Naira seakan deja vu. Setelah sekian lama, semenjak Beta meninggal, akhirnya gadis itu kembali ke taman tempatnya biasa mengajak Beta jalan-jalan. Naira sempat tidak yakin jika dirinya akan baik-baik saja. Ketika melangkahkan kakinya ke gerbang masuk, seketika kenangan bersama Beta menyeruak. Membuat mata gadis itu sedikit berair. Dia mengelus kepala Darian perlahan dan melangkah masuk dengan percaya diri.
Kucing putih dengan belang hitam itu tenang di dalam dekapan Naira. Setelah biasanya bebas, Darian kini bisa merasakan kehangatan dekapan tangan manusia. Dia memiliki kesempatan untuk menjadi peliharaan seseorang dan memiliki tuan. Ternyata ini tidak buruk, mungkin karena Darian bertemu dengan gadis berhati lembut seperti Naira.
Darian memejamkan matanya, mendengkur sebagai tanda dia nyaman dengan setiap sentuhan yang diberikan oleh Naira. Pertempuran dahsyat dan kekalahannya yang membuatnya terpental hingga ke dunia manusia tidak lantas membuat Darian menyesal. Dia bersyukur, kalau bukan karena kekalahan itu, dia tidak akan bertemu dengan Naira.
Kehidupan Darian sebagai Pangeran di negerinya tidak sepenuhnya membuat lelaki itu senang. Dia harus menghadapi kelicikan Aiden, saudara tiri yang tidak pernah rela dia menggantikan ayahnya menduduki tahta. Aiden dan ibunya datang ke dalam kehidupan Darian dan mulai merusak segalanya. Impian dan cita-cita Darian susah tergapai semenjak kehadiran mereka. Ayahnya yang percaya pada mereka pun menentangnya. Meskipun pada akhirnya lelaki itu sadar, setelah mereka bberdua mengurungnya di penjara bawah tanah.
Pesona Darian yang membuat Naira tertarik untuk memeliharanya ternyata juga dirasakan oleh pengunjung taman yang lain. Mereka seperti terbius saat Naira lewat dengan Darian di dalam gendongannya. Mereka melirik dan berbisik memuji kucing tampan itu.
"Kamu suka? Kalau kamu menyukainya, aku akan sering-sering membawamu kesini." Naira berbicara pada Darian, meskipun dalam bentuk kucing, lelaki itu tidak bisa menjawab. Darian hanya menunjukkan dengkurannya sebagai bukti kalau dia sangat suka dengan kegiatan mereka hari ini.
Tentu saja Darian sangat beruntung. Bisa melihat dunia Naira selain kamar luas milik gadis itu. Berada di dalam dekapan Naira membuat Darian merasa lebih aman. Dia memang bukan sosok yang lemah, tetapi dalam kekuatan yang kurang dari separuh di dalam dirinya, Darian tidak ingin mengambil resiko. Jika dirinya bisa terlempar ke dunia Naira, musuhnya juga pasti bisa sampai ke dunia di mana dia berada sekarang.
"Nay!" seseorang mengagetkan gadis itu. Suara khas yang dimiliki lelaki itu membuat Naira langsung mengetahui, siapa sosok yang mengagetkannya.
"Eh, lu, Boy. Janjian sama siapa? Tumben lu ada di sini." Naira memperhatikan Boy sekilas, setelahnya dia kembali memusatkan perhatian perhatiannya pada Darian.
"Kagak, kebetulan aja gue main ke sekitar sini. Tadi gue sempet lihat lu, gue kira halu, ternyata itu beneran lu." Mata Boy memeriksa sekitar, saat mengetahui ada sebuah bangku besi di sisi jalan tempat mereka berdiri, lelaki itu menghampirinya dan duduk di sana.
"Lu selalu tau aja kemana gue pergi. Lu emang cocok buat jadi stalker." sungut Naira.
Ya, memang sosok Boy itu sangat mengganggu bagi Naira. Dia seperti kuman yang selalu mengikutinya kemana-mana. Lelaki itu tidak pernah menyerah, meskipun cintanya ditolak berulang kali oleh Naira. Dia satu-satunya lelaki yang selalu bertahan, meskipun terkadang Naira bersikap seenak jidat padanya.
"Gue stalker limited edition, khusus untuk lu. Gue nggak pernah ngikutin orang seperti ngikutin lu. Bagi gue lu tu spesial, Nay. Sayangnya, lu nggak pernah ngeliat gimana usaha gue selama ini. Jahat lu, Nay." keluh Boy.
