Naira menatap mangkuk bakso yang ada di hadapannya dengan tatapan tidak berselera. Di kantin kampus sekarang gadis itu berada. Dia sudah berusaha untuk bersikap biasa saja setelah mendengar berita Ardan berpacaran dengan Reva, tetapi nyatanya dia tetap tidak bisa menguasai diri. Naira masih tidak bisa mengendalikan emosinya. Dia bahkan tidak ingin ditemani Dita. Benar-benar ingin menikmati waktu sendirian.
Mereka tidak memiliki hubungan apapun. Seharusnya Naira biasa saja saat tahu Ardan sudah memiliki tambatan hati. Bukankah dia tidak ada hak untuk menuntut dengan siapa Ardan memiliki hubungan? Lagipula pemuda itu juga tidak memiliki ketertarikan terhadap dirinya, lalu apa yang Naira harapkan?
Gadis itu juga sadar kalau Reva memang lebih cocok bersanding dengan Ardan. Mereka sama-sama mahasiswa populer. Reva memiliki segudang prestasi yang bisa dibanggakan. Naira bahkan merasa kecil kalau harus dibandingkan dengan Reva.
"Sendirian? Aku boleh duduk di sini?"
"Apa sih. Kenapa ada suara kak Ardan? High, please Naira, tolong jangan berhalusinasi," gumam Naira pelan dengan tatapan tidak beralih dari mangkuk baksonya.
"Ini memang aku, Naira. Kamu tidak sedang berhalusinasi."
Ardan menarik bangku kayu yang ada di hadapan Naira lalu duduk di sana. Tatapan teduh milik pemuda itu tertuju pada gadis yang sekarang melongo di hadapannya.
"Kakak kenapa di sini? Ma-maksud aku ... apa kakak sedang menunggu seseorang? Oh, atau kak Ardan mau makan dengan kak Reva terus bangkunya tidak ada yang kosong? Aku bisa pergi sekarang kok, Kak. Aku juga tidak selera makan lagi. Kuah baksoku juga sudah dingin," cerocos Naira tanpa jeda hingga tidak memberikan Ardan kesempatan untuk memberikan respon.
Sesaat kemudian pemuda itu kerkekeh.
"Naira ... Naira ... kamu lucu. Semua yang kamu katakan tadi tidak ada yang benar. Aku ke sini memang mau duduk di sini sama kamu. Kalau perlu, aku mau menemani kamu makan. Gimana? Boleh?"
"Hah?"
Naira total terperangah. Dia tentu saja terkejut. Bagaimana bisa seorang Ardan yang cuek berubah friendly seperti sekarang. Kakak tingkat yang selalu mengabaikan dia itu bahkan mau duduk di hadapannya tanpa peduli dengan tatapan mahasiswa lain yang sedang duduk di sekitar mereka.
"Kamu kenapa terkejut begitu? Oh, atau kamu yang sedang menunggu seseorang? Kalau begitu aku pergi, ya? Maaf sudah mengganggu." Ardan beranjak dari duduknya, tetapi Naira menahan dengan menarik ujung baju pemuda itu.
"Kak, bukan. Jangan pergi. Aku tidak sedang menunggu siapapun. Wajar kan aku terkejut? Kak Ardan biasanya tidak pernah berinisiatif seperti ini. Oh, apa ada yang mau kakak butuhkan? Kakak butuh bantuanku?"
Naira masih tidak mengerti mengapa Ardan mendadak berubah. Pasti ada alasan di balik perubahan seseorang, bukan? Dia tidak mau berekspektasi tentang apapun kalau itu berhubungan dengan Ardan. Dia tidak lupa Ardan sudah memiliki kekasih.
"Katakan saja begitu. Aku memang butuh sesuatu, tetapi sesuatu itu tentang diri kamu sendiri, Naira."
"Maksud kakak?"
"Tolong jangan berubah. Tetaplah menjadi Naira yang biasanya. Berapa hari ini kamu selalu menghindar setiap kita bertemu. Aku tidak terbiasa dengan sikap barumu itu."
"Tapi bukannya kak Ardan itu ..."
"Kak Ardan! Ih, aku cariin malah di sini. Ayo ikut aku, kita udah ditungguin mami." Reva tiba-tiba saja datang dan menarik tangan Ardan paksa. Naira hanya bisa menatap kepergian mereka dengan wajah kebingungan.
