa-apa aku bakalan aduin kamu ke mereka."
"Dasar tukang ngadu," umpat Ardan kesal.
Tadinya Ardan berniat untuk menghampiri meja Naira dan Dita. Tapi sayangnya mereka sudah tidak ada di sana. Ardan yakin kalau Naira pasti akan salah paham lagi saat melihat dirinya sedang bersama Reva di kafe yang sama dengan yang dia kunjungi.
Ardan berencana untuk menemui Naira besok di kampus. Dia berharap gadis itu mau mendengar penjelasannya. Setidaknya di sisa waktu yang dia punya di kampus dia bisa mendapat kesempatan untuk memperbaiki semuanya.
"Kamu mau makan apa? Aku sudah pesen tadi. Kamu masih mikirin Naira?"
"Kamu makan sendirian, ya? Aku mau pulang, mendadak kepalaku pusing."
Ardan langsung beranjak dari tempatnya duduk dan langsung pergi begitu saja.