Tentu saja Naira tidak memberi muka pada Boy, lelaki itu mengganggunya tidak kenal waktu dan tempat. Baik di dunia nyata atau dunia maya. Naira hanya bisa menganggap Boy sebagai teman, tidak lebih dari itu.
Karena lelah berdiri, Naira ikut duduk di samping Boy dengan jarak yang lumayan jauh. Antara ujung dan ujung. Boy menatap Naira tanpa berkedip, lelaki itu tidak habis pikir, mengapa Naira selalu mengabaikannya, padahal dia sudah berusaha menjadi lelaki terbaik di dalam hidup Naira. Sementara Ardan yang tidak melakukan sesuatu justru berhasil mendapatkan perhatian gadis berambut lurus di sampingnya itu.
"Gue risih tahu nggak , sih!" ujar Naira ketus, Boy justru terkekeh.
"Serius, lu cantik banget pas judes gini, Nay." Boy mulai membual, Naira melirik lelaki itu dengan tatapan yang tidak menyenangkan.
"Kapan sih, lu berhenti gangguin gue?" protes Naira.
"Gue nggak pernah gangguin lu, Nay. Gue sayang sama lu. Serius." Naira tahu, mungkin Boy memang serius, tetapi hatinya tidak tertarik sedikitpun dengan lelaki itu. Di matanya, Boy adalah lelaki super heboh yang tidak cocok untuk dijadikan pacar.
"Plis, Boy. Jangan membual. Mendadak gue mual." Naira memutar bola matanya malas.
"Haha, okelah, hari ini gue nggak akan godain lu. Eh, ini kucing baru lu? Gede banget ni kucing, lebih mirip sama anak harimau." Boy mulai memperhatikan Darian yang ada di dalam dekapan Naira.
"Iya, ini kucing kesayangan gue. Bagus, kan? Ini baru namanya kucing limited edition." Naira membanggakan Darian. Kucing dalam dekapannya itu tentu saja tidak ada orang lain yang bisa memiliki kucing seunik miliknya. Meskipun tidak selamanya, karena cepat atau lambat, Darian pasti akan pergi ke dunianya.
"Tapi kucing lu memang beda, sih. Di mana lu beli? Gue juga mau kucing kayak punya lu." Naira sedikit gelagapan mendengar pertanyaan Boy. Dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Dia tidak ingin kehilangan Darian sekarang.
"Ahaha, ini kucing sodara gue. Dia titip sementara di rumah. Pada saatnya nanti, dia juga kembali ke pemiliknya yang sebenarnya." Setidaknya itu jawaban terbaik yang bisa Naira berikan pada Boy. Dia tidak bisa membiarkan seorangpun tahu darimana asal Darian.
"Oh, ternyata bukan asli punya lu, tadi katanya kucing kesayangan, taunya cuma minjem," sindir Boy.
Naira meringis. Seandainya bisa, dia juga ingin menjadi pemilik Darian seutuhnya. Dia tidak ingin kehilangan kucing sebagus dia. Tapi Naira sadar, siapa Darian. Dia hanya kucing tersesat untuk sebuah misi. Dia akan kembali ke negerinya setelah misinya selesai.
"Punya gue atau bukan, emang apa masalahnya buat lu, Boy? Terpenting ini bukan kucing lu." balas Naira sedikit ketus.
"Kalau dia kucingku, gue akan ngasih ke lo. Kita bisa merawatnya bersama, bukankah itu romantis?" Boy mulai membual, Naira geli mendengarnya.
"Jangan mimpi, deh. Gue ga bakalan berbagi kucing sama lu!" Naira memeletkan lidahnya lalu beranjak dari tempat duduknya dan melangkah pergi.
"Lu mau kemana, Nay. Gue anterin balik ke rumah, ya!" Boy meneriaki Naira yang telah berlalu dari hadapannya.
"Gue punya kaki, bisa pulang sendiri." Sahut Naira tanpa peduli Boy mendengarnya atau tidak.
Dalam hatinya, Darian bisa melihat ketulusan Boy, tetapi dia juga merasakan kalau tidak ada ketertarikan sedikitpun di hati Naira untuk lelaki itu. Seluruh pikirannya hanya terisi tentang Ardan, tidak ada pria yang lain lagi.