Naira tertawa kecil, matanya terasa panas. Rasa sakit kembali menyerang hatinya. Dia hampir saja merasa senang, tetapi kenyataan datang menampar. Dia tersadar kalau Ardan memang sudah menjadi milik orang lain. Tanpa komando buliran hangat berjatuhan. Gadis itu menangis. Tidak tahu apa yang dia tangisi. Rasa sakit yang timbul di hatinya, atau karena dia melihat Ardan pergi bergandengan dengan yang lain. Hah, mungkin juga kedua hal itu yang membuat air matanya terjatuh.
"Padahal tadi aku sudah sempat berharap kalau kak Ardan akan bilang kalau gosip tentang dia yang beredar itu tidak benar. Tapi kenyataannya tidak. Dia bahkan pasrah saat kak Reva datang dan menarik tangannya untuk pergi. Jelaslah, kak Reva pacar kak Ardan. Terus aku ini siapa? Kenapa juga aku harus sedih hanya karena dia bersama yang lain. Sadar Naira, sadar!" Naira menepuk-nepuk pelan kepalanya. Dia ingin melupakan Ardan. Dia lelah.
"Naira! Akhirnya ketemu juga. Aku cari kamu kemana-mana ternyata di sini." Dita menghampiri Naira, gadis itu duduk di bangku yang tadi diduduki oleh Ardan.
Dita belum sadar kalau sahabatnya sedang sedih.
"Tadi papa kamu telpon. Lagian hape kenapa nggak dibawa, sih! Aku inget kamu nggak mau diganggu, tapi kata papa kamu suruh nyariin. Ya udah, aku susulin kamu ke sini. Eh, Naira ... kamu abis nangis?" Dita menangkup kedua pipi Naira dan mengamati setiap senti wajah sahabatnya tersebut.
"Kamu kalau ada masalah cerita dong, Nay. Kamu kenapa, sih?"
"Kak Ardan, Dit ..."
"Kenapa dia? Bukannya kamu udah bilang mau lupain kak Ardan? Terus ini kenapa kamu melow lagi gara-gara dia?"
"Dia tadi dateng ke sini. Dia bilang dia nggak suka dengan perubahan sikap aku ke dia. Dia mau aku balik lagi jadi Naira yang biasanya."
"Hah? Kamu nggak lagi halusinasi, kan, Nay?
Naira mendengus kesal.
"Aku sudah yakin kalau kamu pasti bakalan bilang aku halusinasi. Padahal aku lagi serius. Aku nggak lagi ngada-ada. Kak Ardan tadi beneran datang ke aku dan bilang begitu." Raut wajah Naira terlihat kesal.
"Ih, jangan marah Naira. Iya-iya, aku percaya tadi kak Ardan datang ke sini. Harusnya kamu seneng, dong. Ini kenapa kamu malah nangis? Kak Ardan nyakitin kamu? Iya?"
Naira menggeleng pelan.
"Nggak. Aku lagi kesel sama diri sendiri aja, Dita. Seharusnya aku nggak berharap apa-apa pas tau ada kak Ardan dateng ke sini. Kenyataanya dia memang punya kak Reva. Belum selesai kami bicara kak Reva dateng dan langsung nyeret kak Ardan pergi dari hadapan aku. Udah nyoba buat biasa aja, tapi rasanya tetep sakit, Dita."
Naira memanfaatkan momen itu untuk mencurahkan semua rasa yang sekarang berkecamuk di dalam hatinya. Dia tentu tidak ingin memendam itu sendirian.
"Aku ngerti. Aku paham sama apa yang kamu rasain sekarang, Naira. Kamu berharap, itu wajar. Karena memang kamu suka sama kak Ardan udah lama. Nggak perlu kamu nyalahin perasaan kamu sendiri. Nikmati rasa sakitnya sampe kamu lupa sama perasaan yang kamu punya. Jangan dilawan. Jangan maksain diri buat lupa. Semakin kamu ngelawan, rasa itu akan semakin jelas dan nyakitin."
"Kamu bener, Dit. Aku nggak boleh nyalahin diri aku sendiri. Kenapa sih aku payah? Harusnya aku bisa tegar dan ngebuktiin kalau aku pelan-pelan bisa bangkit."
"Tadi aku bilang apa?"
"Haha, iya. Lupa."
"Sekarang mending makan. Yuk, pesen lagi makanan yang banyak. Patah hati boleh, tapi kurus jangan."
Nara dan Dita tertawa bersama. Walau jauh di dalam lubuk hati Naira, rasa sakit itu masih mendominasi.